Hoaks Vaksin Covid-19 Menyebar semakin Halus
Penyebaran berita bohong atau hoaks vaksin Covid-19 terus terjadi meski pandemi sudah masuk tahun ketiga. Aktor penyebar hoaks bersembunyi di grup-grup tertutup.
Penulis Iman Herdiana13 April 2022
BandungBergerak.id - Pandemi Covid-19 telah memasuki tahun ketiga, tetapi hoaks Covid-19 maupun Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (KIPI) bukan berarti reda. Sebaliknya, penyebaran berita bohong ini terus aktif dengan dampak yang berbahaya.
Hasil riset AC Nielsen dan UNICEF menemukan bahwa pengaruh hoaks tentang vaksinasi Covid-19 justru semakin halus dan tak terasa. Orang yang terpapar hoaks tidak merasa bahwa dirinya dibohongi. Hal ini sangat berbahaya karena orang tersebut akan menyebarkan hoaks kepada orang lain. Dampak berantai pun tak bisa dihindarkan.
“Sebanyak 39 persen responden tidak bisa membedakan informasi hoaks. Artinya serangan hoaks semakin halus sampai sulit dibedakan,” kata Risang Rimbatmaja dari UNICEF, dalam Editor Meeting 3: Peran Media dalam memberantas Hoaks Vaksin dan KIPI di Masa Pandemi Covid-19, Selasa (12/4/2022).
Risang Rimbatmaja berbicara dalam konteks pemaparan survei AC Nielsen dan UNICEF 2021 tentang pengaruh hoaks terhadap vaksinasi Covid-19. Survei ini dilakukan terhadap 2.196 responden secara acak yang tersebar di Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Makasar, dan Medan.
Responden merupakan orang berusia 15-65 tahun dengan latar belakang beragam, termasuk tenaga kesehatan. Pada kuartal kedua 2021, survei ini menemukan 43,6 persen responden yang tidak menyadari ada info keliru atau hoaks yang ia terima. Pada kuartal empat 2021, jumlahnya turun menjadi 39,1 persen. Meski turun, Risang melihat fenomena ini tetap mengkhawatirkan.
Yang mengkhawatirkan lainnya, ada 1,9 persen (kuartal kedua 2021) responden yang menyadari menerima hoaks namun tetap menyebarkannya. Angka ini naik menjadi 6,5 persen pada kuartal empat 2021.
“Meski angkanya 1,9 persen namun ini berbahaya karena tetap menyebarkan (hoaks),” kata Risang.
Hasil lainnya dengan angka yang bervariasi, menunjukkan ada responden yang menyadari menerima hoaks tapi tidak peduli, menerima hoaks dan menunggu klarifikasi, menerima hoak lalu mencari sumber lain untuk memastikan, menerima hoaks lalu melaporkan ke saluran yang ada.
Survei ini kemudian menemukan tingginya kekhawatiran akan Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (KIPI). Ini ditunjukkan dengan masih tingginya kebutuhan akan informasi (67 persen) tentang vaksinasi Covid-19, walaupun responden tersebut telah menjalani suntik dosis pertama atau kedua.
“Kekhawatiran KIPI masih menggelayut,” kata Risang.
Bahkan kekhwatiran pada KIPI ini terjadi pada tenaga kesehatan. Ditemukan bahwa 42 persen nakes ragu-ragu divaksin, 4 persen menolak, dan 54 persen menerima divaksin. Alasan yang ragu dan menolak selain karena KIPI juga karena ideologi atau agama.
“Kekhawatiran KIPI jadi halangan utama dari orang baik yang belum maupun yang sudah divaksin,” terangnya.
KIPI dan hoaks tentang KIPI saling berkelindan memengaruhi masyarakat. Pada saat munculnya vaksin, hoaks lebih dulu beredar. Hoaks yang ekstrem antara lain tentang vaksin Covid-19 yang bisa menimbulkan penyakit AIDS, sipilis, buta, telat mikir, meninggal dunia dalam 3 tahun, sampai kepunahan manusia. Belum lagi dengan hoaks-hoaks yang sifatnya tidak ekstrem.
Hoaks dan kekhawatiran akan KIPI juga memengaruhi keinginan orang untuk divaksin. Misalnya, sebelum vaksin ditemukan, pada September 2020 keinginan responden untuk divaksin sebesar 64 persen. Namun pada quartal 4 Desember 2020 angkanya jatuh pada 30 persen.
“Serangan hoaks deras di awal-awal munculnya vaksin. Ketika sudah diberikan contoh oleh pejabat dan artis, naik ladi menjadi 50 persen. Kemudian meninkat 92 persen,” papar Risang.
Baca Juga: UU TPKS Disahkan, Kemenangan Kecil Menuju Jalan Panjang Menghapus Kekerasan Seksual
Memaknai Jati Diri Melalui Arsip Bandung dan Leiden
Mahasiswa Bandung Bergerak, Terus Mengawal Tuntutan pada Presiden Joko Widodo
Aktor di Grup Tertutup
Pendiri Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax (Mafindo) Harry Sufehmi menyatakan hoaks terutama melanda masyarakat yang tinggal di Indonesia bagian barat. Alasannya, Indonesia bagian barat memiliki akses internet yang cukup kuat sehingga menumbuhkan budaya media sosial. Sedangkan hoaks vaksin Covid-19 sendiri banyak beredar di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain.
“Paparan informasi paling banyak di Indonesia barat, sedangkan di Indonesia timur lebih minim. Indonesia timur banyak yang menggunakan Google, Indonesia barat lebih banyak yang mengakses informasi melalui media sosial,” terang Harry Sufehmi.
Namun Harry juga melihat kebangkitan warga dari serangan hoak terutama setelah pandemi masuk tahun kedua. Di media sosial, aktor yang mengunggah konten hoaks tentang vaksinasi dirundung bareng-bareng. Tetapi para aktor ini tidak mau kalah, mereka membentuk kelompok-kelompok tertutup seperti grup-grup Telegram, dan di situ mereka melancarkan propagandanya.