Masyarakat agar Mewaspadai Hoaks di Tahun Politik
Hoaks diprediksi akan kembali merajalela pada tahun politik menjelang Pemilu 2024. Di sisi lain, strategi perang melawan hoaks entah kapan ujungnya.
Penulis Iman Herdiana31 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Hoaks, fitnah, dan hasutan diprediksi akan kembali merajalela pada tahun politik menjelang Pemilu 2024. Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) pun mengingatkan agar mewaspadainya. Di sisi lain, strategi perang melawan hoaks entah kapan ujungnya. Belum selesai hoaks lama, sudah diproduksi hoaks baru.
Seperti diketahui, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 diwarnai polarisasi politik yang keras, diikuti dengan munculnya hoaks. Bahkan, ketika pemilu sudah usai, masih muncul residu-residu dari Pemilu 2014 dan 2019 yang belum kelar hingga kini.
“[Polarisasi itu membuat] Masyarakat seperti terbelah,” ujar Septiaji Eko Nugroho, yang terpilih kembali sebagai Ketua Presidium Mafindo periode 2022-2025, dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) II Mafindo di Pakem, Sleman, DIY, Jumat-Minggu (26-28/8/2022).
Pada Pemilu 2014, Mafindo belum berdiri [Mafindo berdiri pada 2016]. Namun, kata Septiaji, saat itu hoaks sudah merebak. Hoaks dijadikan senjata konflik, dimunculkan dalam bentuk informasi dan atau kampanye hitam yang penuh permusuhan dengan niat untuk mengelabui dan memperkecil kemungkinan lawan untuk menang.
Pada Pemilu 2019, menjelang pencoblosan hingga sesudahnya, Mafindo melihat hoaks, fitnah, dan hasut makin intensif muncul baik di media perpesanan hingga media sosial.
Tahun 2018, jumlah hoak yang terpantau Mafindo selama setahun sebanyak 997 kasus, jumlah ini naik menjadi 1.221 kasus pada 2019 di mana dalam sehari ada 3-4 hoaks; dengan jenis hoaks yang didominasi isu politik (52 persen), agama (8,4 persen), kesehatan (7 persen), kriminalitas (5,8 persen), dan bencana (2 persen).
Mafindo menilai munculnya hoaks terutama pada tahun politik berpotensi memecah belah masyarakat. Karena informasi palsu atau menyesatkan, masyarakat terbelah secara politik. Hal ini sangat berbahaya.
Secara umum, hoaks pada tahun politik ini akan menyebabkan: kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu menurun, kualitas pemilu menurun karena diwarnai hoaks dan fitnah, merusak rasionalitas pemilih, hoaks dan fitnah memengaruhi warga dalam menentukan pilihan.
Dampak lainnya, menimbulkan konflik sosial karena hoaks meningkatkan eskalasi ujaran kebencian, provokasi, agitasi, dan propaganda, doxing, dan persekusi.
Baca Juga: Hoaks Vaksin Covid-19 Menyebar semakin Halus
AJI: Pemerintah tidak Boleh Sewenang-wenang Melakukan Stempel Hoaks pada Peristiwa Wadas
Dalam Kepungan Hoax dan Pesimisme, Komunikasi Publik Negara Harus Berubah
Strategi Perang Melawan Hoaks telah Gagal?
Bertahun-tahun, hoaks diperangi. Sekarang hoaks belum juga hilang di muka bumi. Bahkan jumlahnya terus tumbuh dan tidak sedikit hoaks lama bermunculan kembali. Tidak sedikit organisasi, intelektual, relawan, pemerintah melakukan perang terhadap hoaks. Namun masih belum menemukan ujungnya.
“Hoax tetap merajalela di media sosial dari waktu ke waktu,” tulis Santi Indra Astuti, pegiat antihoaks yang juga dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), dalam artikel ilmiahnya, diakses Rabu (31/8/2022).
Santi memotret hoaks bernuansa politik dan agama yang merebak saat Pilkada Jakarta. Begitu pilkada selesai, hoaks bukannya berhenti. Hoaks politik berganti menjadi hoaks dengan materi isu kesehatan, pangan, ekonomi, maupun yang bersifat personal.
“Pun, sejumlah hoax lama didaurulang, dan herannya, tetap saja disebarluaskan dan punya ‘fans’,” katanya.
Fenomena tersebut, kata Santi, memunculkan keraguan atas keberhasilan gerakan antihoak. Sekaligus juga menimbulkan tanda tanya seputar efektivitas strategi memerangi hoaks. Apa sesungguhnya yang terjadi?
Fenomena berikutnya, alih-alih mengoreksi, yang terjadi adalah sikap defensif luar biasa ketika penerima hoaks disodorkan fakta yang sebenarnya. Mereka ingin bertahan dengan hoaks yang dianggap sebagai kebenaran. Pemerintah, akademisi, maupun para aktivis tampak mati kutu dan tidak mampu menjelaskan permasalahan ini.
Dalam artikel bertajuk Konstruksi Body of Knowledge tentang Hoax Di Indonesia: Upaya Merumuskan Landasan Strategi Anti-Hoax, Santi menyatakan ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia, saat strategi antihoaks gagal memerangi hoaks, paling tidak disebabkan oleh dua hal.
Pertama, minimnya sumberdaya. Kedua, minimnya pemahaman terhadap hoaks di Indonesia dan perilaku orang ketika berhadapan dengan hoaks. Merumuskan strategi memerangi hoaks menjadi sulit, saat tak ada basis kajian atau pengetahuan yang bisa dijadikan landasan kajian.
“Semua ini akhirnya berpulang pada body of knowledge, atau kumpulan pengetahuan tentang hoax di Indonesia yang tampaknya belum terumuskan oleh siapa pun. Padahal, keberadaan body of knowledge adalah kebutuhan mutlak karena strategi atau kajian apapun membutuhkan dasar pijakan sebagai starting point,” terangnya.
Menurutnya, persoalan utama menyangkut hoaks di Indonesia dan lemahnya strategi antihoaks dalam menghadapi pabrik-pabrik hoaks, diakibatkan salah satunya adalah belum tersedianya body of knowledge mengenai hoax di Indonesia.
“Mendefinisikan hoax mungkin bukan perkara sulit, karena literature tentang hoax di berbagai referensi sudah sangat banyak. Namun, body of knowledge bukan semata-mata definisi dan teori. Body of knowledge juga merupakan kumpulan pengetahuan yang bersumber dari validasi pengalaman para aktor yang terlibat dalam berbagai level,” paparnya.
Selain itu, body of knowledge juga mengandung refleksi berdasarkan hasil amatan terhadap fenomena hoaks yang berkembang. Pada titik inilah, body of knowledge tentang hoaks di Indonesia yang lumayan solid dan komprehensif sejauh ini belum ditemukan. Orang masih menangani persoalan hoaks secara parsial berdasarkan apa yang mereka hadapi. Sudah itu, minim refleksi.