Bicara Banjir Hoaks di Amerika Serikat dan Indonesia
Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama bergelut dengan hoaks dan pandemi Covid-19.
Penulis Iman Herdiana25 September 2021
BandungBergerak.id - Bersamaan dengan pandemi Covid-19, di ranah digital terjadi membanjirnya informasi yang disebut infodemi. Segala informasi seakan bercampur, baik informasi benar maupun salah, fakta dan hoaks, setegah benar dan setengah salah, dan seterusnya. Hal itu membuat era digital begitu bising sampai-sampai orang-orang kesulitan memfilternya.
Infodemi atau banjir hoaks itu tak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, melainkan juga mewabah di negara maju seperti Amerika Serikat yang hingga kini masih bergelut melawan pandemi Covid-19.
Patsy Widakuswara, Koresponden Senior Gedung Putih VOA, menuturkan Amerika Serikat termasuk negara yang memiliki sediaan vaksin Covid-19 yang melimpah dengan berbagai macam merek. Akses vaksinasi Covid-19 sangat mudah, orang tinggal pergi ke apotik terdekat untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
Namun masih ada sekitar 70 juta penduduk Amerika Serikat yang menolak divaksin Covid-19 akibat paparan disinformasi atau hoaks.
“Dari 70 juta yang menolak antara lain karena berbagai disinformasi yang begitu marak,” kata Patsy Widakuswara, dalam webinar Kick off “VOA Goeas to Campus with AJI” bertema “Memperkuat Literasi Media di Era Digital: Pengalaman Indonesia dan Amerika”, Sabtu (25/9/2021).
Patsy membahas sebuah twit rapper Nicki Minaj tentang vaksin yang menghebohkan baru-baru ini. Melalui akun Twitternya, Nicki Minaj menyarakan vaksinasi bikin impotensi. Twit sang rapper tersebut kemudian viral sampai-sampai Gedung Putih turun tangan untuk menyatakan bahwa informasi yang disampaikan rapper tersebut adalah disinformasi alias hoaks.
Jadi, hoaks yang memicu disinformasi jelas tak bisa dibiarkan. Hoaks bahkan bukan hanya merugikan individu, melainkan juga berpengaruh pada program pemerintah dan masyarakat luas, khususnya terkait program memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Salah satu media yang sering menjadi alat penyebaran hoaks adalah grup-grup chat seperti Whatsapp dan sejenisnya. Menurut Patsy, ciri hoaks melalui Whatsapp biasanya mendorong orang yang menerima chat tersebut harus menyebarkannya ke banyak orang, seakan-akan informasi itu sangat penting dan mendesak untuk disebarluaskan.
Padahal penyebaran informasi tak bisa dilakukan tergesa-gesa, begitu juga dalam menerimanya.
“Kita mesti melihat lebih jauh kebenarannya, verifikasinya gimana, bisa kita lakukan di Google apakah ada sumber lain yang memberitakannya, apakah ada media yang meliputnya, kapan kejadiannya, apakah berita tersebut berita lama dan diolah lagi. Intinya kita harus slowdown, cek lagi, sebelum memforward. Disinformasi ini sebagian beritanya ada yang benar tapi ada elemen lain yang sensasional dan dilebih-lebihkan,” terangnya.
Namun melawan hoaks juga tidak bisa dilakukan dengan cara-cara represif seperti sensor. Patsy mengatakan, disinformasi harus dilawan dengan informasi lagi, tentunya dengan informasi yang akurat kebenarannya.
Maka di sinilah peran jurnalis yang harus menyajikan informasi akurat tersebut. Selain peran jurnalis, peran masyarakat atau jurnalisme warga dan mahasiswa juga penting dalam membangun literasi media.
Baca Juga: AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Mural “Jokowi Tutup Mata†di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI
Peran Jurnalis
Catur Ratna Wulandari, jurnalis dari digitalmama.id, pun sepakat bahwa ada tugas baru bagi para jurnalis di era digital ini, yaitu menjernihkan infodemi dengan menyajikan informasi-informasi yang diproses melalui disiplin verifikasi dan mengacu pada kode etik jurnalistik.
Dalam jurnalisme, disiplin verifikasi dan kode etik jurnalistik bukan hal baru. Namun kedua unsur ini menemukan momentumnya kembali di era digital. Verifikasi dan kode etik tak dimiliki oleh para pembuat konten kreatif seperti youtuber yang sangat banyak memproduksi informasi di media sosial.
Catur Ratna memaparkan, pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 200 juta jiwa (dari jumlah penduduk Indoensia sekitar 274 juta). Youtube menjadi media yang paling banyak diakses, yakni 93,8 persen, menurut data Digital tahun 2021.
Banyaknya pengguna Youtube membuat orang-orang berlomba menjadi pembuat konten. Mereka ingin menjadi youtuber atau tiktoker. Apalagi banyak sekali Youtuber yang mampu mendulang pundi-pundi uang besar dari Youtube.
Akan tetapi konten yang dibuat para pembuat konten Youtube dan sejenisnya itu masih perlu diuji kebenarannya. Di tengah situasi inilah jurnalisme berperan.
”Bagi jurnalis kita punya tantangan menyampaikan sesuatu yang penting bagi publik dengan cara-cara menarik,” katanya.
Minimnya Gerakan Pemerintah
Narasumber lainnya datang dari dosen yang juga pegiat literasi, Santi Indra Astuti, yang memaparkan masih rendahnya level literasi digital di Indonesia. Penilaian ini hasil survei terhadap 1.670 responden di seluruh Indonesia yang hasilnya 3,41 atau moderat (Katadata Insight Center dan Kominfo 2021).
Angka moderat juga diraih Jawa Barat, yakni 3,47. Meski dikategorikan moderat, angka level literasi digital tersebut menurut Santi terbilang rendah. Artinya literasi media orang Indonesa jauh tertinggal dibandingan dengan pesarnya produksi informasi di internet.
“Betapa kecilnya angka-angka ini,” kata Santi.
Di saat yang sama, gerakan literasi media cenderung lebih banyak dilakukan kampus dan komunitas. Santi mengungkap peta gerakan literasi digital di Indonesia pada 2017 di mana porsinya lebih banyak dilakukan universitas (56,14 persen), sedangkan gerakan yang dilakukan pemerintah hanya 14,32 persen.
Persentase porsi yang dilakukan pemerintah itu nyaris sama dengan yang dilakukan komunitas, yakni 13,52 persen. Komunitas sendiri umumnya memiliki sumber daya yang terbatas, tetapi mereka sanggup memberikan sumbangsih dalam membangun literasi media.