• Berita
  • Usia 40 Tahun ke Atas Cenderung Lebih Mudah Menerima Hoaks

Usia 40 Tahun ke Atas Cenderung Lebih Mudah Menerima Hoaks

Menurut penelitian Mafindo bersama UNICEF, maupun penelitian terdahulu yang dilakukan Unpad, faktor usia dan pendidikan berpengaruh kuat pada penerimaan hoaks.

Diseminasi penelitian tentang hoaks vaksinasi Covid-19 di Fikom Universitas Islam Bandung (Unisba), Senin (12/9/2022). Diseminasi ini dilakukan Mafindo dan UNICEF. (Sumber Foto: Mafindo)

Penulis Iman Herdiana13 September 2022


BandungBergerak.idInformasi bohong atau hoaks menyerang seluruh lapisan masyarakat. Ada bagian dari masyarakat yang paling rentan termakan hoaks di zaman infodemi ini, yaitu lansia. Ada juga penelitian yang menyebut bahwa kelompok usia 40 tahun ke atas menjadi sasaran empuk hoaks.

Kerentanan posisi lansia sebagai mangsa hoaks tergambar dalam hasil penelitian Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) bersama UNICEF bertema Social Inoculation 2.0. Penelitian yang berlangsung April 2020 itu dipublikasikan dalam acara diseminasi Pendekatan Inokulasi Sosial Terkait Pengelolaan Hoaks/Misinformasi Dalam Rangka Peningkatan Cakupan Vaksinasi Covid19 pada Kalangan Rentan.

Diseminasi berlangsung serempak di 3 kota yang menjadi lokasi uj icoba model intervensi, yaitu Medan, Bandung, dan Makassar, Senin (12/9/2022). Di Bandung, diseminasi berlangsung di Fikom Universitas Islam Bandung (Unisba).

Santi Indra Astuti selaku Koordinator Riset Nasional Social Inoculation Mafindo menyatakan, hingga kini hoaks vaksinasi masih mendominasi hoaks-hoaks bertema Covid-19. Penelusuran Mafindo sepanjang Januari hingga Agustus 2022, terdapat 73 konten hoaks yang dilaporkan publik maupun yang dijumpai oleh para pemeriksa fakta Mafindo.

“Porsi konten hoaks vaksinasi Covid-19 mencapai lebih dari 50 persen. Isinya sebagian besar mengulas KIPI atau kejadian ikutan pasca imunisasi, seperti hoaks tentang dampak vaksin booster, dampak vaksinasi Covid-19 pada anak, dan mempermainikan kebijakan vaksinasi,” tutur Santi yang juga sebagai dosen Fikom Unisba.

Penelitian Social Inoculation 2.0 menggunakan mix method approach yang menggabungkan beberapa teknik pengambilan data, seperti survei, wawancara, dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Survei melibatkan 900 orang responden dan berlangsung di 6 kota, yaitu Medan, Banda Aceh, Makassar, Kendari, Jakarta, dan Bandung.

Nurcholis Majid, selaku perwakilan Jenewa Institute yang mendampingi Mafindo dalam survei penelitian, memaparkan bahwa peningkatan wawasan/pengetahuan merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan kesadaran terhadap resiko Covid-19, resiko tidak divaksinasi, serta resiko terhadap hoaks bertema Covid-19 dan vaksinasinya.

Selain itu, hasil pemetaan segmen masyarakat dalam lingkup penelitian mendapati bahwa lansia adalah pihak yang paling rentan dalam situasi ini. Di kalangan lansia, cakupan vaksinasi terdeteksi rendah, penerimaan terhadap vaksin rendah, sementara keragu-raguan terhadap vaksinasi sangat tinggi.

Di sisi lain, lansia juga terbatas akses informasi dan komunikasinya, juga terbatas kepemilikan gawai maupun cara menggunakannya. Akibatnya, mereka menjadi sasaran hoaks yang tersebar dari mulut ke mulut, percaya begitu saja tanpa memiliki motivasi maupun kemampuan untuk mengatasinya.

Diseminasi tersebut juga memaparkan terkait peranan kader sebagai ujung tombak untuk menjangkau lansia.

“Di sini, kader ditingkatkan kapasitasnya sedemikian rupa sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mencoba membantu lansia yang terbatas akses informasi sehingga mudah tertipu hoaks. Selain itu, memotivasi lansia agar mengubah persepsinya tentang vaksinasi Covid-19 sehingga bisa meningkatkan cakupan vaksinasi,” tutur Nurholis Majid.

Uji coba model intervensi berlangsung selama 1 (satu) bulan di Bandung, Medan, dan Makassar, melibatkan 43 kader dan 116 lansia. Sepanjang masa intervensi, kader telah melaksanakan 116 kegiatan mandiri yang menjangkau 901 khalayak di 3 kota.

Dari keseluruhan lansia yang dibina, lebih dari setengahnya mengalami perubahan baik dalam menyikapi isu vaksinasi, maupun dalam menumbuhkan awareness terhadap bahaya informasi menyesatkan. 

Intervensi di kalangan kader meningkatkan self-efficacy (perasaan mampu melakukan perubahan), menambah kemampuan periksa fakta, berkomunikasi dengan lansia, sekaligus menguatkan motivasi untuk mengubah perilaku sasarannya.

Diseminasi mengeluarkan 4 rekomendasi penelitian yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, penanganan hal-hal yang mengganggu upaya peningkatan cakupan vaksinasi dari sisi pengelolaan infodemi perlu dilakukan secara proaktif, bukan reaktif.

Model Inokulasi Sosial menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan secara proaktif, dengan menumbuhkan kebiasaan periksa fakta, mencerna informasi secara kritis, dan mengonsultasikan sumber-sumber informasi yang beredar.

Kedua, perlu adanya pihak yang bisa memantau lalu lintas informasi yang beredar, sehingga bisa mendeteksi sesegera mungkin hoaks atau rumor yang berpotensi mengacaukan upaya penanganan pandemi atau wabah yang sedang berlangsung.

Ketiga, dibutuhkan sinergi pemerintah –dalam hal ini Dinas Informasi dan Komunikasi serta Dinas Kesehatan hingga level lokal-- untuk memantau, mengelola krisis, termasuk melakukan mitigasi ketika gangguan komunikasi dan informasi kesehatan terjadi.

Keempat, pelibatan masyarakat hingga ke akar rumput adalah keharusan, sehingga masyarakat bisa berpartisipasi aktif melawan hoaks yang mengganggu penanganan pandemi/wabah.

Whatsapp dan Hoaks 

Diseminasi hasil penelitian oleh Mafindo bersama UNICEF sebenarnya bukan hal baru. Dalam hal ini, lansia memang kerap menjadi korban dari penyebaran hoaks khususnya di masa infodemi yang oleh Mafindo didefinisikan sebagai gelombang informasi menyesatkan pada masa pandemi Covid-19. Wujud infodemi bermacam-macam, mulai dari gosip hingga misinformasi/disinformasi, atau lebih dikenal dengan hoaks.

Terkait infodemi tersebut, dosen Fikom Universitas Padjadjaran (Unpad) Jenny Ratna Suminar bersama dosen Fikom Unpad lainnya, Purwanti Hadisiwi, mengkaji peran penangkis hoaks (hoax buster) dalam membendung informasi kesehatan yang beredar di grup WhatsApp.

WhatsApp merupakan aplikasi percakapan singkat yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di balik popularitasnya, WhatsApp menjadi aplikasi dengan tingkat penyebaran hoaks paling masif di Indonesia.

Salah satu sebaran informasi hoaks paling tinggi di WhatsApp adalah informasi mengenai kesehatan. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, informasi kesehatan menjadi hal krusial yang ingin diketahui banyak orang. Jika tidak disaring, pengguna akan rentan mendapat informasi bohong atau hoaks.

“(Penelitian) saya berangkat dari fenomena kehidupan keseharian banyak orang. WhatsApp paling masif penggunaannya, sehingga peredaran informasi termasuk komunikasi kesehatan kenyataannya itulah yang terbanyak,” ungkap Jenny, dikutip dari laman Unpad.

Dari penelusuran yang dilakukan ke sejumlah orang, Jenny berpendapat, hampir semua pengguna WhatsApp memiliki grup-grup percakapan. Bahkan, ada orang yang mempunya minimal 10 grup di akun WhatsAppnya. Hal ini akan mendorong pusaran informasi mengenai kesehatan masif terjadi.

Menurut Jenny, hoaks kesehatan sangat mudah dipercayai oleh pengguna media sosial. Apalagi oleh kelompok usia 40 tahun ke atas. Jenny menganalogikan kelompok usia ini dengan istilah kelompok baby boomers atau digital immigrant di media sosial. Kelompok ini rentan menelan beragam informasi kesehatan dengan mentah.

Padahal, informasi tersebut belum tentu benar. Kurangnya literasi penggunaan media sosial yang baik akan mudah memicu hoaks ini menyebar luas.

“Orang Indonesia sangat mudah menerima dan mengiyakan informasi yang belum tentu kebenarannya,” kata Jenny.

Dengan kemampuan literasi yang kurang, ditambah tidak melakukan konfirmasi akan kebenaran informasi tersebut mendorong orang mudah percaya dan kembali menyebarkan hoaks tersebut ke grup WhatsApp lainnya.

Jenny mencontohkan, banyak orang percaya mengonsumsi produk tertentu yang diklaim ampuh menyembuhkan penyakit. Padahal, belum ada sumber referensi ilmiah yang membenarkan klaim tersebut. Sejatinya, beragam informasi terkait kesehatan perlu dibarengi dengan bukti ilmiahnya.

“Kita sering menerima informasi, membacanya, lalu menyebarkan kembali tanpa dibarengi konfirmasi terlebih dahulu. Bahkan, ada orang yang menerima lalu melihat judulnya bagus, dan langsung disebar, tanpa dibaca isinya,” papar Jenny.

Baca Juga: Masyarakat agar Mewaspadai Hoaks di Tahun Politik
Hoaks Vaksin Covid-19 Menyebar semakin Halus
AJI: Pemerintah tidak Boleh Sewenang-wenang Melakukan Stempel Hoaks pada Peristiwa Wadas

Motif Hoaks di WhatsApp

Pakar komunikasi kesehatan ini menjelaskan, ada beberapa motif yang bisa kita indentifikasi apakah informasi tersebut benar atau hoaks. Pertama, jika informasi itu berisi klaim bisa mengobati atau menyembuhkan penyakit serta diikuti dengan kalimat promotif yang bersifat anjuran. Klaim ini perlu ditelusuri kebenarannya dengan mencari bukti ilmiahnya.

Kedua, kata Jenny, apabila informasi tersebut berisikan ajakan untuk menyebarkan lebih luas ke pengguna lainnya. Bisa dipastikan, informasi tersebut cenderung mengarah ke hoaks.

Terakhir, apabila informasi tersebut tidak menyertakan sumber, pengguna mesti berhati-hati akan kebenarannya. Ada sumber pun, pengguna juga mesti mengonfirmasi kebenarannya. Tidak jarang, banyak info yang mencantumkan nama dokter atau ilmuwan yang sebenarnya tidak ada sosoknya.

“Ternyata setelah dicek ke data di IDI, atau di Google, nama tersebut tidak ada. Ini bisa dipastikan hoaks,” kata Jenny.

Tingkat pendidikan ternyata tidak memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi hoaks. Ada banyak di antara kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi ternyata ikut menyebarkan hoaks.

Maka dari itu, Jenny menyimpulkan bahwa seseorang bisa dengan mudah termakan hoaks disebabkan oleh tingkat literasi teknologi dan media sosial yang masih rendah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//