• Kolom
  • Panggung Sejarah Gerakan Anti Fasis

Panggung Sejarah Gerakan Anti Fasis

Sidik Kertapati menggambarkan Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) begitu pentingnya dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dianggap berbahaya oleh Jepang.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Amir Syarifuddin, saat sidang pleno KNIP di Malang, 25 Februari - 6 Maret 1947. (Foto: Arsip Nasional)

24 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Penerbit Ultimus Bandung belum lama ini menerbitkan ulang sebuah buku legendaris. Buku tersebut ditulis Sidik Kertapati. Seorang pejuang kemerdekaan yang jarang dipercakapkan orang-orang.

Berjudul Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, kehadirannya cukup mendapat sambutan dari berbagai kalangan. Tidak sedikit yang menanggapi positif kelahiran kembali buku ini. Khususnya sejumlah ilmuwan sosial.

Berbeda dari catatan sejarah yang ditulis ilmuwan lainnya, dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Sidik Kertapati memberi porsi lebih bagi gerakan anti-fasis. Dalam pengertian umum, kita tahu bahwa anti-fasis merupakan suatu upaya perlawanan terhadap ideologi, kelompok, orang-orang, dan gerakan fasis.

Bagi Sidik Kertapati, tentu saja upaya perlawanan terhadap fasis itu bukan merupakan suatu hal yang asing. Mengingat dirinya memiliki kedekatan (dan intens beririsan) dengan orang-orang yang kelak dikenal berjuang di "bawah tanah" tersebut. Walhasil apa yang ditulis begitu memukau.

Benedict Anderson, dalam bukunya yang berjudul Revoloesi Pemoeda, pernah menyatakan bahwa "secara umum, uraian Sidik Kertapati mengenai Gerakan Bawah Tanah itu adalah yang terlengkap dan memuaskan di antara buku-buku berbahasa Indonesia lainnya" (2018, hlm. 53).

Menarik kiranya untuk menelusuri kembali apa yang diamati Sidik Kertapati. Berbeda dengan studi klasik Benedict Anderson yang mengklasifikasikan gerakan bawah tanah berdasarkan tiga asrama besar pada zaman itu, Sidik Kertapati justru memetakannya dalam tokoh dan golongan. Bahkan ada beberapa nama yang kurang akrab terdengar di telinga khalayak.

Yang layak diajukan menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana kisah perjalanan Geraf, dan mengapa jejaknya seolah terlupakan?

Sampul buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditulis Sidik Kertapati. (Foto: Bilven)
Sampul buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditulis Sidik Kertapati. (Foto: Bilven)

Pertemuan Awal

Menjelang akhir 1930an, dunia sedang diambang perang. Pada tahun-tahun itu, tepatnya 1 November 1936, sejarah mencatat bahwa Jerman dan Italia mengumumkan pembentukan Poros Roma-Berlin. Beberapa minggu setelahnya, Penguasa Fasis Jerman dan Kekaisaran Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern.

Sasarannya secara khusus diarahkan pada Uni Soviet. Sebelumnya, pada tahun 1934, Komintern merancang kebijakan Front Rakyat atau Popular Front. Sebuah pembalikan dramatis dari orientasi Komintern yang sebelumnya mengedepankan perjuangan kelas.

Popular Front berupaya melawan fasisme dengan menggalang seluruh pihak anti-fasis, termasuk borjuis demokratis. Semua ini mereka tetapkan sejak diputuskan dalam Sidang Komintern VII di Moskow pada 1935. Tentu tak semua kelompok kiri menyetujui strategi dan taktik seperti ini.

Hal itu, terutama muncul kalangan Trotskyis. Atau mereka yang menjadi oposisi Stalin pada periode tersebut. Meski Georgi Dimitrov, selaku pimpinan Komintern, telah merumuskan fasisme sebagai "kediktatoran teroris terbuka yang terdiri dari unsur-unsur kapital finans paling reaksioner, paling chauvinistik, dan paling imperialis".

Situasi runyam kian tak terelakkan pada 27 September 1940. Jerman, Italia, dan Jepang mempererat aliansi mereka dengan Pakta Tripartit yang kelak dikenal sebagai persekutuan blok Poros. Pokok dari Pakta Tripartit adalah menjamin setiap anggota aliansi untuk wajib memberikan bantuan jika salah satu anggota aliansi diserang oleh negara mana pun.

Mei 1941, Belanda diserbu fasisme Hitler. Kemudian AS turut memasuki kancah pertempuran usai Pearl Harbor dibom Jepang. Bersamaan dengan itu, di Hindia Belanda diadakan suatu pertemuan klandestin (dibaca: rahasia).

Pertemuan itu dihadiri kaum revolusioner dari berbagai kalangan. Sidik Kertapati, dalam Buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 – sebagaimana telah disinggung di muka, dengan rinci memuat pertemuan ini. Ia mengenang satu pertemuan klandestin yang dihelat di bilangan Rawamangun, Jakarta.

Semua persiapan dirancang oleh salah seorang aktivis buruh pelabuhan. Sejumlah tokoh, dalam amatan Sidik Kertapati, tampak menghadiri pertemuan klandestin tersebut.

"Saat itu hadir tokoh-tokoh seperti Pamudji dari PKI (Surabaya), Subekti dan Atmadji dari Gerindo, Sujoko dari elemen tani yang bergabung di dalam organisasi barisan rakyat (Solo), Armunanto elemen buruh (Persis: Persatuan Sopir Indonesia Sukabumi), Widarta seorang komunis yang mewakili golongan pemuda (Perpri: Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia), Kiai Mustofa mewakili golongan alim ulama revolusioner dari Singaparna, dan Liem Koen Hian yang mewakili golongan peranakan asing dan mewakili golongan intelektual" (2023, hlm. 15-16).

Inti pembicaraan pertemuan di Rawamangun itu berpusat pada perspektif dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia yang secara tegas menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak akan mampu melawan bahaya fasisme Jepang. Dan yang bisa melawan itu, menurutnya, hanyalah Persatuan yang diusung Rakyat Indonesia sendiri. Sebuah prinsip yang diterima sebagai pedoman pertemuan Rawamangun.

Kelak, pertemuan itu juga membidani kelahiran organisasi politik ilegal revolusioner yang diberi nama Gerakan Rakyat Anti-Fasis (Geraf). Sidik Kertapati menggambarkan kelompok menjadi begitu penting di saat buku-buku Sejarah Indonesia "resmi" tampak abai. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kiprah Geraf di kancah perjuangan kemerdekaan?

Pertemuan Kedua

Pada awal pendudukan Jepang, Gerakan Anti-fasis (Geraf) mengadakan pertemuan kedua. Pertemuan kedua ini dihelat di kediaman dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang terletak di Salabintana, Sukabumi.

"Dalam pertemuan itu beberapa tokoh peserta pertemuan pertama tidak sempat hadir. Meski begitu, hadir tokoh-tokoh lain yang bermaksud hendak memperkuat barisan Geraf," tulis Sidik Kertapati (2023, hlm. 16).

Tercatat nama-nama hadir dalam pertemuan kedua. Misalnya, seperti Djokosudjono alias Tjokro, dr. Ismangil, Hendromartono, Amir Sjarifuddin, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sendiri. Kelak, sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa pertemuan kedua menghasilkan suatu sikap bersama yang rumusannya menyatakan rakyat Indonesia harus berdiri sendiri -mengingat pemerintah Hindia Belanda telah dilikuidasi.

Selain itu, Geraf menyerukan untuk rakyat Indonesia segera melakukan perlawanan Anti-Fasis. Mereka tegas mengatakan jika di atas reruntuhan Fasisme, Indonesia merdeka harus didirikan. Mereka membentuk suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari Amir Sjarifuddin, Pamudji, dan Sukajat.

Sementara sekretariat diserahkan kepada Armunanto dan Widarta. Aktivis-aktivis lainnya mendapat tugas-tugas khusus untuk bekerja di kalangan kaum nasionalis, kaum agama, buruh, tani, pangreh praja, dan yang sangat penting ialah di kalangan angkatan bersenjata. Sebagai tanda hormat, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian diangkat menjadi penasihat Geraf.

Dan setelah itu Geraf kian bergeliat. Beberapa cabang Geraf terbentuk di Jakarta, Jawa Barat, dan nyaris di setiap kota di Pulau Jawa. Sementara basis utamanya terletak di Surabaya.

“Gerakan bawah tanah Amir ini adalah gerakan bawah tanah yang terbesar di antara gerakan bawah tanah lainnya,” tulis Hendri F. Hisnaeni dalam artikel bertajuk Geraf Bergerak (diakses Jumat, 20 Oktober 2022).

Sementara Sidik Kertapati, beranggapan jika "Garis Front Persatuan Anti-Fasisme sesuai dengan tuntutan objektif saat itu". Demikianlah keberadaan Geraf mendorong kesadaran masyarakat luas. Kelak, mereka mulai sadar akan ancaman fasisme. Menggalang perlawanan yang menjalar bak tumbuhan liar.

Baca Juga: Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1
Sidik Kertapati, Satu dari Sekian Nama yang Dihilangkan
Gunungan Sampah dan Kecemasan Petugas Kebersihan di Pasar Gegerkalong

Merebak ke Bandung

Berbagai upaya yang dilakukan Geraf memantik perlawanan serupa. Di Bandung berdiri gerakan revolusioner lain yang bernama Joyoboyo. Mereka kelak turut pula ambil bagian dalam perjuangan anti-fasisme Jepang. Joyoboyo dipimpin oleh Mister Jusuf. Ia merupakan anak seorang pegawai pemerintah kolonial. Artinya, memiliki privilese dalam hal pendidikan.

Meski begitu, Mr. Jusuf acapkali beririsan dengan rakyat kecil. Saat menjadi pengacara, ia sering mendapat simpati rakyat karena kerap membantu mereka yang lemah di pengadilan. Semua ini terjadi sebelum dirinya memutuskan terjun langsung ke politik.

"Yang menjadi unik, Mr. Jusuf itu seorang marxis yang doyan klenik," tutur Arief Djati, seorang peneliti sejarah, dalam satu diskusi di Kedai Jante, Jumat 6 Oktober 2023.

Pada tahun 1942, Mister Jusuf menjadi anggota Gerindo di Bandung. Tidak heran jika di kemudian hari ia memendam prinsip politik anti-fasis. Bahkan keberaniannya terbukti dalam beberapa catatan lain. Di kalangan pemuda, dia dikenal sebagai 'mister gendeng' karena berani melawan dan memaki-maki Jepang di muka umum.

“Karena itu, banyak pemuda yang kagum dengan keberaniannya. Bahkan, sebagai revolusioner tua, pengaruhnya besar antara lain memengaruhi D. N. Aidit,” tulis Soe Hok Gie, seperti dikutip dari Hendri F. Isnaeni dalam artikel bertajuk Djojobojo Menantang Jepang (diakses Jumat, 20 Oktober 2023).

Mister Jusuf juga berhasil menggaet sejumlah kader. Mereka ini terdiri dari anak-anak Rakyat. Di antaranya tercatat nama-nama seperti Bahri, Hidayat, K. Muhidin, Suminta, Sair, O. Sugih, Parna, Aziz, dan lain-lain.

Sementara waktu berjalan. Dalam kegiatannya, Joyoboyo menjalin hubungan dengan grup Anti-Fasis di bawah pimpinan Mister Soeprapto yang konon, seturut penjelasan Arief Djati, juga merupakan seorang pengacara. Dan ia juga sama persis. Mempunyai banyak kader, antara lain Abdullah, Sukirman, Abioso, Marlan, dan Rubia.

Kelak di awal kemerdekaan, saat pemerintah menganjurkan pendirian partai-partai politik, keduanya menggunakan kesempatan itu untuk menghidupkan PKI secara legal usai sebelumnya dilarang pemerintah kolonial karena memberontak pada 1926. Pada saat aktif terlibat di Joyoboyo, keduanya juga menekankan kegiatan di kalangan buruh kendaraan bermotor, buruh minyak, buruh perkebunan, dan lain-lain.

Mereka melakukan taktik sabotase untuk menghambat atau menggagalkan jalannya produksi bagi kepentingan perang. Pada tahun 1943, gerakan Joyoboyo berupaya membongkar rel kereta api di antara Banjar dan Pangandaran. Ini mengakibatkan tergulingnya kereta api militer Jepang, dan putusnya hubungan antara kedua tempat itu untuk waktu yang lama. Setelah itu, gerakan tersebut melakukan hal serupa di Nagreg (Garut). Namun upaya terakhir menghadapi kegagalan.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Rezim fasis Jepang kemudian mulai mencium gelagat organisasi Joyoboyo. Dengan cara tipu muslihat, rezim fasis Jepang bersiasat merancang "Konferensi Joyoboyo" palsu. Mereka menyiarkan undangan melalui siaran pers.

Nahas bagi mereka yang kurang awas. Tidak sedikit di antara kader revolusioner yang terpancing oleh tipu muslihat Jepang. Puluhan kader Joyoboyo ditangkap dan dipenjara, beberapa di antaranya dihukum mati, antara lain yang bernama Parnawidjaja, Lukman, dan Tas'an.

Warta Bandung 1957 melaporkan peringatan peristiwa bersejarah di Singaparna yang dipimpin Kiai Haji Zaenal Mustofa. (Foto: dokumentasi pribadi).
Warta Bandung 1957 melaporkan peringatan peristiwa bersejarah di Singaparna yang dipimpin Kiai Haji Zaenal Mustofa. (Foto: dokumentasi pribadi).

Perlawanan Fisik

Upaya yang dicanangkan Geraf mulai membuahkan hasil. Semangat perlawanan terhadap fasisme sudah menjalar ke mana-mana. Karenanya, muskil untuk dibendung kekuatan penguasa fasis.

Kaum tani Indramayu di Desa Kandanghaur mulai melawan pada tanggal 23 Oktober 1943. Beberapa waktu setelahnya, pada 14 Februari 1944, di Desa Sukamanah, Singaparna, menyusul pemberontakan yang dipimpin ulama: Kiai Haji Zaenal Mustafa. Dengan mengangkat parang, golok, arit, cangkul, atau apa pun yang dapat dipergunakan untuk membela diri, mereka menyerbu Jepang dan kaki-kaki tangannya.

"Pemberontakan yang disulut oleh kaum petani itu bagaikan api yang membakar padang alang-alang yang telah mengering," tulis Sidik Kertapati (2023, hlm. 19).

Namun, Sidik Kertapati menyayangkan hal ini dilakukan tanpa ditunjang "organisasi yang rapi", dan menurut analisanya, bukan hasil dari persekutuan yang erat dengan golongan-golongan lain. Akibat yang dihasilkan, pembangkangan menjadi terisolasi dan mudah dipatahkan. Fasisme Jepang menumpas habis-habisan perlawanan dan membenamkannya dalam genangan darah.

Subekti tewas pada Peristiwa Indramayu. Sementara Kiai Haji Zaenal Mustofa tewas pada Peristiwa Singaparna. Sebagai tanda penghormatan, Sidik Kertapati mengenang kedua pahlawan rakyat itu.

Menurutnya, mereka tewas dalam menjalankan amanat Geraf. Isi dari amanat itu sebagaimana dikutip secara utuh di sini:

"...... menyalurkan dan memimpin terus perjuangan rakyat dan bila ketidakpuasan Rakyat sudah sampai pada puncaknya, supaya tampil ke depan mengambil tanggung jawab perjuangan. Tiap perlawanan terhadap Jepang merupakan pelajaran dan pengalaman penting, karenanya, sedapat mungkin harus dipimpin. Hal itu akan mempertajam dan mempertinggi tingkat perjuangan anti-fasis pada umumnya dan sekaligus merupakan latihan untuk persiapan revolusi bersenjata kelak."

Perlawanan Kebudayaan

Perjuangan rakyat Anti-Fasis tidak saja terbatas di bidang politik, tetapi juga di bidang kebudayaan. Cak Durasim, selaku pemimpin sandiwara ludruk di Surabaya yang sindiran-sindirannya lugas dan berani, akhirnya tewas dibunuh Penguasa Fasis Jepang. Kidungan Cak Durasim, antara lain:

Pegupon omahe doro,
Melok Nippon tambah sengsoro..
(Pagupon rumah buru dara,
turut Nippon tambah sengsara...)

Sementara Dalang Partasuwanda dari Priangan, yang terkenal dan dicintai oleh masyarakat setempat, juga harus menebus keberaniannya dengan penjara dan siksaan. Sidik Kertapati melukiskan irama gendingan dalang Partasuwanda yang halus menyentuh hati tersebut. Tentu diiringi syair-syairnya yang tajam. Isinya antara lain:

Melak jarak jeung kaliki,
keur galak sagala beuki....
(Tanam jarak dan keliki,
sudah galak segala mau lagi...)

Yang mengenaskan adalah nasib istri sang dalang, yang merupakan seorang pesinden bernama Arsenah. Ia turut mengalami nasib sial. Kepalanya digunduli Penguasa Fasis Jepang.

Terlupakan

Sulit untuk melacak jejak Geraf secara holistik. Soe Hok Gie, selaku ilmuwan sejarah, bahkan terkesan menihilkan keberadaan Geraf. Ia berasumsi Sidik Kertapati menulis buku tersebut semata untuk propaganda politis daripada sebuah usaha menuliskan sejarah.

“Hatta sendiri,” tulis Gie, seperti dikutip dari Hendri F. Isnaeni dalam artikelnya bertajuk Geraf Bergerak (diakses Jumat, 20 Oktober 2023), “tidak pernah mendengar tentang Geraf dan tidak percaya jika dr. Tjipto yang dikenalnya secara baik mau bergabung dalam gerakan komunis.”

Demikianlah. Tampak ada semacam perasaan skeptis yang hadir di lubuk hati dan pikiran para ilmuwan sejarah. Namun telah menjadi fakta tak terbantahkan jika penguasa fasis Jepang menetapkan Geraf sebagai kelompok berbahaya dan harus dilumpuhkan. Suatu hal yang kelak, saat kekuasaan fasis Jepang berdiri tegak, memang menjadi kenyataan.

Berbeda dengan pandangan lain, Arief Djati – selaku peneliti sejarah, ketika ditanya dalam sesi diskusi di Kedai Jante, Jumat 6 Oktober 2023 – mengatakan bahwa semua itu tak lepas dari penilaian sejumlah pihak mengenai sosok Amir Syarifuddin. Kita tahu jika Amir dimata publik merupakan sosok yang kontroversial. Bersama Musso, namanya terseret dalam insiden Madiun 1948.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//