• Opini
  • Bencana Sumatra: Dari Pahlawan ke Titik Nol

Bencana Sumatra: Dari Pahlawan ke Titik Nol

Kita terbiasa menjadikan tragedi sebagai panggung bagi kebaikan, tapi gagal sebagai alasan untuk menuntut keadilan.

Deri Hudaya

Pengajar Media dan Kajian Budaya di Universitas Garut. Saat ini sedang menyusun zine Ekologi Gelap.

Alam dan manusia secara tradisional memiliki hubungan yang sakral. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

11 Desember 2025


BandungBergerak.id – Di Sumatra, air meluap dari sungai yang kehilangan daya tampung, merangkak ke pemukiman yang dulu dianggap aman, lalu menandai rumah-rumah manusia dengan garis lumpur seperti peringatan tak kasatmata: kalian lupa siapa yang lebih tua. Setiap kali banjir datang, masyarakat kembali menghafal hubungan sebab-akibat yang sebetulnya tidak pernah berubah–bahwa deforestasi bukan sekadar “isu lingkungan”, melainkan perjanjian diam-diam yang diteken oleh manusia terhadap dirinya sendiri. Setiap pohon yang tumbang ikut menarik seutas tali keseimbangan. Dan ketika tali itu putus, air berbicara dengan volume yang tak bisa lagi dikendalikan.

Namun yang menarik dari banjir besar bukan sekadar airnya; melainkan cara kita membicarakannya. Setiap tahun kalimat yang sama kembali dirapikan: deforestasi menyebabkan banjir. Semudah itu, sesimpel itu, seklise itu–dan justru di situ masalahnya. Kebenaran yang terlalu sering diulang perlahan menjadi dekorasi: kita lihat, kita kenali, tapi selalu juga akhirnya kita lupakan. Padahal logikanya tidak pernah berubah: ketika hutan dirusak, ketika perusahaan meraup keuntungan dari tanah yang tak lagi bisa bernafas, ketika pemerintah gagal mengawasi, ketika preman dan aparat jadi kaki tangan, maka mereka–dan hanya mereka–yang harus berdiri paling depan untuk dimintai pertanggungjawaban.

Tetapi fokus tuntutan itu sering mengabur di antara hiruk pikuk simpati. Di tengah lumpur, suara moral masyarakat mendadak pecah menjadi banyak cabang. Ada yang marah pada perusahaan, ada yang memaki pemerintah, tetapi sebagian lain terpikat pada panggung yang lebih menyentil perasaan–panggung kemanusiaan yang digelar dalam bentuk open donasi. Dalam hitungan jam, influencer dengan ring light dan ekspresi serba-empati mengangkat ponsel, membuka tautan, dan mengajak orang-orang berdonasi. Seruan ini tentu baik dan penting; tidak ada yang menyangkal itu. Namun baik dan penting tidak berarti bebas dari problem.

Karena di negeri ini, solidaritas sering kali menjadi candu. Kita menyukai peran sebagai penolong–apalagi jika bisa dipamerkan sambil menempelkan stiker #PrayForSumatra di Instagram. Tetapi dalam euforia heroisme digital itu, sesuatu yang penting pelan-pelan memudar: tuntutan politik. Kemarahan struktural berubah menjadi empati instan. Kemuakan nasional terdiskon pelan-pelan. Dari menuntut presiden dan korporasi, kita turun level menuntut sesama warga agar lebih murah hati. Kita berubah dari citizen menjadi donatur. Dari aktor politik menjadi komentator live streaming.

Baca Juga: Sumatra Berduka, Desakan Status Bencana Nasional Menguat
Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab pada Bencana Sumatra

Kegelapan Ekologis

Dark ecology dari Timothy Morton bisa kita pinjam: sebuah ajaran yang mengingatkan bahwa hubungan manusia dengan alam selalu kacau, rapuh, dan penuh ironi. Dark ecology meminta kita untuk tidak tergoda menata tragedi menjadi cerita pahlawan. Ia menyuruh kita memandang lumpur sebagai cermin, tempat kita melihat diri sendiri sebagai bagian dari sistem yang gagal. Banjir bukan hanya produk “alam yang marah”, tapi sistem yang kita bangun, kita biarkan, dan kita nikmati hasil ekonominya–sampai airnya kembali untuk menagih. Kekacauan sistemik tidak bisa diatasi hanya dengan lahirnya seorang pahlawan.

Dalam bingkai dark ecology, tindakan influencer yang menggalang dana bukan sekadar aksi kebaikan. Ia juga adalah gejala: keinginan manusia untuk menyelubungi horor ekologis dengan selimut moralitas cepat saji. Kita ingin menjadi pahlawan yang menolong korban, tanpa harus menjadi warga yang menolak penyebab korban itu muncul. Kita menyukai narasi heroik karena narasi itu membuat kita merasa bersih—padahal kegelapan ekologis justru menuntut kita meraba kotoran sistemik yang lebih dalam.

Lama-lama, open donasi menjadi alibi struktural yang tak sengaja kita bangun bersama. Pemerintah bisa berkata: masyarakat sudah bergerak, kita apresiasi solidaritas publik. Perusahaan bisa berkata: kami turut membantu dengan CSR yang kebetulan lebih murah daripada berhenti merusak hutan. Mantan Menteri Kehutanan bisa juga terinspirasi–betapa pun absurdnya–memanggul karung beras seukuran bantal kanak-kanak di tengah jutaan korban. Ketika itu terjadi, para influencer yang tadinya tampil sebagai pahlawan justru berpotensi tergelincir menjadi bagian dari masalah–bukan karena niat buruk, tetapi karena aksi kemanusiaan mereka dijadikan tirai yang menutupi akar tragedi. Dari hero menjadi zero, dan semua bisa terjadi dengan atau tanpa mereka sadari.

Menuntut Keadilan

Tidak ada yang bilang influencer tidak boleh membuka donasi. Tidak ada yang melarang membantu korban bencana. Justru itu adalah sisi terbaik dari masyarakat kita. Tetapi dalam ekologi yang telah sedemikian gelap ini, setiap tindakan baik harus disertai refleksi: apakah kebaikan ini membuat sistem membaik, atau malah membuat para pelaku utama semakin nyaman bersembunyi? Dan merasa terselubungi? Apakah empati kita memperkuat akuntabilitas, atau malah mengalihkan fokus? Tidakkah bosan setiap tahun menggalang donasi, sementara setiap tahun juga hutan-hutan dibantai tanpa perlawanan berarti.

Saat bencana terjadi, para influencer memang tidak perlu berhenti menolong. Yang perlu mereka lakukan adalah menolak, atau setidaknya meminimalisir, upaya-upaya yang menempatkan tindakan mereka sebagai pengalih fokus: dari penggalang donasi lebih maksimal jika mereka juga menjadi penggalang kesadaran. Dari mempercepat penyaluran bantuan menjadi memperlambat manipulasi politik. Dari memadamkan api di permukaan menjadi menyinari akar yang membara di bawah tanah. Karena tanpa itu, setiap bencana akan selalu menghadirkan pahlawan baru–tetapi tidak pernah menghadirkan perubahan.

Dan itulah ironi paling gelap dari kisah ekologi kita. Dari tahun ke tahun. Kita terbiasa menjadikan tragedi sebagai panggung bagi kebaikan, tapi gagal sebagai alasan untuk menuntut keadilan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//