• Berita
  • Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan

Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan

Bukan hanya hujan ekstrem, deforestasi dan alih fungsi lahan memperparah risiko bencana yang kini mengintai Indonesia. Tak terkecuali Bandung Raya, Jawa Barat.

Landskap Kota Bandung dengan berlatar pegunungan selatan, 2022. Bandung merupakan wilayah berbentuk mangkuk (cekungan) yang dikelilingi pegunungan. (Foto Ilsutrasi: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul4 Desember 2025


BandungBergerak – Banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menjadi alarm kewaspadaan bagi Indonesia, khususnya Bandung Raya, Jawa Barat. Hingga 3 Desember, bencana ini menelan 770 korban jiwa dan menyebabkan 463 orang hilang. Penyebabnya bukan semata curah hujan tinggi akibat Siklon Tropis Senyar, tetapi juga akumulasi deforestasi dan alih fungsi lahan—kondisi yang turut ditemukan di Jawa Barat.

Hujan yang turun pada rentang 26-28 November lalu, bersamaan dengan bencana Sumatra, mengakibatkan bencana banjir di Pangalengan, Bandung Selatan. Oktober lalu, Lembang juga didera banjir. Ironisnya, kawasan di utara dan selatan itu merupakan pegunungan atau dataran tinggi yang kini tak luput dari bencana banjir.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengingatkan bahwa Jawa Barat terancam mengalami bencana ekologis akibat kebijakan yang lebih menekankan pada sektor pertambangan, infrastruktur, pesisir, dan pariwisata yang mengabaikan prinsip keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem. Alih fungsi lahan untuk permukiman, pembangunan infrastruktur, dan pertanian telah menyebabkan banyak kawasan hutan beralih fungsi menjadi lahan kritis.

“Kehilangan tutupan hutan ini tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga berpotensi mengancam ekosistem global. Gangguan terhadap ekosistem alami ini semakin memperburuk kualitas udara, meningkatkan suhu rata-rata, dan mengurangi kapasitas lahan untuk menyerap air hujan. Akibatnya, risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor semakin meningkat, sementara banyak spesies flora dan fauna endemik kehilangan habitatnya,” tulis Walhi Jabar di laman resmi.

Walhi Jabar mencatat, setidaknya, kawasan Bandung Raya menghadapi potensi bencana serius, karena dikepung kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan utara dan selatan. Di Kawasan Bandung Utara (KBU), Walhi Jabar mencatat telah terjadi perubahan bentang alam, degradasi lahan, serta alih fungsi lahan selama dua dekade ini.

Perubahan bentang alam ini terjadi di kawasan hutan, yang berfungsi sebagai zona resapan air, zona konservasi, zona hutan lindung, hingga zona Cagar Alam. Walhi Jabar menyebut, alih fungsi lahan di KBU bisa dilihat dengan maraknya izin-izin bisnis properti dan wisata alam yang tidak mengedepankan prinsip dan nilai keberlangsungan lingkungan hidup.

“Maka tidak heran pada saat musim hujan bencana banjir longsor, banjir bandang kerap terjadi dan di musim kemarau menimbulkan kejadian bencana kekeringan,” kata Walhi Jabar.

Sementara di Kawasan Bandung Selatan (KBS), yang diharapkan menjadi benteng terakhir untuk keberlangsungan lingkungan juga menghadapi persoalan yang sama. Walhi Jabar menduga KBS akan dikomersilkan sebagai kawasan strategis seperti pariwisata maupun pembangunan. Kawasan ini dinilai banyak memiliki potensi bencana seperti gunung api, pergeseran tanah atau longsor, banjir, puting beliung, dan lainnya.

Berdasarkan data dari Atlas Nusantara, pada tahun 2023, luas hutan yang tersisa di Jawa Barat hanya sekitar 259.576 hektare. Sementara itu, lahan kritis terus bertambah. Jawa Barat menduduki peringkat ketiga secara nasional dalam hal luas lahan kritis, mencapai 907.979,09 hektare pada tahun 2021.

“Kerusakan hutan di Jawa Barat, terutama akibat kebijakan yang mengedepankan kepentingan investasi, semakin mengkhawatirkan. Pembangunan yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan semakin memperburuk kualitas lingkungan dan menggusur ruang hidup masyarakat lokal. Banyak kawasan yang seharusnya dilindungi, seperti kawasan hutan lindung dan konservasi, kini terancam oleh alih fungsi untuk kepentingan bisnis dan pembangunan industri,” ungkap Walhi Jabar.

Walhi Jabar mengingatkan, jika dalam lima hingga 20 tahun mendatang kebijakan tidak berpihak kepada keberlanjutan lingkungan, maka ancaman kerusakan ekosistem benar-benar nyata. Bencana ekologis membayangi Jawa Barat.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi juga mengakui masifnya kerusakan hutan di Jawa Barat. Ia menjanjikan akan akan melakukan penanganan hutan yang rusak dengan cara menanam pohon dan merawatnya.

“Jawa Barat kondisi hutan yang betul-betul masih hutan kan 20 persen lagi. 80 persen kan dalam keadaan rusak,” ucap KDM, sapaan Dedi Mulyadi, dikutip dari siaran pers, Senin, 1 Desember 2025.

Baca Juga: Bukan hanya hujan ekstrem, deforestasi dan alih fungsi lahan memperparah risiko bencana yang kini mengintai Indonesia. Tak terkecuali Bandung Raya, Jawa Barat.
Para Perempuan Merawat Kawasan Bandung Utara, Bermula dari Pertanyaan Anak pada Ibunya

Gerakan Bantuan dari Jawa Barat 

Menyadari pentingnya solidaritas untuk membantu korban bencana Sumatra, masyarakat sipil dari beragam komunitas dan lembaga menggalang donasi publik. Beberapa lembaga kemanusiaan di Jawa Barat bahkan terjun langsung ke lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, seperti sembako, obat-obatan, kebutuhan bayi, dan pakaian.

Little Project Indonesia, lembaga kemanusiaan berbasis di Bandung kini tengah berlayar melalui jalur laut ke Sumatra membawa bantuan. Beberapa lembaga lain, membuka saluran donasi, seperti Wakaf Salman ITB, FK3I, Panglima UIN Bandung, Forum Mahasiswa dan Pemuda Aceh (Formapa) Bandung, Keluarga Mahasiswa Minang (KMM) UIN Bandung, Keluarga Mahasiswa Lampung (Kemala) Bandung, Keluarga Mahasiswa Kuningan (Kemuning) UIN Bandung, dan lainnya.

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga membuka donasi kepada kawan-kawan jurnalis terdampak bencana Sumatra di enam AJI Kota, di antaranya AJI Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, Medan, dan Padang.

Siklon Tropis dan Deforestasi

Curah hujan selama tiga hari berturut-turut di Sumatra lahir karena siklon tropis Senyar. Munculnya siklon tropis di Indonesia sebenarnya menjadi kabar yang cukup mengejutkan. Bagaimana tidak, Indonesia sebagai kawasan tropis, dianggap hampir mustahil menjadi lokasi tumbuhnya badai besar. Merujuk pada laman BMKG, siklon tropis Senyar berkembang dari bibit 95B yang bergerak mendekati Selat Malaka pada 26 November 2025. Pergerakan itu otomatis berdampak langsung terhadap hujan ekstrem, angin kencang, dan gelombang tinggi di wilayah yang kini terdampak bencana.

Research Center for Climate Change Universitas Negeri Padang menuliskan, krisis iklim, yang ditandai dengan pemanasan laut global diduga berperan kuat memperluas area pertumbuhan siklon hingga mendekati kawasan khatulistiwa yang biasanya dianggap aman. Perubahan iklim membuat intensitas dan lokasi pembentukan siklon tropis bisa berubah seiring meningkatnya suhu permukaan laut.

“Kondisi tersebut membuat negara seperti Indonesia, yang sebagian besar wilayahnya berada di dekat ekuator, kini tidak bisa lagi menganggap dirinya sepenuhnya bebas dari ancaman siklon tropis,” mengutip laman Research Center for Climate Change Universitas Negeri Padang.

Kehadiran siklon tropis Senyar ini mengingatkan bahwa era cuaca ekstrem kini telah mengetuk pintu dan tiba di hadapan kita. Indonesia yang dulunya dianggap aman dari badai tropis, akibat dinamika atmosfer yang semakin kompleks, ditambah fenomena krisis iklim, menuntut kewaspadaan dan antisipasi nyata dari seluruh pihak.

Di media sosial, publik banyak membagikan bagaimana citra satelit sebelum dan sesudah bencana banjir dan longsor menghantam tiga provinsi di Sumatra. Banyak pula video-video yang menunjukkan aliran banjir besar membawa serta gelondongan-gelondongan kayu dari kawasan hulu. Setidaknya itu menjadi bukti bagaimana kawasan hutan di hulu habis. Tanah tak punya daya resapan lantaran pohon yang menyerap air serta akarnya yang mengikat tanah telah ditebang habis.

Walhi Nasional menyatakan bencana Sumatra sebagai bencana ekologis. Itu disebabkan oleh kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan, dan diperparah oleh krisis iklim. Walhi mencatat, sepanjang 2016-2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geothermal, izin PLTA, dan PLTM.

Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis Walhi Nasional, Melva Harahap menyebutkan, penetapan status bencana nasional menjadi penting dalam merespon bencana ekologis yang terjadi di Sumatra. Ia mendorong pemerintah segera mendistribusi kebutuhan pokok, memastikan kebutuhan dasar masyarakat, dan menyiapkan pemulihan lingkungan.

“Hal yang harus diingat, penting bagi negara untuk menagih pertanggungjawaban korporasi, dan tidak menetapkan ini sebagai bencana alam, sebab penetapan itu akan berkonsekuensi pada gugurnya tanggungjawab korporasi,” kata Melva dikutip dari laman Walhi Nasional.

Walhi Nasional mengingatkan, bencana ekologis juga akan terus meluas dan semakin sering terjadi di Indonesia akibat kebijakan iklim yang tidak ambisius dan berbasis HAM. Kebijakan iklim Indonesia justru dinilai mendorong pelepasan emisi dalam skala besar.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//