• Bergerak
  • Para Perempuan Merawat Kawasan Bandung Utara, Bermula dari Pertanyaan Anak pada Ibunya

Para Perempuan Merawat Kawasan Bandung Utara, Bermula dari Pertanyaan Anak pada Ibunya

Krisis ekologi Kawasan Bandung Utara tidak lepas dari praktik eksploitasi alam yang dilakukan dari generasi ke generasi. Menyisakan kerusakan bagi orang muda.

Ukke R. Kosasih, pengelola Kabinkebun di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 3 Desember 2025


BandungBergerakDi sebuah malam minggu yang tenang di Jakarta, seorang anak yang sudah terbiasa melahap majalah-majalah National Geographic sejak kecil mengeluarkan satu kalimat yang membuat ibu dan ayahnya tertegun. Ia menyebutkan bahwa generasi orang tuanya adalah para pelaku eksploitasi dan destruksi terhadap lingkungan.

Kalimat itu mungkin bagi sebagian orang tua mungkin akan menganggap omelan tak berarti yang keluar dari mulut seorang remaja. Tetapi bagi Ukke R. Kosasih, 60 tahun, sang ibu, kritik dari anaknya terdengar seperti sebuah peringatan.

Di sebuah kamar kabin berukuran 6 x 8, yang Ukke namai Kabin 68, ia mengingat kembali ucapan anaknya sewaktu mereka sama-sama tinggal di Jakarta. Pertanyaan sang anak menjadi bahan perenungan panjang yang membawa Ukke dan sekeluarga kembali ke dalam gaya hidup yang mereka jalani sekarang.

Ukke dan suaminya mulai berpikir, apa yang bisa mereka lakukan untuk menjawab ucapan anaknya? Karena Ukke pun merasakan kekhawatiran yang sama, generasi-generasi selanjutnya akan menanggung dampak dari perilaku generasi sebelumnya.

Kabinkebun, konsep hunian ramah lingkungan di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Kabinkebun, konsep hunian ramah lingkungan di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Sekitar empat tahun keluarga ini menelusuri kembali cara mereka hidup sebagai konsumen, warga, dan juga sebagai manusia. Ia dan suami berpikir bahwa mungkin, salah satu langkah kecil untuk menjawabnya adalah dengan memulai gaya hidup yang regeneratif.

Sebelum memantapkan pilihan itu, Ukke sekeluarga melakukan perjalanan yang panjang untuk menyiapkan hati dan mental bahwa mereka benar-benar siap merombak gaya hidup yang awalnya serba cepat dan instan (fast living) menjadi lebih alami, sadar, dan berkualitas (slow living).

Pencarian ini membawa mereka sekeluarga ke banyak tempat dan situasi, dari perjalanan tanpa rencana jelas hingga mengikuti konferensi seperti ICVR (International Conference in Village Revitalization) tentang revitalisasi desa.

Mereka mencoba mengamati praktik-praktik kehidupan regeneratif yang benar-benar telah diterapkan oleh beberapa orang. Salah satu perjalan terjauh adalah ke Jepang. Dengan sisa-sisa tabungan, Ukke dan keluarga bertemu dengan orang-orang yang telah berpindah gaya hidup. Ia bertemu seorang mantan pejabat di sebuah perusahaan teknologi di Jepang yang merasa damai dan bahagia dengan gaya hidup slow living.

Menurut Ukke, kehidupan serba lambat yang ia jalani saat ini bukan sekedar suasana menikmati hari tua, melainkan sebuah cara untuk menolak budaya instan dan sekali pakai yang selama ini membuat ia jauh dari rasa cukup. Menjalani gaya hidup slow living memberikan Ukke kesempatan untuk memikirkan kembali konsekuensi dari setiap keputusan yang hendak diambil.

“Ternyata yang paling sulit mengetahui kebutuhan utama itu apa gitu. Karena ternyata selama ini kita tahunya keinginan yang kemudian diperkenalkan sebagai kebutuhan,” ucap Ukke, ditemui di kediamannya yang juga dikenal dengan sebutan Kabinkebun pada 27 November 2025.

Kabinkebun, konsep hunian ramah lingkungan di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Kabinkebun, konsep hunian ramah lingkungan di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Hampir satu dekade lalu, Ukke dan keluarganya meninggalkan hiruk pikuk Jakarta dan menetap di Kabinkebun, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kabinkebun berdiri di lereng Kawasan Bandung Utara yang tenang dalam suasana seperti vila pegunungan.

Di dalam kawasan dataran tinggi 1.160 mdpl ini terdapat Kabin 68, rumah Ukke. Awalnya merupakan area rumah pribadi, Kabinkebun kini terdiri atas beberapa bangunan terpisah yang berfungsi layaknya vila. Seluruh bangunan berada dalam satu pagar dan satu kawasan.

Di Kabinkebin Ukke manghabiskan sebagian besar paginya dengan merawat tanaman yang tumbuh di hampir seluruh sudut halaman rumahnya, setiap ada lahan kosong, tanpa pikir panjang ia langsung mengisi dengan tanaman baru.

Mengenakan topi kebunnya yang menaungi wajahnya santai, Ukke menceritakan bahwa pada 2016 ketika awal ia dan keluarga pindah, tanah seluas 1.500 meter per segi ini nyaris tidak memiliki cerita apa pun. Hanya ada satu pohon yang berdiri sendirian. Kini Ukke telah merawat lebih dari seribu jenis tanaman di pekarangan rumahnya.

Bagi Ukke, memahami habitat adalah hal pertama yang harus ia pelajari. Ia mengatakan bahwa memahami situasi dan kondisi tempat ia tinggal adalah hal yang sangat penting, mulai dari arah angin, arah dari mana matahari akan menetap di jam-jam tertentu, hingga kondisi tanah, semua ia pelajari.

Menjalani gaya hidup regeneratif ini tidak berhenti pada merawat tanaman yang di kebunnya. Harus Ukke akui bahwa tantangan besar justru berada pada pengolahan sampah dan pola konsumsi. Sampah yang diproduksi, baik dari mereka atau tamu yang berkunjung, harus mereka kelola sendiri.

Setelah tamu pulang misalnya, ia langsung memilah sampah-sampahnya, mencuci sampah plastik satu per satu, memisahkan yang masih layak didaur ulang dan yang dapat ia manfaatkan sebagai kompos. Hal ini telah ia dan keluarga lakukan selama sepuluh tahun.

Ukke dan keluarga akan berpikir dua kali jika ingin membeli makanan dari luar karena mereka harus mengurus sampah-sampah bungkusan dan sisa makanan setelahnya. Sejauh ini, total sampah yang keluar dari rumah menuju TPS tidak pernah melebihi 20 kilogram dalam sebulan dan ia berharap jumlah tersebut semakin berkurang seiring berjalannya waktu.

Kondisi geologi juga turut menuntut Ukke dan keluarga membangun rumah yang lebih kokoh dari standar biasa. Menetap di sekitar patahan aktif Sesar Lembang memaksa mereka untuk memperhatikan struktur rumah secara serius.

Uniknya, tiga kabin kecil dan satu rumah utama di Kabinkebun dibangun dengan sekitar 80 persen material bekas atau reclaim—mulai dari bata, genteng, pintu, hingga berbagai furnitur. Penggunaan material tersebut membuat Ukke dan keluarganya harus merawat setiap bagian rumah secara berkala agar tetap bertahan dalam jangka panjang.

“Karena sustainability (keberlanjutan) tidak mungkin ada tanpa kerja pemeliharaan,” ungkapnya, sambil mengusap-ngusap dinding rumahnya.

Ukke memang menerima tamu untuk menyewa sebagian kabin-kabinnya. Walaupun hanya menerima penyewaan di hari Sabtu dan Minggu, Ukke tetap menegaskan bahwa ini merupakan rumah mereka dan bukanlah sebuah tempat wisata.

Namun, tidak dipungkiri bahwa ia telah menerima kurang lebih dua ribu orang yang datang ke rumah mereka, baik itu hanya untuk menginap, atau belajar mengenai gaya hidup yang Ukke dan keluarga jalani, hingga belajar tentang tanaman-tanaman yang ada di sekitar pekarangan rumah mereka.

Ada kepuasan batin yang sulit dijelaskan Ukke dalam menjalani gaya hidupnya. Ia mungkin merasa lelah dengan beragam aktivitas yang ia lakukan setiap hari, tetapi ia merasa jauh lebih tenang. Ukke bahkan kini selalu ingin tidur lebih cepat karena tidak sabar menunggu pagi dan melakukan aktivitasnya merawat tanaman yang ada.

Sebagai seorang ibu, Ukke juga kerap kali mengingatkan kepada anaknya bahwa manusia hanya bagian kecil dari satu ekosistem dan manusia tidak bisa mengontrol ekosistem itu. Ukke selalu berpesan untuk hidup dengan adil dan bijak terhadap diri sendiri.

“Justru ini sebenarnya adalah surat cinta saya dan suami saya buat dia (anak), ngelihatin ini loh yang lo takutkan si eksploitatif dan destruktif itu kita balas kebalikannya menjadi regeneratif,” ungkap Ukke.

Baca Juga: Perempuan Penghayat Penjaga Mata Air di Lembah Ciputri
Menghalau Bencana, Menggugat Wisata Eksploitatif di Bandung Utara

Kabinkebun, konsep hunian ramah lingkungan di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Kabinkebun, konsep hunian ramah lingkungan di Kabupaten Bandung Barat, 27 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Sekolah Samin dan Sekolah Tani, Pendidikan Literasi dan Lingkungan

Upaya menjaga lingkungan Kawasan Bandung Utara juga dilakukan oleh komunitas. Di Kecamatan Cimenyan, agak ke selatan dari kabinnya Ukke, sekelompok relawan bergerak dengan cara mereka sendiri. Fahriah Aliya Sadrina, salah satu relawan di Yayasan Odesa, aktif menjadi koordinator program mengajar di Sekolah Samin (Sabtu – Minggu).

Samin merupakan program kerja Yayasan Odesa. Bentuk program ini adalah sekolah nonformal yang memberi kesempatan belajar bagi anak-anak petani yang kurang mendapatkan dukungan pendidikan. Melalui Samin, Odesa ingin memastikan bahwa anak-anak di kampung sekitar Kecamatan Cimenyan memiliki ruang belajar yang aman dan ramah.

Fahriah menjelaskan bahwa materi yang diajarkan mencakup literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Selain itu, para relawan juga memberikan pemahaman dasar tentang lingkungan, seperti memilah sampah dan membuangnya pada tempatnya.

Pertanian di wilayah Cimenyan dengan pendampingan dari Yayasan Odesa, November 2025. (Foto: Insan Radhian/BandungBergerak)
Pertanian di wilayah Cimenyan dengan pendampingan dari Yayasan Odesa, November 2025. (Foto: Insan Radhian/BandungBergerak)

Bagi Fahriah, pendidikan lingkungan memang harus dimulai sejak dini. Menurut Fahriah, menyampaikan pesan lingkungan kepada orang dewasa sering kurang efektif karena pola pikir mereka sudah terbentuk. Sebaliknya, ketika anak-anak dibiasakan menjaga lingkungan dan memahami dampak tindakannya sejak dini, kesadaran itu tumbuh dengan sendirinya. Anak-anak di Sekolah Samin kini sudah terbiasa tidak membuang sampah sembarangan dan saling mengingatkan satu sama lain.

Selain mengajar, tugas Fahriah sebagai koordinator Sekolah Samin juga mencakup manajemen oprasional. Setiap Jumat, ia harus memastikan kehadiran relawan dan mengumpulkan jumlah relawan yang dapat berpartisipasi dalam Sekolah Samin, kemudian ia membaginya ke dua belas kampung di Kecamatan Cimenyan sesuai kebutuhan jumlah pengajar di tiap lokasi.

Fahriah juga berdiskusi dengan relawan dari berbagai latar belakang untuk mengembangkan materi ajar, termasuk menentukan bagaimana menyampaikan materi agar mudah dipahami anak-anak. Para relawan juga setiap pertemuan di rotasi ke berbagai kampung agar mereka dapat memahami karakteristik anak di setiap kampung.

Fahriah sedih melihat kondisi Kawasan Bandung Utara yang kian memprihatinkan. Situasinya bertolak belakang dengan upaya Odesa selama ini, sementara pihak-pihak tertentu justru merusak lingkungan demi kepentingan bisnis. Meski demikian, ia tetap optimistis dan percaya bahwa sekecil apa pun usaha yang dilakukan akan memberi dampak besar di masa depan.

Pertanian di wilayah Cimenyan dengan pendampingan dari Yayasan Odesa, November 2025. (Foto: Insan Radhian/BandungBergerak)
Pertanian di wilayah Cimenyan dengan pendampingan dari Yayasan Odesa, November 2025. (Foto: Insan Radhian/BandungBergerak)

“Apa yang kita berikan ke alam, ya alam juga akan memberikan ke kita,” ucapnya

Fahriah berharap, warga sekitar dapat semakin sadar bahwa menjaga lingkungan adalah hal yang penting. Tindakan kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan tetaplah sebuah upaya yang berarti, terlebih jika ditambah dengan kebiasaan menanam dan merawat tanaman.

Selain Sekolah Samin, Yayasan Odesa juga memiliki program Sekolah Tani yang memusatkan perhatian mereka kepada penjurnalistikan ekologi. Berbekal kamera, Hasna Dini selaku koordinator Sekolah Tani bersama tim relawan lainnya merekam kegiatan-kegiatan tani yang dilakukan petani setempat serta memberikan edukasi mengenai vegetasi yang mereka tanam ke khalayak luas.

Selain mengedukasi publik melalui konten yang diunggah, Sekolah Tani juga berinteraksi langsung dengan para petani. Tujuannya antara lain untuk menggali ilmu pengetahuan langsung dari mereka.

Hasna mengatakan kegiatan ini penting baginya karena ia bisa banyak belajar dari para petani sekitar—mulai dari mengenali berbagai jenis tanaman, memahami fungsi ekologisnya, cara mengatasi hama, hingga bagaimana tanah dapat pulih ketika dirawat dengan benar.

“Jadi intinya menurut aku, relawan Sekolah Tani itu saling membutuhkanlah sama petani,” ucap Hasna.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//