• Liputan Khusus
  • LARI DULU, UPLOAD NANTI: Pelari Kalcer Disambut Fotografer, “Selamat pagi...Klik, Klik, Klik”

LARI DULU, UPLOAD NANTI: Pelari Kalcer Disambut Fotografer, “Selamat pagi...Klik, Klik, Klik”

Penolakan untuk difoto tidak seharusnya berubah menjadi penolakan terhadap kehadiran fotografer. Pelari dan fotografer bersimbiosis mutualisme.

Sejumlah pelari berdandan dengan tema horor di Halloween Fun Run 5 K di Bandung, 29 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 24 Desember 2025


BandungBergerak“Selamat pagi!” ucap seorang fotografer menyapa para pelari yang melintas yang kemudian disambut hangat oleh para pelari dan bahkan beberapa dari mereka melemparkan senyum ke arah kamera yang dipegang sang fotografer.

Sepanjang Jalan Dago hingga kantor Polrestabes Bandung, terhitung sebanyak 52 fotografer bertengger, ada yang di tepi jalur pedestrian dan ada juga yang di atas jembatan penyebrangan jalan dengan kamera yang siap membidik para pelari yang melintas.

Klik rana terdengar saling bersahutan bersamaan dengan sapaan hangat fotografer demi mendapatkan hasil yang maksimal. Di antara fotografer itu, ada Morgen, 54 tahun, yang memegangi kamera DSLR dilengkapi lensa 24 – 105 mm, ia mulai menyelami bidang ini sejak pertengahan tahun 2024.

Ketertarikan Morgen pada bidang ini berangkat dari rasa penasarannya setiap melewati Jalan Dago khususnya di Minggu pagi, ia kerap memperhatikan banyak sekali orang-orang di jalur pedestrian berjejer dengan kamera di tangan. Rasa penasarannya itu membawa dirinya bertemu dan berbincang dengan beberapa fotografer di sana dan kemudian memutuskan untuk bergabung mencari peruntungan di bidang ini.

Morgen yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di media merasa sangat senang dengan pekerjaan sampingannya ini karena ia dapat mengasah kemampuannya dalam menggunakan kamera dan mencari sudut pangambilan foto (angle) yang bagus untuk memotret.

“Walau saya di media sudah lama banget sudah harusnya pensiun, terutama buat foto berita, tapi di sini ada hal-hal baru yang bikin saya oh ternyata bisa diterapin buat angle di foto berita juga gitu,” ucap Morgen.

Setiap hari minggu, di Jalan Dago dari pukul enam hingga sembilan pagi Morgen siap memotret para pelari yang lewat. Dalam waktu kurang lebih tiga jam itu ia bisa  menghasilkan kurang lebih 5000 frame. Foto-foto tersebut kemudian dia unggah di sebuah platform khusus yang biasa digunakan para fotografer lari untuk menjual hasil-hasil fotonya.

Setelah bergabung menjadi fotografer lari, Morgen memahami bahwa profesi ini hadir bukan dari keinginan sepihak fotografer, melainkan juga dari kebutuhan komunitas lari itu sendiri. Morgen mengatakan bahwa tentu para pelari membutuhkan dokumentasi, baik itu untuk personal branding atau sekadar arsip pribadi. Tanpa itu, menurut Morgen fotografer lari ini tidak akan hadir di sela-sela ekosistem lari yang kini semakin ramai.

Selama ini ia sudah melihat beragam peralatan yang digunakan masing-masing fotografer, bahkan pada acara lari dalam skala besar, beberapa fotografer membawa alat pencahayaan yang lengkap karena acara lari selalu mulai saat matahari bahkan belum menampakkan dirinya. Namun di balik semua itu bagi Morgen, profesionalisme tidak hanya pada kesiapan dan kelengkapan alat, melainkan pada etika bekerja.

Perdebadan akan eksistensi fotografer lari mulai muncul ketika aktivitas ini disalahpahami. Morgen mengingat momen di mana protes satu per satu mulai muncul di media sosial mengenai profesi ini. Menurutnya, persoalan utamanya adalah ketidaktepatan pada konteks.

Morgen menegaskan bahwa fotografer lari bukan memotret orang secara acak, mereka juga bekerja di ruang publik karena ada kebutuhan yang sudah terbentuk antara pelari dan fotografer. Para fotografer tidak memberikan paksaan dan tidak mengambil gambar untuk kepentingan lain di luar konteks fotografi olahraga. Tetapi, kecurigaan terus berkembang, terutama menyangkut isu privasi dan keamanan data.

Untuk menjaga batas dan kepercayaan publik di kota Bandung, komunitas fotografer lari menerapkan SOP yang cukup ketat. Morgen mengatakan bahwa selama di lapangan, fotografer diwajibkan membaca gestur para pelari yang lewat. Jika mereka menutup wajah, menyilangkan tangan, atau memberikan tanda dan gestur lainnya yang memperlihatkan ia tidak ingin difoto, fotografer tidak akan mengambil gambar.

Bahkan ketika foto hendak diunggah ke platform, para fotografer harus melakukan pengecekan ulang. Setelah diunggah, foto akan disimpan dalam jangka waktu satu hingga tiga minggu, lebih dari itu foto-foto di platform tersebut akan dihapus secara permanen.

“Jadi kalau sampai ada ketakutan disalahgunakan buat pornografi, asa jauh teuing kitu mikirna kejauhan, cik atuh tong loba suudzon hirup, teh. Karena selama ini juga kan belum ada kasus seperti itu,” ucap Morgen yang juga menegaskan bahwa profesi ini sama halnya dengan fotografer di bidang olahraga lainnya.

Di balik perdebatan etika dan privasi, fotografer lari juga menyentuh soal ekonomi. Morgen melihat aktvitas ini sebagai bagian dari ekosistem ekonomi kreatif yang tumbuh alami. Di Bandung, harga foto disepakati bersama antarsesama fotografer untuk menjaga persaingan yang tetap sehat. Foto regular dijual sekitar 35.000 rupiah setiap satu framenya, lalu untuk video slow motion dihargai 50.000 rupiah hingga 60.000 rupiah, dan pada foto acara lari dalam skala yang besar dijual sekitar 40.000 rupiah.

Dalam hari biasa, Morgen dapat menjual sekitar tujuh hingga sepuluh foto. Morgen berharap fotograder lari tidak dilihat sebagai gangguan, melainkan sebagai bagian dari ekosistem olahraga dan ekonomi kreatif kota.

Baca Juga: Tanda Bahaya Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia
Belajar Mencintai Diri Apa Adanya dengan Memahami Hubungan Intrapersonal

Sejumlah pelari berdandan dengan tema horor di Halloween Fun Run 5 K di Bandung, 29 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Sejumlah pelari berdandan dengan tema horor di Halloween Fun Run 5 K di Bandung, 29 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Simbiosis Mutualisme antara Fotografer dan Pelari

Di sisi lain, Naszha Utami, 27 tahun, seseorang yang rutin melakukan aktivitas olahraga lari membagikan pengalamannya terhadap hubungan simbiosis mutualisme antara fotografer dan pelari. Awalnya ia tidak memiliki pikiran untuk membeli foto-foto larinya, tetapi suatu hari ia penasaran dan mencoba mencari fotonya di platform tersebut dan ternyata terdapat beberapa foto yang menurutnya bagus, akhirnya ia memutuskan untuk membeli fotonya.

Caranya pun tidak begitu sulit untuk menemukan foto-fotonya, karena platform tersebut sudah dilengkapi dengan mesin pencarian dengan menggunakan wajah, sehingga tidak perlu waktu lama untuk menemukan foto yang dicari. Hal ini menjadi pengalaman yang baru baginya dan ia merasa senang, dalam artian ia memiliki kebebasan untuk memilih foto mana yang hendak dibeli dan bahkan tidak memiliki keharusan untuk membelinya.

Nazha merasa ia tidak pernah terganggu akan kehadiran para fotografer yang berjejer sepanjang jalan itu, bahkan seiring berjalannya waktu ia mengenal dan memiliki hubungan baik dengan beberapa fotografer, saling menyapa tiap berjumpa dan bahkan sesekali menerima foto secara gratis.

Perihal isu privasi yang ramai diperbincangkan, Nazha merasa bahwa hidup di era digital menuntut tiap individu untuk memiliki kesadaran lebih. Mengunggah foto pribadi ke media sosial, menggunakan aplikasi, bahkan aktif di dunia digital, semuanya membawa risiko dan dampak.

Karena itu, menurutnya, kekhawatiran terhadap fotografi lari tidak bisa berdiri sendiri, yang penting menurut Nazha adalah bukan melarang hadirnya mereka, tetapi memahami bagaimana sistemnya bekerja dan apa saja pilihan yang masing-masing individu miliki.

Nazha juga memahami bahwa tidak semua pelari nyaman untuk difoto. Penolakan itu bagian dari hak mereka. Setiap individu berhak merasa aman di ruang personalnya.

Akan tetapi, Nazha menegaskan bahwa penolakan untuk difoto tidak seharusnya berubah menjadi penolakan terhadap kehadiran fotografer itu sendiri. Bagi Nazha, dengan memberi gestur menolak difoto sudah sangat cukup.

“Jangan sampai mereka mematikan bisnis yang sedang dijalankan (oleh fotografer) gitu,” ucap Nazha.

Bagi Nazha, hal ini merupakan soal bagaimana ruang publik dapat digunakan bersama, selama terjadinya komunikasi dan saling menghormati, ia merasa semua dapat berjalan berdampingan.

 

...

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//