Ekofeminisme, Semangat Perempuan untuk Menyelamatkan Lingkungan
Film Dokumenter "Our Mother's Land" menggambarkan alasan perempuan yang berada di lini terdepan melawan aksi perusakan alam.
Penulis Awla Rajul17 Mei 2023
BandungBergerak.id – Ada satu masa kaum perempuan memiliki peran penting dalam strata sosial. Namun penindasan dan eksploitasi memperkecil peran penting perempuan dari masa ke masa. Gerakan ekofeminisme (ecofeminism) memperjuangkan hak-hak perempuan atas kehidupannya lewat aksi penyelamatan lingkungan.
"Hadirnya ekofeminiesme di sini jadi suatu angin segar buat perempuan. Dia hadir ketika perempuan sudah sejak lama tidak dapat akses terhadap hak politiknya, tapi ecofeminism ini jadi semangat baru, harapannya bisa mendorong perempuan-perempuan yang di daerah maupun di perkotaan turut serta jadi garda terdepan di gerakan penyelamatan lingkungan untuk menuntut hak atas kehidupan," demikian diungkapkan oleh Rahma Husna dari Sahabat Walhi Jawa Barat pada acara Nobar dan Diskusi Film Dokumenter "Our Mother's Land" di LBH Bandung, Sabtu (13/5/2023).
Rahma menyebutkan bahwa ekofeminisme merupakan salah satu cabang dari pemikiran feminisme, dengan mengelaborasi antara feminisme dan paham lingkungan yang berangkat dari pengalaman subjektif perempuan. Keduanya bersandar pada titik berangkat yang sama yakni sama-sama mengalami eksploitasi dan penindasan. Pemikiran tersebut memunculkan semangat bagi perempuan untuk menjaga haknya dan upaya penyelamatan lingkungan.
Dalam Film Dokumenter "Our Mother's Land", Rahma melihat ada pola di mana perempuan harus menanggung beban ganda karena dampak kerusakan alam, yaitu beban emosional, serta finansial dalam keluarga. Pola ini juga ditemukan pada kasus-kasus yang terjadi belakangan, misalnya kasus Wadas atau pada konteks Bandung di lokasi-lokasi penggusuran. Namun, ada pola lainnya di mana perempuan melakukan upaya untuk mempertahankan eksploitasi lingkungan yang terjadi.
Our Mother's Land merupakan film dokumenter karya The Gecko Project dan Mongabay. Dokumenter ini menceritakan tentang perjalanan seorang jurnalis perempuan, Febriana Firdaus menyambangi perempuan-perempuan yang berjuang melawan eksploitasi lingkungan. Febriana menggali cerita dan perjuangan para Kartini di Kendeng yang melawan proyek pabrik semen dan cerita perjuangan perempuan di wilayah Indonesia Timur yang melawan proyek tambang. Beberapa tokohnya seperti Eva Bande dan Aleta Baun. Dokumenter ini diakhiri dengan perjalanan Febriana menggali cerita dari tokoh pegiat lingkungan Aceh, di kawasan Konservasi Leuser, yaitu Farwiza Farhan.
Rahma menyebut bahwa gerakan perempuan yang melawan atas eksploitasi lingkungan tidak mungkin muncul begitu saja. Misal Aleta Baun yang melawan pertambangan. Semangatnya haruslah dipantik terlebih dahulu. Ataupun Eva Bande yang muncul semacam agitasi di kalangan perempuan. Sehingga Rahma menyebutkan, hal yang mendasar yang bisa dilakukan oleh perempuan adalah dengan membiasakan membaca. Lalu, dari teori berangkat ke praktek.
"Gerakan itu tidak bisa dilakukan oleh satu orang, harus berkelompok dan bergabung. Jadi yang praktis adalah bergabung dengan organisasi yang bergerak untuk wilayah tersebut supaya gerakannya masif dan kolektif. Kalaupun belum terjangkau dengan adanya gerakan perempuan, kita yang sudah sadar duluan itu turun ke sana dan mengorganisir," ungkap Rahma.
Baca Juga: CATAHU Komnas Perempuan 2023: Kekerasan pada Perempuan di Ranah Publik dan Negara Meningkat
IWD 2023: Perempuan Jawa Barat Tolak Diskriminasi dan Dorong Gerakan Perempuan yang Inklusif
IWD 2023: Perlindungan, Inklusivitas, dan Aksesibilitas Masih Menjadi Persoalan Perempuan
Perempuan Bandung yang Melawan Penggusuran
Kegiatan nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter Our Mother's Land diselenggarakan oleh Sahabat Walhi Jawa Barat. Sahabat Walhi Jabar merupakan relawan gerakan lingkungan dari Walhi. Selain Rahma yang menjadi pemantik diskusi, hadir pula Eva Eryani dari Forum Tamansari Melawan dan M. Rafi Saiful Islam dari LBH Bandung. Eva Eryani misalnya menjelaskan konteks pergerakan perempuan dari kacamata masyarakat kota korban penggusuran, dan Rafi menyoal kasus-kasus lingkungan dari kacamata hukum.
Eva merupakan satu-satunya warga Tamansari yang masih menolak digusur dari proyek pemerintah Kota Bandung yang akan membangun rumah deret. Ia menyebutkan bahwa Forum Tamansari terus bertahan karena konflik di Tamansari masih belum selesai. Ia juga menyebutkan bahwa kesamaan kisah di film dokumenter dengan yang dialaminya adalah bagaimana kekuasaan begitu menginginkan suatu hal hingga untuk memperolehnya dilakukan dengan cara apapun.
Program rumah deret Tamansari kabarnya direncanakan akan membangun empat bangunan. Eva menyebut, ada harapan warga satu bangunan yang dibangun untuk relokasi warga yang digusur, setidaknya bagi yang setuju. Eva menyinggung, di sinilah letak perbedaan perkotaan dan di daerah. Ketika ada persoalan di daerah, warganya akan semakin bersatu, seperti dalam film dokumenter. Sedangkan di perkotaan masyarakatnya akan terpecah belah. Selain karena ada upaya khusus untuk memecah belah warga, warga memiliki tuntutan pemenuhan hak hidup harian tersebut.
"Sistem di perkotaan memang memecah belah dan selalunya begitu ya, berhasil. Di setiap perkotaan dengan masalah yang sama itu mereka berhasil membuat warga dengan warga berselisih sehingga perlawanan warga jadi sedikit," ungkap Eva.
Eva mempertanyakan masyarakat masih diperhitungkan atau tidak sebagai warga negara. Seharusnya negara menjamin hak, setiap warga. Yang dirasakannya sebaliknya. Makanya Eva menyebut, bahwa sebenarnya pemerintahlah yang menjadi pembangkang sebab tidak melakukan amanat dari Undang-undang.
"Liatlah dari setiap proyek-proyek yang dilakukan oleh pemerintah tidak ada yang namanya menaikkan taraf hidup rakyatnya. Untuk itulah Tamansari sampai hari ini masih bertahan, untuk itulah Tamansari selalu memperjuangkan, melalui pengadilan maupun instansi-instansi yang lain ada di negeri ini. Saya bangkrut tapi saya akan bangkit kembali. Dan saya yakin perjuangan Tamansari dan perjuangan ibu-ibu di mana pun hanya ingin melihat generasi selanjutnya adalah generasi yang lebih baik," ungkap Eva.
Pada konteks hukum, Rafi membeberkan bahwa ruang hidup akan terancam disebabkan ada potensi pasar yang bisa meraup keuntungan. Sayangnya, kondisi hari ini perampasan lingkungan yang terjadi didukung dan dilakukan oleh aktor-aktor negara, bahkan didukung dengan regulasi. Belum lagi, saat ini merupakan era Cipta Kerja, sebuah regulasi yang memberikan akses besar untuk investasi.
Rafi menguatkan bahwasanya perempuan memang memegang posisi sentral dalam perlawanan-perlawanan menghadapi kesewenangan dan perusakan lingkungan.