• Nusantara
  • CATAHU Komnas Perempuan 2023: Kekerasan pada Perempuan di Ranah Publik dan Negara Meningkat

CATAHU Komnas Perempuan 2023: Kekerasan pada Perempuan di Ranah Publik dan Negara Meningkat

Data kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2022 mendapati peningkatan kasus kekerasan seksual tidak hanya di ranah personal, tapi juga di ranah publik dan negara.

Sebanyak 12 tuntutan atas hak perempuan disampaikan aliansi simpul puan di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu (8/3/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul10 Maret 2023


BandungBergerak.id – Sejak 2003, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) rutin setiap tahunnya menerbitkan Catatan Tahunan (CATAHU) yang menjadi rujukan kompilasi tentang kekerasan terhadap perempuan. Di tahun 2023 ini, Komnas Perempuan menerbitkan CATAHU yang ke-21 yang mendapati berdasarkan hasil analisis data kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2022 menunjukkan peningkatan kekerasan seksual tidak hanya di ranah personal, tapi juga di ranah publik dan negara.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyebutkan bahwa kata “ranah” adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara korban dengan pelaku. Misalnya, pada kasus kekerasan yang melibatkan pekerja rumah tangga sebagai korban dan majikan laki-lakinya adalah pelaku maka kasus tersebut tergolong pada kekerasan di ranah publik, karena relasi korban dan pelaku dihubungkan oleh pekerjaan meskipun tinggal di satu rumah yang sama.

Andy Yentriyani sengaja menggaris bawahi hal tersebut dalam konteks advokasi pada Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT). Pada kasus contoh kekerasan yang dialami oleh PRT tidak cukup hanya mengandalkan UU PKDRT, tapi juga memerlukan perlindungan khusus bagi PRT yang mengatur hubungan kerja.

Secara garis besar Andy Yentriyani menyebutkan bahwa selain di ranah personal, kekerasan seksual di ranah publik juga meningkat. Penanganannya pun terhambat, meski sudah ada payung hukum khusus yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Komnas perempuan juga mencatat lonjakan pengaduan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya terhadap kekerasan di ranah negara.

“Sudah ada UU TPKS, tapi perlu percepatan mendorong aturan turunan UU TPKS, serta penguatan institusi di kepolisian dengan mendirikan direktorat terpisah untuk menangani kasus perempuan dan anak serta penguatan pengadaan layanan pemerintah dan masyarakat,” ujar Andy Yentriyani dalam peluncuran CATAHU Komnas Perempuan 2023 yang dilaksanakan secara hybrid dan ditayangkan melalui Youtube, Selasa (7/3/2023).

Andy Yentriyani mengatakan,  CATAHU menjadi basis rujukan dalam penyusunan UU TPKS yang disahkan pada Mei 2022 lalu. Perjalanan panjang penyusunan regulasi yang dimulai sejak 2010 itu menjadikan CATAHU sebagai rujukan bahwa kekerasan seksual adalah kasus yang bisa terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, maupun lansia. Ia juga menekankan bahwa kekerasan seksual merupakan persoalan semua orang.

“Mengingat kebutuhan data nasional tentang kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai basis perumusan kebijakan, Komnas Perempuan berharap ada percepatan proses integrasi data yang ditopang dengan dukungan penguatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di semua lembaga terkait, termasuk di Komnas Perempuan,” ujar Andy Yentriyani.

Baca Juga: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Memutuskan Menunda Pemilu 2024, Demokrasi dalam Bahaya
Enam Isu Krusial dalam RUU Kesehatan Menurut CISDI
Riset AJI dan PR2Media: 82,6 Persen Jurnalis Perempuan Indonesia Mengalami Kekerasan Seksual
Peringatan Setahun Wadas Melawan: Putusan PTUN Jakarta Menyatakan Penambangan di Desa Wadas Ilegal

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2022

Data CATAHU Komnas Perempuan diperoleh dari pengaduan langsung yang diterima Komnas Perempuan, serta berasal dari lembaga-lembaga yang memberikan laporannya secara sukarela. Untuk CATAHU 2023 merupakan catatan kasus sepanjang tahun 2022 yang diterima dari 137 lembaga dari 27 provinsi di Indonesia.

Pada data sepanjang tahun 2022 terjadi peningkatan angka pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang diterima langsung Komnas Perempuan. Tahun 2021 Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung sebanyak 4.322 kasus, tahun 2022 naik menjadi 4.471 kasus. Data pengaduan yang diterima tersebut dibagi dalam tiga ranah, yaitu ranah personal terdapat 2.098 kasus, ranah publik 1.276 kasus, dan ranah negara sebanyak 68 kasus.

Namun dengan menggabungkan data yang terhimpun dari lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (Badilag) sepanjang 2022 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2022 terdapat 457.895 kasus,  pada tahun 2021 sebanyak 459.094.

Jika merujuk pada data total data yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan yang berjumlah 4.471, maka Komnas Perempuan rata-rata menerima pengaduan sebanyak 17 kasus per hari.

“Peningkatan data pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan ke Komnas Perempuan dapat juga dilihat sebagai bentuk peningkatan kesadaran dan keberanian perempuan korban kekerasan untuk mengadukan kasus kekerasan yang mereka alami”, jelas Bahrul Fuad Komisioner Pemantauan Komnas Perempuan dalam paparannya tentang gambaran umum CATAHU 2023, sebagaimana dikutip dari siaran pers Komnas Perempuan.

Adapun sebanyak 339.782 dari total pengaduan merupakan kekerasan berbasis gender (KBG), rincinya 3.442 kasus di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan, sisanya dihimpun dari lembaga layanan. Pada pelaporan KBG ini, kekerasan di ranah personal masih mendominasi yang berjumlah 336.804 kasus. Kekerasan di ranah publik tercatat 2978,  di antaranya 1.276 kasus merupakan laporan yang diterima langsung oleh Komnas Perempuan.

Kekerasan di ranah negara hanya ditemukan dari Komnas Perempuan dengan peningkatan hampir dua kali lipat. Di tahun 2021 terdapat 38 kasus, tahun 2022 meningkat menjadi 68 kasus.

Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan yang dominan berjumlah 2.228 kasus (38.21%), diikuti kekerasan psikis sebanyak 2.083 kasus (35.72%). Adapun data dari lembaga layanan menunjukkan perbedaan, angka kekerasan fisik lebih mendominasi berjumlah 6.001 kasus (38.8%), diikuti kekerasan seksual sebanyak 4.102 kasus (26.52%).

Kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, jika dilihat pada pengaduan ke Komnas Perempuan, kekerasan seksual selalu yang tetinggi, yaitu 1.127 kasus. Sementara di ranah personal yang terbanyak adalah kekerasan psikis berjumlah 1.494 kasus. Hal ini berbeda dari aduan lembaga layanan, bahwa baik di ranah publik dan personal yang paling banyak adalah kekerasan berbentuk fisik.

Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti menyampaikan pentingnya pemerintah dan masyarakat untuk menambah dan menyediakan akses yang mudah bagi perempuan korban kekerasan dalam hal pemulihan mental. Sebab, tingginya kekerasan dalam bentuk psikis baik di ranah personal maupun publik. Hal ini juga menunjukkan kebutuhan pendampingan psikis pada semua kasus kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual.

“Kami juga mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan UU PPRT. Terjadinya peningkatan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Perempuan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menunjukkan bahwa PPRT perlu mendapatkan perlindungan yang komprehensif “, tegas Dewi Kanti dalam kesimpulannya.

Pelaku Kekerasan dan Kasus Lainnya dalam CATAHU 2023

Merujuk pada tiga ranah yang dibagi dalam data pengaduan Komnas Perempuan, bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di ranah personal adalah kekerasan psikis. Sementara kekerasan pada ranah publik yang terbanyak adalah kekerasan seksual.

Kekerasan di ranah personal yang paling banyak diadukan adalah kekerasan yang dilakukan oleh mantan pacar sebanyak 713 kasus; diikuti kekerasan terhadap istri 622 kasus; kekerasan dalam pacaran 422 kasus; kekerasan terhadap anak perempuan 140 kasus; KDRT/RP lain seperti kekerasan terhadap menantu, sepupu, kakak/adik ipar atau kerabat lain 111 kasus; dan kekerasan oleh mantan suami 90 kasus.

Adapun kekerasan di ranah publik yang tertinggi terjadi di siber sebanyak 869 kasus. Disusul dengan kekerasan di tempat tinggal 136 kasus, kekerasan di tempat kerja 115 kasus, kekerasan di tempat umum 101 kasus, kekerasan di tempat pendidikan 37 kasus, kekerasan di fasilitas medis enam kasus, kekerasan di tempat kerja luar negri (pekerja migran) 6 kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 6 kasus.

Sedangkan kekerasan di ranah negara, kasus yang tertinggi adalah perempuan berhadapan dengan hukum 35 kasus, selanjutnya konflik Sumber Daya Alam (SDA) 11 kasus, kekerasan terhadap perempuan dengan pejabat negara, penggusuran  5 kasus, konflik agraria 5kasus, diskriminasi dalam proses pemilihan pejabat publik 3kasus, kekerasan terhadap perempuan dalam administrasi kependudukan 2 kasus, intimidasi oleh pemda 1 kasus, dan kebebasan beragama/berkeyakinan 1 kasus.

Dalam CATAHU Komnas Perempuan 2023 ini, terdapat inovasi yaitu kategorisasi untuk menjelaskan cara kekerasan bekerja dalam berbagai bentuk, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan para pihak yang berkepentingan mengidentifikasikan lebih dalam pengalaman khusus yang dialami korban, serta untuk merumuskan upaya penanganan dan pemulihannya.

Di dalam CATAHU ini juga diurai pola hambatan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan serta dampak kekerasan terhadap perempuan di setiap ranahnya.

“CATAHU 2023 memberikan perhatian khusus pada masalah pelanggaran HAM berat, kekerasan seksual, femisida, perempuan dengan disabilitas, kekerasan yang dialami minoritas seksual, perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS), perempuan pembela HAM, kekerasan dengan pelaku anggota TNI atau POLRI, dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan,” sebagaimana dikutip dari lembar fakta CATAHU Komnas Perempuan 2023 Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan.

Adapun beberapa rincian lainnya yang terdapat dalam CATAHU Komnas Perempuan 2023 ini adalah tiga poin utama dalam peraturan RUU PRT sebagai peraturan yang komprehensif dan akan menjamin pengakuan dan perlindungan PRT, kategori penyebab perceraian yang lebih spesifik dihimpun dari Badilag, potret kasus perempuan pekerja migran, data pengaduan Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), catatan 20 kebijakan yang memuat diskriminasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perempuan, dan lainnya.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//