• Nusantara
  • Enam Isu Krusial dalam RUU Kesehatan Menurut CISDI

Enam Isu Krusial dalam RUU Kesehatan Menurut CISDI

Pembahasan RUU Kesehatan yang juga dikenal sebagai Omnibus Kesehatan oleh DPR terkesan buru-buru dan tidak transparan. Masukan dan kritik cenderung diabaikan.

Tiga tenaga kesehatan (nakes) Puskesmas Jajaway, Antapani Kidul, berjalan melintasi pematang sawah menuju rumah pasien isoman di permukiman padat di kawasan tersebut, Kamis (22/7/2021) siang. Antapani Kidul merupakan kelurahan dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak di Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Ahmad Fikri16 Februari 2023


BandungBergerak.id – Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam siaran persnya menyoroti enam isu krusial dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang memerlukan perhatian masyarakat. RUU Kesehatan yang mendapat sebutan masyarakat sebagai Omnibus Kesehatan tersebut sudah memasuki Rapat Paripurna tingkat kedua di DPR.

Pendiri dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan bahwa beberapa pasal dalam RUU Kesehatan perlu dikritisi. RUU Kesehatan tersebut misalnya mengatur pasal mengenai pembentukan komite sektor kesehatan yang berisi kementrian dan lembaga negara dengan tidak menyertakan perwakilan masyarakat di sektor kesehatan seperti para ahli, organisasi profesi, serta masyarakat sipil.

“Ada kesan bahwa beberapa pasal di RUU Kesehatan ini yang mengembalikan desentralisasi kesehatan menjadi sentralistik. Di antaranya dengan memberi  kewenangan luas kembali  ke pemerintah pusat,” ujar Diah dalam rilis CISDI, Rabu (15/2/2023).

CISDI mengajak masyarakat mengawal RUU Kesehatan yang bersinggungan langsung dengan kepentingan umum masyarakat terutama di sektor kesehatan. DPR diminta agar tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU Kesehatan.

“Jika DPR mengesampingkan masukan dari elemen masyarakat, yang dikhawatirkan RUU ini bukan menguatkan tapi malah melemahkan sistem kesehatan nasional,” ujar Diah.

CISDI merangkum dalam enam catatannya mengenai Omnibus Kesehatan yang perlu mendapat perhatian masyarakat. Berikut enam catatan tersebut.

Baca Juga: Riset AJI dan PR2Media: 82,6 Persen Jurnalis Perempuan Indonesia Mengalami Kekerasan Seksual
Peringatan Setahun Wadas Melawan: Putusan PTUN Jakarta Menyatakan Penambangan di Desa Wadas Ilegal
Empat Petani Gurem dari Garut Divonis Bersalah 10 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII

Perumusan RUU Kesehatan Minim Pelibatan Masyarakat

Pembahasan RUU Kesehatan di Badan Legislasi (Baleg) DPR terlalu singkat. Isu adanya Omnibus Kesehatan muncul pertama kali pada akhir September 2022. Baleg DPR memang sempat mengundang perwakilan organisasi profesi membahas RUU Kesehatan, namun kritik dan penolakan yang disampaikan tidak digubris dengan tetap meneruskan pembahasannya. Draft RUU Kesehatan juga sulit diakses publik.

CISDI berpendapat bahwa reformasi kesehatan memang perlu, namun prosesnya agar dilakukan degan inklusif dan transparan. Mengutip UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan DPR melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan atau terdampak langsung dari peraturan yang mereka susun.

Dalam konteks RUU Kesehatan CISDI menilai dalam konteks RUU Kesehatna tersebut DPR tidak cukup hanya mengundang organisasi profesi saja, tapi harus mendengarkan suara masyarakat sipil yang mengetahui kondisi di lapangan. Termasuk di antaranya kelompok rentan, anak-anak, penyandang disabilitas, serta yang mendampingi tenaga kesehatan.

Pemberian Kewenangan Berlebihan pada Kementerian Kesehatan

CISDI menilai RUU Kesehatan memberikan kewenangan lebih luas pada Kementerian Kesehatan yang berpotensi mengarah pada sentralisasi kesehatan. Dua pasal yang perlu dikritisi.

Pertama, Pasal 425 yang mengubah isi UU Nomor 24 tahun 2011 tengan BPJS. Pada ayat 3 pasal tersebut yang dinilai terang-terangan menyebutkan BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan kesehatan yang mengubah substansi Pasal 13 UU BPJS. Perubahan ini dikhawatirkan menghilangkan independensi BPJS Kesehatan. Padahal independensi BPJS Kesehatan penting agar lembaga tersebut dapat mempertahankan otonominya secara operasional sebagai pembeli dalam sistem kesehatan.

Penugasan dari Kementerian Kesehatan berpotensi menghilangkan otonomi BPJS Kesehatan dalam memilih metode pembayaran, penetapan tarif, dan mengontrak pemberi layanan. Situasi tersebut dikhawatirkan akan membuat BPJS Kesehatan kesulitan mengelola dana amanat dan menjamin solvabilitas. CISDI menilai penugasan BPJS Kesehatan tidak seharusnya dimonopoli Kementerian Kesehatan namun melibatkan pemangku kepentingan lain yang lebih luas seperti Kementerian Keuangan, asosiasi tenaga kesehatan profesional, akademisi, industri, serta publik yang selama ini fungsi tersebut dijalankan oleh komite dalam DJSN. Kementerian Kesehatan lebih baik berkonsentrasi saja pada fungsinya untuk memperbaiki standar layanan kesehatan, serta bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memastikan kepatuhan standar praktik klinis dan pedoman penyelenggaraan layanan dengan menggunakan instrumen kebijakan verifikasi klaim.

Selanjutnya Pasal 462 dalam RUU Kesehatan mengenai komite kebijakan sektor kesehatan. Pada ayat 4 pasal tersebut tidak menyebutkan pelibatan masyarakat dan elemen lain dalam komite yang sedianya menjadi wadah koordinasi dan komunikasi dalam rangka akselerasi ketahanan sistem kesehatan. CISDI menyarankan agar menjadikan konsep National Health Assembly (NHA) di Thailand sebagai referensi yang membangun kolaborasi antara profesional bidang kesehatan, perwakilan pemerintah, dan masyarakat sipil.

Pemusatan Sistem Kesehatan Belum Komprehensif

CISDI melihat Pasal 22 dan 29 pada RUU Kesehatan secara eksplisit memisahkan terminologi pelayanan kesehatan primer (upaya kesehatan perorangan) dengan pelayanan kesehatan masyarakat primer (upaya kesehatan masyarakat) yang mereduksi makna layanan kesehatan primer yang komprehensif. Integrasi layanan kesehatan primer juga hanya fokus pada sektor publik tanpa melibatkan sektor swasta dan masyarakat. Pelayanan kesehatan primer tingkat pertama misalnya menitikberatkan pada Puskesmas, sementara peran fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta bersifat opsional. Bahkan belum ada aturan mengenai pemberian kewenangan dan insentif yang bisa diberikan pada layanan swasta.

Selanjutnya Pasal 193 ayat 1 RUU Kesehatan tidak menyebutkan kader kesehatan dalam kategori Sumber Daya Manusia Kesehatan. Ayat 18 pada pasal ini mengunci terminologi tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sebatas tenaga administrasi, tenaga keuangan, petugas pemulasaran jenazah, dan supir ambulans. CISDI menilai pasal ini berpotensi mendorong pelembagaan kader kesehatan sebagai SDM kesehatan yang lingkupnya berada pada Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyrakat. Insentif yang diberikan pada mereka juga hanya bersifat anjuran.

Potensi Pasal Karet Pemidanaan Kelalaian Tenaga Kesehatan

Pasal 462 yang mengatur ketentuan pidana menyebut tenaga medis yang lalai berat sehingga menyebabkan pasien luka bakal dipidana 3 tahun. Sementara jika menyebabkan pasien meninggal akan terkena hukuman penjara 5 tahun. CISDI menilai pasal ini berpotensi menjadi pasal karet karena tidak memberikan definisi pada “kelalaian berat” yang dimaksud. Penjelasan pasal ini pun tidak jelas.

CISDI menilai pasal ini berpotensi menimbulkan ketakutan di kalangan tenaga kesehatan. Pasal ini malah dapat menimbulkan keraguan sehingga berpotensi over care yang dikhawatirkan mengambat akses ke layanan kesehatan.

Pada Bab 18 RUU Kesehatan mengenai ketentuan pidana tersebut juga tidak menyinggung hubungannya dengan aturan yang sudah ada seperti UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal ini dikhawatirkan mengeliminasi kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kehormatan Kedokteran atau komite ahli yang menilai dan mengukur lalai tidaknya tindakan tenaga kesehatan.

Prioritas Pendanaan Kesehatan

CISDI mendukung Pasal 420 ayat 2 RUU Kesehatan yang menaikkan anggaran kesehatan menjadi 10 persen APBN di luar gaji. Sebelumnya UU Kesehatan hanya mewajibkan alokasi anggaran kesehatan hanya 5 persen APBN.

Namun CISDI meminta agar pemerintah memastikan belanja kesehatan ini tidak didominasi semata pada pembelian alat-alat kesehatan semata, khususnya di daerah, namun  juga pada prioritas penguatan layanan kesehatan primer. Sebagai gambaran pada anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2023 mengalokasikan 54 persen anggaran untuk Transformasi Pembiayaan Kesehatan, porsi untuk Transformasi Layanan Primer dan SDM Kesehatan di bawah 10 persen.

Definisi Kelompok Berisiko dan Belum Adanya Insentif Tenaga Kesehatan dalam Penanganan Pandemi

RUU Kesehatan mencantumkan landasan dasar penanganan pandemi. Namun masih ada beberapa definisi di dalamnya yang belum jelas. Diantaranya Pasal 386 dan Pasal 391 menyebutkan “populasi berisiko” tapi tanpa disertai penjelasan atas definisinya. RUU Kesehatan juga luput memastikan pelayanan dasar kesehatan selama pandemi tetap berjalan seperti misalnya program imunisasi dasar serta layanan untuk ibu hamil.

RUU Kesehatan juga tidak menyebutkan insentif khusus bagi tenaga kesehatan yang ikut terlibat dalam penanganan wabah. Padahal belajar dari pandemi Covid-19, insentif tersebut dibutuhkan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//