• Nusantara
  • Empat Petani Gurem dari Garut Divonis Bersalah 10 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII

Empat Petani Gurem dari Garut Divonis Bersalah 10 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII

Putusan hakim Pengadilan Negeri Garut menjadi cermin keadilan agraria yang masih jauh dari harapan.

Salah seorang petani gurem di Garut yang mengalami kriminalisasi karena menggarap lahan telantar. Mereka dituntut 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Garut, Selasa (24/1/2023). (Sumber Foto: LBH Bandung)

Penulis Awla Rajul7 Februari 2023


BandungBergerak.id — Majelis hakim Pengadilan Negeri Garut memvonis bersalah empat petani Cikandang Garut yang menebang lahan tidak produktif milik PTPN VIII dengan hukuman penjara 10 bulan dalam sidang perkara tersebut yang berlangsung Senin (6/2/2023). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang menjadi kuasa hukum warga menilai keputusan hakim dalam sidang perkara tersebut tidak mencerminkan keadilan agraria dan tidak memperhatikan kondisi ketimpangan lahan.

Salah satu kuasa hukum warga, M. Rafi menyebutkan bahwa majelis hakim menimbang bersalah empat terdakwa tersebut karena perbuatan penebangan yang dilakukan menyebabkan banjir. Padahal, banjir terjadi di tahun 2019 dan lokasi banjir jauh dari blok yang akan digarap oleh empat petani. Selain banjir, alasan lainnya karena meresahkan pekerja di PTPN.

"Yang jadi catatan itu tiba-tiba hakim menyimpulkan perbuatan terdakwa menyebabkan banjir. Padahal fakta persidangan yang ditebang terdakwa adalah lahan yang datar. Kedua, yang ditebang bukan lahan yang produktif, menyisakan beberapa pohon teh dan banyak yang tidak dirawat. Putusan hakim jauh dari rasa keadilan agraria," ungkap Rafi ketika dihubungi BandungBergerak.id, Selasa (7/2/2023).

Rafi mengungkapkan hakim hanya menilai dari kacamata formalistik hukum. Hakim tidak mempertimbangkan ketimpangan lahan dan ketidakadilan agraria yang terjadi di desa Mekarmulya dan Cikandang. Selain itu, PTPN VIII sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di wilayah tersebut yang harus memaksimalkan Hak Guna Usaha (HGU), malah tidak memaksimalkannya.

Rafi melanjutkan, putusan sidang ini mencerminkan hukum Indonesia. Menurutnya, keadilan agraria yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo masih jauh dari harapan. Sebab pelaksanaannya di lapangan tidak diimplementasikan dengan baik. Perusahaan-perusahaan menguasai lahan yang besar, sedangkan masyarakat sekitar yang mayoritas petani tidak punya lahan untuk penghidupan.

"Ini merupakan sebuah tamparan besar untuk kita semua. Ini menjadi warning terhadap pemerintah Jokowi bahwa reforma agraria untuk menyelesaikan ketimpangan lahan ternyata tidak bisa dilaksanakan di lapangan," ujar Rafi.

Baca Juga: LBH Pers Luncurkan Portal Konsultasi Virtual Hukum Gratis
Menolak Politik Dinasti, Kota Bandung Membutuhkan Wali Kota Properempuan
Imunisasi Perlu Digencarkan di Kota Bandung agar Terhindar dari Wabah Campak
Empat Petani Gurem dari Garut Dituntut 6 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII

Jauh Dari Cita-Cita Keadilan Agraria

Kuasa hukum warga lainnya, Muit Pelu menyebutkan bahwa vonis hakim melampaui tuntutan jaksa yang hanya menuntut hukuman lima bulan penjara. Ia menilai bahwa hakim hanya melihat persoalan secara normatif. Persoalan ketimpangan lahan yang melatarbelakangi pun luput.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Garut dalam sidang putusan menyatakan empat terdakwa petani Cikandang Garut yang melakukan penebangan lahan di perkebunan PTPN VIII terbukti secara sah melanggar pasal 107 huruf C Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Vonis 10 bulan tersebut akan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani empat terdakwa tersebut. Empat terdakwa sempat menjalani masa tahanan selama tiga bulan di Rumah Tahanan (Rutan) Garut sejak 14 November 2022.

Muit mengaku belum membaca hasil keputusan sepenuhnya. Ia menyebutkan bahwa pola kriminalisasi yang terjadi menunjukkan cita-cita keadilan agraria masih jauh dari harapan. PTPN VIII sebagai representatif negara tidak mampu mengelola lahan yang begitu besar. Lahan yang besar bahkan disewakan pada pihak lain hingga melakukan kerja sama dengan perusahaan lainnya.

Ketika rakyat yang hendak mengelola lahan tidak produktif milik negara, kemudian dikriminalisasi menunjukkan kalau negara tidak hadir untuk memastikan setiap masyarakat memiliki tanah, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada lahan. Apalagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah perkebunan menjadikan bertani sebagai mata pencarian utama.

"Tanah negara yang tidak produktif harusnya diberikan kepada masyarakat dan diselesaikan melalui pemerintahan, bukan dengan melakukan pemidanaan atau kriminalisasi. Hal ini harus di kritisi bersama dan jadi catatan kepada pemerintah agar tidak mengulangi lagi, karena harusnya negara memfasilitasi petani untuk memiliki tanah demi kehidupan dan penghidupannya," ujar Muit dalam sambungan telepon.

Muit menyebutkan LBH Bandung akan melakukan diskusi dengan terdakwa dan keluarga untuk memutuskan langkah yang akan diambil, melakukan upaya banding atau tidak. Pihaknya menegaskan bahwa keputusan kepada empat petani Cikandang tidak berkeadilan agraria.

Dugaan Kriminalisasi Petani

Nandang, Pakih, Ujang, dan Saepudin, empat petani Cikandang Garut yang divonis bersalah oleh hakim tersebut berurusan dengan hukum setelah dilaporkan oleh PTPN VIII atas tuduhan melakukan pembabatan pohon teh di lahan milik perusahaan tersebut. Empat petani tersebut membabat lahan tersebut keran beranggapan tanah tersebut ditelantarkan dan tidak produktif.

Laporan tersebut didasarkan sejumlah bukti. Diantaranya dokumen salinan Hak Guna Usaha (HGU) No. 7 dan 8 atas nama PTPN VIII Persero yang berkedudukan di Bandung tanggal 19 November 2009 yang telah dilegalisir, lima batang pohon teh yang telah dipotong, dua gergaji bergagang kayu, satu arit bergagang kayu, serta satu gergaji bergagang kayu berwarna coklat.

Empat orang tersebut merupakan buruh tani harian yang tidak memiliki lahan alias petani gurem dengan penghasilan rata-rata Rp 20-30 ribu per hari itu pun jika ada yang mempekerjakan. Empat petani gurem tersebut menggarap blok lahan berbeda. Di sana mereka menebang pohon teh yang sudah mati.

PTPN VIII, pemilik lahan diduga menelantarkan tanah HGU yang seharusnya dimaksimalkan untuk digarap. Pada PP No. 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar menyebutkan bahwa penelantaran tanah dapat menimbulkan konsekuensi atas hilangnya hak atas tanah tersebut.

Saksi ahli hukum agraria Rikardo Simarmata menyebutkan, keadilan agraria yang didasari pada UU Pokok-Pokok Agraria pasal 15. Kewajiban memelihara, meningkatkan kesuburan tanah dan mencegah kerusakan tanah bukan hanya kewajiban pemilik HGU.

“Tapi juga setiap orang yang berada di sekitaran wilayah itu. Artinya jika tanah tersebut tidak dikelola, tidak dimanfaatkan dengan baik, dan sudah lama ditelantarkan, maka masyarakat sekitar mempunyai kewajiban dan hak untuk bisa menggarap tanah tersebut,” ungkap Rikardo, dikutip dari siaran pers tuntutan LBH Bandung terhadap kasus kriminalisasi empat petani Cikandang.

Kriminalisasi yang dilakukan kepada petani merupakan pola yang kerap terjadi. Faktor yang paling jelas dari kasus empat petani Cikandang adalah ketimpangan penguasaan lahan. Ada dua desa yang terdampak pada HGU PTPN VIII, desa Margamulya dan Cikandang. Kepemilikan lahan antara warga dan perusahaan perkebunan milik negara sangat kentara.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//