• Nusantara
  • Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Memutuskan Menunda Pemilu 2024, Demokrasi dalam Bahaya

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Memutuskan Menunda Pemilu 2024, Demokrasi dalam Bahaya

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memeriksa hakim PN Jakarta Pusat yang memutuskan Pemilu 2024 ditunda.

Diorama Rumah Pintar Pemliu KPU Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu (8/6/2022). Tahapan pemliu dimulai 14 Juni 2022. Ditetapkan biaya tahapan sampai pelaksanaan pemilu 2024 yaitu Rp 76,6 triliun rupiah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana3 Maret 2023


BandungBergerak.idPublik dikejutkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan yang diajukan oleh Partai Prima terhadap KPU. Dalam amar putusan dinyatakan, KPU RI untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024.

Keputusan atas perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu sontak menuai reaksi penolakan dari kelompok prodemokrasi. Terlebih jauh sebelum PN Jakpus mengeluarkan putusan kontroversialnya telah muncul wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil prodemokrasi kemudian menyatakan sikapnya atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Koalisi menilai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah bertindak sewenang-wenang.

Kewenangan memutuskan sengketa pemilu bukan di level pengadilan negeri atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kewenangan mengadili sengketa pemilu hanya bisa dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Kami melihat putusan pengadilan yang diambil majelis hakim adalah putusan keliru, tidak berdasar hukum,” kata juru bicara Koalisi Arif Maulana dari YLBHI, dalam konferensi pers, Jumat (3/3/2023).

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahkan berbahaya bagi demokrasi dan sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Menurutnya, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan atau kompetensi absolut memeriksa sengketa pemilu.

Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2011 pasal 47 jelas dijelaskan bahwa ketika terjadi sengketa pemilu, misalnya antara KPU dan salah satu calon parpol yang tidak lolos verifikasi seperti yang dialami Partai Prima, mestinya mekanisme yang ditempuh melalui Bawaslu dan PTUN, bukan di pengadilan negeri. Hakim yang menangani perkara pun harus memiliki kualifikasi khusus untuk pemilu, tidak semabarangan.

“Kita melihat majelis hakim telah keliru dalam menerapkan itu. Bisa dibilang majelis hakimnya sewenang-wenang dalam mengadili perkara ini. Mestinya majelis hakim dalam kasus yang dia tidak punya kewenangan seharusnya tidak memprosesnya,” terang Arif.

Koalisi menyampaikan beberapa desakan terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertama, Mahkamah Agung melalui badan pengawasnya dan Komisi Yudisial untuk mengusut hakim yang memutuskan perkara Partai Prima vs KPU ini. Langkah MA dan KY diperlukan untuk mengetahui alasan di balik keputusan hakim PN Jakpus.

Koalisi curiga ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Partai Prima. Faktor eksternal, kata Arif, misalnya adanya peran mafia peradilan. Faktor internal terkait kapasitas hakim sendiri yang tidak memahami dasar hukum pemilu.

“Kami mendesak MA dan KY memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara ini atas dugaan pelanggaran kode etik dan profionalisme, terkait faktor eksternal dan internal yang mengakibatkan majelis bisa mengambil keputusan seperti ini,” katanya.

Desakan lain, Koalisi meminta KPU RI harus melakukan perlawanan dengan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Kemudian pengadilan tinggi ataupun MA didesak agar menganulir keputusan PN Jakpus.

“Karena putusan ini berbahaya bagi demokrasi kita dan melawan mandat konstitusi terkait pelaksanaan pemilu,” tandasnya.

Dalam koalisi yang sama, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito mengatakan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membahayakan demokrasi. Keputusan ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke masa otoriter seperti era Orde Baru.

Sasmito melihat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak lahir dari ruang hampa. Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sudah digaungkan sebelum munculnya sengketa pemilu ini.

“Ini jadi konsekuensi bersama untuk menolak ketika ada agenda membatalkan menunda pemilu karena jelas akan merusak demokrasi dan mengembalikan kita ke Orde Baru,” kata Sasmito.

Baca Juga: Aktivis Hingga Akademikus di Bandung Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024
Mempersiapkan Pemuda yang Toleran Menjelang Pemilu 2024
Tahapan Pemilu 2024, dari Pemutakhiran Data Calon Pemilih hingga Hari Pemungutan Suara 14 Februari

Tidak Bisa Jadi Alasan Penundaan Pemilu

Pengamat politik dari FISIP Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Pius Sugeng Prasetyo menilai kasus putusan pengadilan ini sebagai bentuk kesalahan prosedur yang tidak bisa dikaitkan bahwa pemilu 2024 harus ditunda. Masalah prosedur mestinya diselesaikan secara prosedural pula. 

PN Jakpus tidak berwenang memutuskan sengketa pemilu. Maka jalur yang ditempuh adalah melalui Bawaslu dan PTUN. Jikapun dalam proses verifikasi data parpol ini ditemukan ada kesalahan penyelenggara pemilu (KPU), maka penyelenggara inilah yang harus diperbaiki, bukan pemilunya yang ditunda.

“Kasus ini terlalu kecil menjadi alasan untuk menunda pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Ga substansial ada kasus ini jadi pembenararan penundaan pemilu. Seandainya ada kasus, selesaikan, tidak dikaitkan dengan isu besar yang tidak masuk akal untuk penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden,” kata Pius, saat dihubungi BandungBergerak.id.

Pius menjelaskan, konstitusi sudah tegas mengatur bahwa pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali dan jabatan presiden ditetapkan maksimal 2 periode. “Tak ada alasan untuk tidak melakukan yang tertulis dalam konstitusi. Ga mudah untuk itu,” tandas Pius.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//