• Nusantara
  • Penundaan Pemilu 2024 Mengkhianati Amanat Reformasi

Penundaan Pemilu 2024 Mengkhianati Amanat Reformasi

Tagar penolakan terhadap wacana penundaan Pemilu 2024 ramai di Twitter maupun pada petisi online di Change.org dengan judul: Tolak Penundaan Pemilu 2024.

Warga mengakses berita tentang penundaan Pemilu 2024 di Bandung, Senin (28/2/2022). Sejumlah tokoh politik dan organisasi masyarakat sipil menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Usul penundaan ini sebelumnya digagas oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAB Zulkifli Hasan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana15 Maret 2022


BandungBergerak.idTagar (#) TolakPenundaanPemilu2024 sempat riuh dikumandangkan warganet Indonesia di Twitter. Tautan tagar ini mengarah pada petisi online di Change.org dengan judul: Tolak Penundaan Pemilu 2024, sebagai respons atas manuver para elite politik tentang wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Hingga berita ini ditulis, petisi sudah ditandatangani 31.786 penandatangan.

Petisi online tersebut diinisiasi kelompok masyarakat sipil prodemokerasi yang berasal dari berbagai organisasi. Inisiator menyatakan setidaknya sudah tiga partai DPR yang punya sinyal mendukung penundaan Pemilu 2024, yaitu PKB, Golkar, dan PAN. Para elite di parpol tersebut mengatasnamakan aspirasi warga dan pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19.

Dikutip dari laman Change.org, Selasa (15/3/2022), inisiator petisi menyatakan bahwa keinginan para elite itu bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Pasal 7 dan 22 ayat (1) UUD NRI 1945 memastikan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan, melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara Luber dan Jurdil setiap lima tahun sekali.

“Kesimpulannya, menunda Pemilu 2024 berarti melanggar hukum tertinggi Negara Republik Indonesia,” tegas inisiator yang terdiri dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum, Universitas Andalas.

Inisiator petisi menyatakan, para elite partai DPR terus memperluas dukungan agar bisa mengubah konstitusi. Saat ini, PKB, Golkar, dan PAN hanya membutuhkan satu atau dua partai lagi untuk mengusulkan amendemen konstitusi bersama DPD. lalu koalisi DPR yang amat besar pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, lebih dari cukup untuk melancarkan amendemen.

Amandemen konstitusi itu dinilai hanya akal-akalan belaka karena sangat bertentangan dengan konstitusionalisme pembatasan kekuasaan melalui limitasi masa jabatan yang lahir dari sejarah perjalanan bangsa dan merupakan amanat reformasi.

Jika para elite politik berhasil mewujudkan itu maka Indonesia melanggar prinsip-prinsip universal negara demokrasi. Menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang jabatan presiden pun membuat Indonesia melanggar prinsip pemerintahan presidensial. Sebagai bagian dari sistem politik hasil Reformasi, sistem presidensial punya dua perbedaan mendasar dengan sistem parlementer. Pertama, pemerintahan yang terpisah dari parlemen. Kedua, presiden sebagai kepala pemerintahan punya masa jabatan yang tetap dan dibatasi oleh pemilihan langsung oleh rakyat secara berkala.

Alasan ekonomi pada konteks Covid-19 pun bertentangan dengan praktik pemerintahan sebelumnya. Pada Pilkada 2020, korban infeksi dan nyawa dari wabah korona ada dalam keadaan puncak. Para akademisi lintas bidang, tenaga medis, NGO, Ormas keagamaan lintas iman, dan mahasiswa, meminta penundaan Pilkada 2020. Keadaan ekonomi warga dan APBN/D dalam keadaan buruk karena terdampak Covid-19. Tapi, pemerintah dan DPR tetap melanjutkan Pilkada 2020.

Baca Juga: Aktivis Hingga Akademikus di Bandung Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024
Demokrasi akan Rusak jika Pemilunya Curang
Benalu Demokrasi itu Bernama Buzzer

Tidak Masuk Akal

Penolakan terhadap usulan penundaan Pemilu 2024 meluas. Pengamat politik dan pemilu UGM, Wawan Mas'udi, mengatakan usulan tersebut tidak masuk akal dan kontra produktif terhadap perkembangan dan sistem demokrasi yang telah dibangun selama ini.

Ia menjelaskan pemilu dan sirkulasi kekuasaan yang bersifat rutin sesungguhnya menjadi momentum rakyat atau masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dalam sistem demokrasi untuk melakukan koreksi.

“Pemilu itu alat mengontrol jalannya pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Artinya pemilu yang rutin itu merupakan fondasi bagi demokrasi elektoral yang kita punya, kalau fondasinya saja di persoalkan maka perkembangan demokrasi kita jelas akan mengarah pada kemunduran”, ujar Wawan Mas'udi.

Ia menuturkan dalam sejarah politik Indonesia pascareformasi belum pernah ada penundaan pelaksanaan pemilu karena memang tidak ada situasi yang memaksa untuk menunda. Hanya saja oleh sebab situasi pandemi sempat menunda jadwal untuk pemilu lokal (pilkada).

Meski begitu, sambungnya, tetap harus diingat kalau menunda pemilu lokal (pilkada) ada mekanisme penunjukan pejabat pelaksana (Plt) dan lain-lain. Sementara pemilu lokal untuk memilih kepala daerah ini berbeda dengan pemilu yang bersifat umum atau nasional.

“Dan kita tahu hampir semua negara ketika pandemi menghebat banyak yang menjadwal ulang. Kalau kemudian pemilu 2024 ditunda dengan alasan yang tidak jelas bisa berbahaya, bisa-bisa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang telah terbangun,” ucap Dekan Fisipol UGM.

Wawan mengatakan menunda pemilu harus ada perubahan pada konstitusi. Untuk mengubah konstitusi tidak semudah yang dibayangkan. Bisa saja pemilu ditunda jika ditemukan alasan yang memaksa, misal Indonesia mengalami situasi krisis atau sedang menghadapi pandemi.

“Kita kan tidak sedang dalam situasi krisis. Betul kita sedang menghadapi pandemi, betul bangsa sedang struggle menghadapi banyak hal tapi tidak sedang dalam krisis. Pandemi memang masih ada tetapi sudah bisa kita kelola, sehingga alasan penundaan itu menjadi susah pondasinya untuk saat ini,” paparnya.

Apalagi masyarakat selama dua tahun pandemi cukup mendapat edukasi, dan sudah bisa berinvestasi dalam cara hidup yang baru. Masyarakat dinilai sudah resilien terhadap pandemi, dan cakupan vaksin sudah cukup tinggi.

Wawan menilai masyarakat nampaknya siap untuk perhelatan pemilu tahun 2024. Pilkada langsung yang seharusnya dilaksanakan 2019 dan diundur 2020 karena pandemi menjadi cukup modal pengalaman untuk itu.

“Meski ditunda dan masih pandemi, pilkada yang berlangsung cukup menarik karena tingkat partisipasinya cukup tinggi dan tidak terbukti ada penyebaran atau menjadi klaster. Kita harus hargai pengalaman itu  dan masyarakat cukup kuat terhadap situasi-situasi semacam itu”, ungkapnya.

Pakar Tata Negara Menolak Penundaan Pemilu 2024

Isu perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024 juga menjadi perhatian para dosen hukum tata negara dalam diskusi Constitutional Law Society (CLS) FH UGM. Para pakar yang terlibat antara lain Zainal Arifin Mochtar, Andi Sandi Antonius T.T., Andy Omara, Mahaarum Kusuma P., dan Yance Arizona dari Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, serta Herlambang P. Wiratraman dari Fakultas Hukum Unair. 

Semua pakar sepakat menolak wacana penundaan pemilu. Mereka menilai bahwa penundaan pemilu dapat merusak demokrasi.

“Saya pikir, kita semuanya (yang ada dalam diskusi ini) sepakat bahwa memang pada dasarnya janganlah ada penundaan pemilu, (bahkan) jangan diberikan kesempatan, karena sekali kita buka katupnya itu bisa menciptakan ‘setan-setannya’. Kalau menganalogikan ke mitologi Yunani (penundaan pemilu tersebut bagaikan) ‘Kotak Pandora’…….. (Di mana) itu bisa merusak demokrasi dan menghancurkan begitu banyak hal di negeri kita,” tutur Zainal Arifin Mochtar, menyimpulkan hasil diskusi.

“Toh secara konstitusional yang memang harus kita akui bahwa tidak mungkin (menunda pemilu), walau (sebenarnya) ada juga alasan konstitusional untuk menunda. Misalnya ada kondisi yang tidak mungkin bisa ditolak (kondisi bahaya), contohnya seperti perang. Tapi jangan sampai kondisi dikarang-karanglah, misalnya Covid atau demi kestabilan ekonomi, (atau) demi kelanjutan proyek strategis nasional. Jangan seakan-akan dikarang seperti itu, karena pemilu, meminjam bahasa Herlambang P. Wiratraman, adalah sarana untuk menentukan,” tambah Zainal.

Sebelumnya pada 31 Januari 2021 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan tanggal pencoblosan untuk pemilu serentak tahun 2024 mendatang adalah pada tanggal 14 Februari 2024. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//