• Opini
  • Ketiadaan Politik Kewargaan di Tengah Pemilu

Ketiadaan Politik Kewargaan di Tengah Pemilu

Menjelang Pemilu, kita dibombardir perbincangan-perbincangan tak bermutu. Politik kewargaan memungkinkan warga terlibat dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

Delpedro Marhaen

Jurnalis, periset di Bandung for Justice

Mural mirip Presiden Joko Widodo di Kota Bandung, Kamis (21/7/2022). Mural ini muncul terkait mulai panasnya suhu politik. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Juni 2023


BandungBergerak.id - Perbincangan mengenai politik kewargaan hampir tak pernah terdengar menjelang penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu). Yang dibicarakan melulu mengenai elektabilitas, bongkar pasang koalisi, dan gosip politik tidak penting lainnya. Dengan kualitas perbincangan tidak bermutu seperti itu, bukan tidak mungkin Pemilu sebagai proses demokratisasi dilihat tidak lebih semata-mata sebagai metode dan prosedur untuk memilih orang yang “seolah-olah” akan mewakili kepentingan pemilihnya dalam lima tahun ke depan.

Politik kewargaan memandang dan menawarkan perspektif berbeda. Eric Hiariej dan Kristian Stokke dalam buku Politik Kewargaan di Indonesia menerangkan bahwa politik kewargaan mendorong adanya keterlibatan aktif warga dalam kehidupan publik. Keterlibatan warga tersebut dibentuk dan dipraktikkan melalui serangkaian perjuangan politik dan gerakan melawan ketidakadilan. Di antaranya berupa rangkaian perjuangan untuk meraih pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dan kebudayaan yang beragam (politik pengakuan), keadilan ekonomi dan sosial (politik redistribusi), serta keterwakilan politik (politik representasi).

Dalam hal perjuangan politik pengakuan, misalnya, terdapat gerakan kaum muda Muslim Cina di Pontianak yang menggambarkan bagaimana dinamika Muslim Cina dalam memeluk, menolak, dan mengubah identitas. Juga gerakan transgender di Yogyakarta yang menggambarkan bagaimana identitas seksual yang terpinggirkan menuntut ruang melalui pelbagai aksi politik dan gerakan pemuda bertato di Denpasar yang menggambarkan stigma atas kelompok kultural. Ada juga perjuangan politik redistribusi buruh perkebunan sawit yang menghadapi kekuasaan dengan “gerakan keadilan kelapa sawit”, lalu perjuangan politik representasi pekerja rumah tangga dan rakyat miskin kota dalam memperjuangkan hak-haknya.

Politik kewargaan memandang bahwa demokrasi tidak hanya sebatas soal memberikan hak-hak individu kepada warga negara, - dalam hal Pemilu, yakni hak untuk dipilih dan memilih -, melainkan juga melibatkan aktif warga dalam urusan-urusan publik dalam kehidupan sehari-hari. Hakikatnya, dalam politik kewargaan, demokrasi dimaknai sebagai proses mengelola hubungan kekuasaan untuk membuka ruang bagi siapa saja yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya untuk menyatakan pilihan dan kepentingan mereka.

Ketiadaan politik kewargaan yang memungkinkan segala kesempatan tersebut dapat terwujud, menyebabkan proses demokratisasi selama ini mandek dan tidak mampu melawan dominasi oligarki di Indonesia. Diperburuk dengan ketidakmampuan lembaga yang lahir dari proses demokratisasi untuk mengawal demokratisasi itu sendiri dan hanya berujung menjadi lembaga “demokrasi formal”. Sebaliknya, proses demokratisasi justru dibajak oleh agenda kelompok oligarki dengan mengabaikan kepentingan publik, khususnya mereka yang berada dalam strata sosial rendah.

Ketiadaan politik kewargaan di tengah Pemilu membuat warga tidak memiliki kesadaran dan keajegan sendiri dalam menghadapi Pemilu. Edward Aspinall dalam buku Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme, dan Negara di Indonesia menerangkan bagaimana praktik klientelisme terjadi dalam Pemilu di Indonesia. Hubungan individu atau kelompok pemilih dengan politisi bahkan diinstitusionalkan untuk memberikan dukungan berbasis “timbal balik”. Praktik tersebut semakin menguat karena berbasis pada kebijakan-kebijakan resmi pemerintah, presidensial threshold, dan penunjukan Penjabat Gubernur. Tak ayal politik uang dan premanisme politik semakin tumbuh dan berkembang dalam Pemilu.

Baca Juga: Ketika Kepentingan Publik Tunduk pada Nama Baik Pejabat
Menjejaki Sidang Haris-Fatia #1: Pencemaran Nama Baik, Kritik, dan Solidaritas Publik

Pertanyaan-pertanyaan Kritis

Demikianlah politik kewargaan menjadi penting sebagai perbincangan dalam Pemilu untuk menghapuskan tindak-tanduk buruk tersebut. Jika politik kewargaan ikut campur dalam Pemilu, perbincanganya bukan lagi soal tetek-bengek Pemilu yang tak penting. Pertanyaan-pertanyaan kritis bakal bermunculan: bagaimana menggulirkan perjuangan politik pengakuan kultural, hak-hak dan partisipasi kelompok minoritas seperti kelompok keagamaan, transgender, dan komunitas kultural lainnya dapat dipenuhi? Bagaimana mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi para buruh kebun sawit? Atau siapa keterwakilan politik yang selama ini memiliki jejak memperjuangkan hak-hak pekerja rumah tangga dan rakyat miskin kota?

Jika pertanyaan yang diajukan di ruang publik tersebut dapat dijawab para kontestan Pemilu, artinya Pemilu berhasil menjadi suatu proses demokratisasi, baik untuk para kontestan ataupun pemilih. Sebaliknya, apabila pertanyaan tersebut tidak terjawab atau tidak diajukan, Pemilu hanya sebatas prosedur dan metode untuk memilih pemimpin, serta menjadi tidak relevan. Ketika warga mampu menentukan jalannya sendiri untuk menunjukkan keberadaan dan peran yang dominan dalam gagasan sistem politik dan negara, itulah politik kewargaan.

Pertanyaannya kini: sejauh mana warga terlibat dalam Pemilu? 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//