• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #1

NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #1

Kerusuhan demi kerusuhan merebak di banyak tempat di Hindia Belanda sepanjang tahun 1926 dan 1927. Beberapa tokoh pergerakan terseret aksi kaum komunis ini.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Potret para anggota Indische Partij, mungkin di Den Haag, Belanda. Duduk dari kiri ke kanan: dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. E. F. E. Douwes Dekker, dan R. M. Soewardi Soerjaningrat. (Sumber foto: koleksi KITLV 3725, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

5 Juni 2023


BandungBergerak.idKerusuhan yang meletus di Batavia pada 12-13 November 1926 menandai periode perlawanan kelompok bumiputra berhaluan komunis pada Belanda secara sporadis di banyak tempat di Hindia Belanda. Periode perlawanan komunis 1926-1927 mengentakkan kesadaran Belanda bahwa setelah perang panjang di Aceh dan Jawa berhasil dimenangkan, nusantara tidak sepenuhnya tunduk.

Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 5 Januari 1927 memberitakan proses peradilan di Landraad Batavia terhadap tujuh orang warga Kampung Karet yang terlibat dalam kerusuhan 12-13 November di kampung Karet di Batavia. Tajuk berita koran tersebut berjudul “Uit den nacht van den opstand (Dari Malam Pemberontakan)”, dengan kata “opstand (pemberontakan) menggambarkan narasi yang digunakan Belanda atas peristiwa tersebut.

Di pengadilan yang khusus mengadili bumiputra, di Landraad Batavia, tujuh terdakwa tersebut ditanyai seputar keterlibatan mereka dalam peristiwa kerusuhan yang melibatkan tiga ratus orang “komunis”. Kerusuhan pada 12 November 1926 malam itu pecah akibat ratusan orang yang berjalan berarak-arakan dalam gelap menuju balai kota di Koningsplein, bentrok dengan petugas polisi yang berjaga di jembatan gantung Menteng Doekoe. Dalam kerusuhan tersebut satu orang opas polisi tewas dikeroyok massa.

Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? menceritakan, di pengadilan sebagian terdakwa yang dicocok polisi mengaku menjadi bagian dari kelompok komunis. Namun ada juga yang mengaku dipaksa ikut-ikutan – bahkan tidak mengerti tentang komunis dan tujuan pengerahan massa menuju balai kota malam itu. Namun semua mengaku membawa senjata.

Satu di antara terdakwa justru sang kepala kampung, Sairan bin Amat. Ia mengaku sengaja membawa senapan yang sudah dimilikinya sejak tiga tahun lalu dengan membeli seharga 50 Gulden. Ia berkilah, saat kerusuhan malam itu ada yang merebut senapannya, lalu orang tersebut yang menembaki polisi yang berhamburan kabur melarikan diri.

Di hari yang berbeda, masih di Landraad Batavia, diperdengarkan juga kesaksian polisi mengenai kejadian malam itu. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 14 Januari 1927 menceritakan, malam itu terjadi penyerangan pada markas polisi di Glodok, dan pembajakan kantor telepon Batavia. Pembajakan kantor telepon tersebut membuat komunikasi polisi terputus.

Kelompok polisi yang bergerak di sejumlah tempat di Batavia pada malam itu mendapat serangan tembakan orang tidak dikenal. Sejumlah jalan diblokir. Kelompok polisi yang memeriksa kantor telepon Batavia terlibat bentrok fisik dengan sejumlah orang tidak dikenal yang bersenjatakan golok dan kelewang. Ada petugas polisi yang jadi korban luka malam itu. Kelompok polisi yang lain menangkap seorang bumiputra yang bersenjata senapan browning dengan puluhan peluru.

Suasana persidangan Laandraad Meester Cornelis di Batavia sekitar tahun 1910. (Sumber foto: koleksi KITLV 114085, digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Suasana persidangan Laandraad Meester Cornelis di Batavia sekitar tahun 1910. (Sumber foto: koleksi KITLV 114085, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Serangan di Tempat-tempat lain

Di hari yang sama, serangan serupa terjadi di Nagreg, Garut. Sekelompok orang menyerang polisi, serta aparat desa dan camat. Seorang petugas polisi dan juru tulis desa tewas, sementara camat dan petani setempat terluka. Polisi menangkap empat pelaku dan mengirimnya ke pengadilan Landraad Bandung.

Pemerintah Hindia Belanda mengklaim, sejumlah rencana penyerangan yang rencananya akan dilakukan serempak pada 12-13 November 1926 berhasil digagalkan. Rencana penyerangan di Bandung dan Cimahi, misalnya, berhasil digagalkan karena keburu tercium lewat serangkaian penangkapan dan interogasi yang gencar dilakukan sepanjang tahun. Rencana penyerangan di sejumlah tempat di Preanger tersebut terungkap dalam pemeriksaan pengadilan di Landraad Bandung (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie?, 10 Januari 1927).

Belum tuntas jalannya pengadilan yang digelar Belanda pada tahanan yang dituduh terlibat kerusuhan di Batavia dan banyak tempat lainnya di Pulau Jawa,  kerusuhan dalam skala yang lebih besar meletup tak lama setelah malam tahun baru di pantai barat Sumatera. Harian De Indische courant tanggal 6 Januari 1927 menceritakan suasana mencekam di Sawah Lunto di Padang, Sumatera Barat. Aksi perlawanan rakyat Silungkang dalam kacamata media Belanda ada dalam narasi “pemberontakan”.

De Indische courant menggambarkan buruknya situasi keamanan di Sawahlunto. Mulai dari perkampungan warga Silungkang yang nyaris kosong tanpa penduduk, polisi yang terlibat baku tembak dengan kelompok bersenjata yang bersembunyi di daerah perbukitan, penyerangan tambang Ombilin, penyerangan kereta api yang mengangkut wanita dan anak-anak Eropa dari Solok, puluhan orang Tionghoa yang melarikan diri dari Silungkang karena menolak terlibat melawan Belanda, pengeboman rumah kepala stasiun kereta, perampokan, pembakaran rumah penduduk, perusakan kabel telegraf, berhentinya layanan kereta api Solok-Sawahlunto karena alasan keamanan, hingga situasi darurat militer dan penjagaan ketat di pintu masuk Kota Padang. Disebutkan di koran tersebut, 20 orang pemberontak yang menyerang kereta api ditemukan telah tewas dalam serangan jalur kereta menuju Sawanlunto. 

Suasana pembukaan Volksraad di Batavia oleh Gubernur Jenderal J. P. van Limburg Stirum (duduk di tengah panggung) sekitar tahun 1918. (Sumber foto: koleksi KITLV 4513, digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Suasana pembukaan Volksraad di Batavia oleh Gubernur Jenderal J. P. van Limburg Stirum (duduk di tengah panggung) sekitar tahun 1918. (Sumber foto: koleksi KITLV 4513, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kebangkitan Kaum Pergerakan

Suasana yang digambarkan media Belanda di awal tahun 1927 memang suram. Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (PT Pustaka Utama Grafiti, 1997) memberi gambaran rinci tentang kebangkitan kaum pergerakan yang mencapai titik kulminasinya pada pemberontakan komunis di Jawa pada November 1926 dan di Sumatera Barat pada 1927.

Kebangkitan kaum pergerakan tersebut memancing reaksi keras pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Pengawasan ketat dan penangkapan terjadi di mana-mana. Dua peristiwa pemberontakan yang terjadi dalam waktu berdekatan tersebut menyebabkan 13 ribu orang ditangkap di seluruh Hindia Belanda. Beberapa ditembak karena terlibat pembunuhan, 4.500 orang kemudian dipenjara lewat pengadilan, 6.700 orang dibebaskan, dan 1.300 orang lainnya menjalani hukuman pengasingan ke Boven Digul di Irian Barat.  Sebagian besar yang dibuang ke Digul adalah pentolan Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat yang dituding menjadi kelompok yang berada di balik pemberontakan komunis tersebut (Shiraishsi, 1997).

Sejumlah tokoh pergerakan kebangkitan Indonesia terlibat dalam pusaran drama perlawanan kelompok komunis melawan Belanda di masa tersebut. Satu di antaranya Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang dari tiga serangkai pemimpin Indische Partij, organ politik terorganisasi pertama yang berdiri melawan Belanda.

Tahun 1927 adalah tahun ke-6 Tjipto dipaksa tinggal di Bandung sebagai hukuman yang dijatuhkan Van Limburg Stirum, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu atas desakan Residen Surakarta Harloff yang kelimpungan menghadapi aksi mogok buruh perkebunan gula dan petani. Tjipto bersama Haji Misbach menggalang aksi mogok buruh dan petani lewat organisasi Serikat Hindia menuntut kenaikan upah dan kelonggaran kewajiban kerja pada negara.

Bandung menjadi tempat pembuangan Tjipto yang ke sekian kalinya. Aktivitasnya di Bandung tak jauh-jauh amat dari yang biasa dikerjakannya, mulai dari merawat orang sakit, diskusi, menulis, dan menghadiri pertemuan-pertemuan politik. Simpatinya juga tak pernah lepas pada kawan sepemikiran yang mendapat represi Belanda di nusantara.

Harian De Indische courant tanggal26 Januari 1927 memberitakan, Tjipto bersama kaum intelektual bumiputra di Bandung sengaja ikut mengunjungi tahanan politik yang dituduh terlibat pemberontakan komunis yang akan dikirim menjalani hukuman pengasingan ke Boven Digul. Tjipto, Sukarno, Anwar, Sartono, Boediarto, dan Soenario menyambangi barak polisi di Tjigereleng untuk mengucapkan selamat tinggal pada para tahanan politik di sana. Tidak ada keterangan rinci dalam koran tersebut, tapi seluruhnya ada 10 pemimpin komunis dan keluarganya yang akan diangkut menuju Batavia, bergabung dengan ratusan interniran lainnya yang akan dikirim dengan kapal laut menuju Papua.

Di sana Tjipto mengajukan diri untuk menjadi asisten petugas kesehatan bagi para tahanan itu di Boven Digul. Sejumlah koran Belanda menanggapi dengan nyinyir permintaan Tjipto tersebut. Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? (1 Februari 1927) meminta pemerintah mengamini permintaan tersebut dan secepatnya mengirim “dr. Tjip” menyusul ke Boven Digul sekaligus sebagai interniran ketimbang membiarkannya kembali menduduki jabatan sebagai wakil bumiputra di Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda).

Tjipto merupakan satu dari lima bumiputra pertama yang diminta langsung oleh Gubenur Jenderal Van Limburg Stirum menjadi wakil bumiputra di Volksraad  pada pemilihan Januari 1918 bersama Pangeran Mangkunegara Prang Wedana, Tjokroaminoto (CSI), M.Ng. Owidjosewojo {BO), serta M. Tajeb (Aceh). Tjipto di sana menjadi wakil Insulinde. Penunjukan Tjipto merupakan politik Stirum untuk meyakinkan banyak pihak bahwa Volksraad bukan arena boneka. Stirum juga yang menolak usul Raad van Justitie menghukum Tjipto dengan membuangnya ke Timor dan memilih mengirimnya ke Bandung. (Shiraishi, 1997).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Teror Bom di Bandung pada Zaman Kolonial
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #1: Cikal Bakal Kemunculannya di Bandung

Pamflet Tjipto Mangoenkoesoemo

Tjipto bukan komunis., tapi ia juga tidak alergi pada kelompok tersebut. Tjipto berteman dengan banyak kalangan, di antaranya Semaoen dan Sneevliet yang merupakan pentolan kelompok komunis di Hindia Belanda (Shiraishi, 1997). Lewat pertemanan tersebut ia memahami cara berpikir kelompok tersebut. Pergerakan kelompok komunis yang menunjukkan perkembangan pesat, justru rontok akibat pecahnya pemberontakan kelompok tersebut di Jawa dan Sumatra. Tjipto kemudian menulis pamflet berisi pembelaan pada kelompok tersebut yang kemudian disita oleh polisi (Bataviaasch nieuwsblad dan De locomotief, 26 Januari 1927).

Koran De locomotief dan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? yang terbit tanggal 1 Februari 1927 menyebutkan, penyitaan yang dilakukan polisi pada 500 pamflet berisi tulisan Tjipto diklaim sebagai tindakan preventif. Belakangan jaksa agung memerintahkan pembatalan perintah penyitaan tersebut.

Sejumlah koran berbahasa Belanda mengulas pamflet tulisan Tjipto yang berjudul “Het communisme in Indonesië (Komunisme di Indonesia)”. Pamflet tersebut diberi pengantar oleh pengurus Algemeene Studieclub dan redaksi Indonesia Moeda. Satu di antaranya Sukarno, yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia.

Muncul beragam tanggapan media berbahasa Belanda atas pamflet Tjipto tersebut. Ada yang nyinyir, ada yang memujinya.

Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? (1 Februari 1927) adalah salah satu yang mencibir tulisan pamflet Tjipto tersebut. Koran tersebut menyebut tulisan itu adalah ocehan. Tjipto dijuluki anak nakal dan anti Belanda. Sementara De locomotief yang sedari awal merupakan pendukung sikap kritis pada pemerintah dengan halus mendukung isi tulisan Tjipto dengan mengutipnya pada bagian-bagian yang penting dengan terang dan lugas.

“.. dat Indonesië bezig is een tijd van revolutie, gevolgd dooreen nieuwe revolutie, en deze weer dooreen andere.. (..bahwa Indonesia sedang melalui masa revolusi, diikuti oleh revolusi lainnya, dan ini satu demi satu..),” tulis De Locomotief mengulang tulisan Tjipto di pamflet tersebut. 

Pamflet Tjipto mengundang polemik kala itu. Tulisan berbalas tulisan di koran-koran. Editorial Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? (24 Februari 1927) adalah salah satu yang akhirnya mengakhiri polemic secara sepihak dengan menyebutkan pembaca korannya sudah bosan dengan tulisan Tjipto yang menghasut. Membantahnya hanya menghabiskan waktu.

Aktivitas Tjipto di Bandung paling kentara dengan keterlibatannya dalam rapat-rapat penting Algemeene Studieclub, yang menjadi tempat berkumpulnya intelektual bumiputra di Bandung. Pemberitaan harian De Indische courant tanggal 26 Maret 1927 menyebutkan andil Tjipto untuk mendukung dr. Soetomo menerima tawaran menjadi anggota Voolksraad. Sebagian menentang karena menilainya tidak berguna, karena Belanda tidak akan pernah mendengarkan pendapatnya. Serangkaian pertemuan Studieclub kala itu bermuara pada rencana pendirian Partai Nasionalis Indonesia yang akan menjadi corong aktivitas yang lebih fokus pada aksi politik (De koerier, 13 Juni 1927).

Sebagai dokter Jawa, Tjipto juga masih berpraktik di Bandung. Ia misalnya membantu pemerintah Hindia Belanda mencarikan metode baru penyembuhan pasien TBC. Cara Tjipto merawat penderita TBC menarik perhatian luas karena pasien menunjukkan gejala perbaikan. (De Indische courant, 14 April 1927). Di kesempatan yang lain, Tjipto diberitakan pernah membantu memberi pertolongan pertama pada pengendara sepeda korban tabrakan yang menderita luka di kepala di dekat kediamannya di Andir di Jalan Pangeran Soemedang (Soemedangweg) (De koerier, 28 Juni 1927).

Sampai akhirnya Hindia Belanda digemparkan dengan aksi penyerangan orang Manado yang menjadi bagian tentara angkatan darat Belanda yang hendak meledakkan gudang mesiu Pyotechnische Werkplaats di Bandung. Peristiwa yang disusul dengan penangkapan besar-besaran prajurit militer dari suku Manado di angkatan darat Hindia Belanda. Inilah peristiwa yang kemudian menyeret Tjipto Mangoenkoesoemo menjadi interniran di Banda Neira.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Tjipto Mangoenkoesoemo 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//