• Budaya
  • Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal

Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal

Lewat sebuah teater musikal, perbincangan tentang Pancasila dan isu-isu kebangsaan bisa berlangsung lebih akrab dan cair. Memberi ruang dialog kepada audiens.

Babak ketiga teater musikal Pancasila, Revolusi, dan Cinta di Ruang Putih Bandung, Sabtu (3/6/2023), menceritakan pengorbanan di masa Agresi Militer Belanda tahun 1946. (Foto: Arya Rizaldi)

Penulis Dini Putri6 Juni 2023


BandungBergerak.id - Di Ruang Putih, Karangsetra, Bandung, sebuah pentas teater musikal mencoba merenungkan dan menafsirkan sesuatu yang selama ini amat berat dibahas sekaligus problematik: Pancasila. Ruang pertunjukan yang tak begitu luas menjelma menjadi ruang tanpa sekat bagi kelahiran dialog yang saling berbalas antara para penampil dan penonton.

Pertunjukan teater musikal bertajuk “Pancasila, Revolusi, dan Cinta” pada Sabtu (3/6/2023) itu memang digelar sebagai sebuah perayaan Hari Lahir Pancasila. Swaradiksi berkolaborasi dengan Sonamusica dalam proses penciptaan karya yang berlangsung selama tidak kurang dari satu tahun.

Bahan utama pertunjukan ini adalah karya penelitian ilmiah mengenai hubungan antara nasionalisme atau kebangsaan dengan musik yang dilakukan oleh Sophan Adjie selaku sutradara dan penulis lagu. Dukungan diberikan oleh Daniel Victor selaku penata musik.

Sophan gelisah mendapati isu-isu kebangsaan sering disampaikan melalui forum formal yang kaku dan bersifat ideologis. Ia ingin agar isu-isu tersebut bisa tersampaikan kepada publik dengan cara yang berbeda, yang sesuai dengan perkembangan zaman.

“Saya mencoba untuk bicara tentang konsep kebangsaan dengan cara yang lebih nge-pop. Jadi, tanpa tidak sadar mereka (audiens) menyerap gitu, menyerap konsep-konsep kebangsaan tadi, rasa nasionalisme, cinta tanah air, dan segala macam itu dititipkan dalam cara-cara kami yang nge-pop,” kata Sophan.

Pertunjukan teater musikal “Pancasila, Revolusi, dan Cinta” adalah sebuah pertunjukan tanpa sekat antara pemain dan juga penonton (apresiator). Interaksi dua arah membuat suasana menjadi lebih hidup dan dinamis. Makna-makna yang berceceran di sepanjang pertunjukan bisa direfleksikan dalam aktuvitas sehari-hari audiens.

Pentas terbagi menjadi tiga babak penampilan yang mengangkat isu yang berbeda-beda. Babak satu mencoba merefleksikan bagaimana manusai lahir, tumbuh, dan bekerja di negara Pancasila, dibalut dengan kisah cinta perjuangan seorang lelaki yang mencari nafkah untuk keluarga yang dicintainya. Babak dua menampilkan refleksi arti cinta kepada diri sendiri, sesama, dan semesta. Lalu, babak terakhir menceritakan kisah pengorbanan sepasang kekasih di masa agresi militer Belanda I pada tahun 1946 yang harus rela mengorbankan perasaan dan masa depan demi bangsa dan negara.

Baca Juga: Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras
Seni Rupa Tiga Dimensi untuk Menyuarakan Peduli Lingkungan

Sarat Makna

Katrina, seorang penulis, hadir sebagai salah satu penonton pentas teater musikal hari itu.  Ia mengaku menikmati seluruh pertunjukan, dan berharap agar semakin banyak pertunjukan serupa mengangkat kisah sederhana sarat makna.

“Dalam ruang yang tidak terlalu besar, ini ada suatu kolaborasi musik, puisi, dan lagu dengan sinergi yang bagus dan komunikatif dengan penonton,” tuturnya.

Bagi Sophan Adjie, tidak jadi masalah mementaskan teater bukan di panggung yang megah dan mewah. Yang terpenting, manfaat bisa didapatkan oleh para pemain serta apresiator, dan pentas-pentas seperti ini bisa terus secara ajek digelar.

“Dikenal orang dengan cara yang sederhana itu sudah cukup,” ucapnya. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//