Tiga Kolaborator Melawan Perundungan
Upaya Nissa Rengganis (penulis), Toni Handoko (fotografer), dan Wanggi Hoed (seniman pantomim) memutus mata rantai perundungan lewat buku foto BULLY.
Penulis Tofan Aditya7 Juni 2023
BandungBergerak.id – Bermasalah namun jarang disorot, Indonesia peringkat kelima sebagai negara dengan persentase murid korban perundungan (bully) terbanyak di dunia. Hasil riset yang dipublikasikan oleh Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018 ini menunjukkan bahwa 41,1% pelajar di Indonesia mengaku pernah mendapatkan perundungan, baik dalam bentuk fisik, verbal, pun sosial. Berbagai kampanye #StopBullying pun terus digaungkan.
Salah satu upaya yang dilakukan Raws Syndicate dalam mengedukasi masyarakat terkait isu ini adalah dengan menerbitkan “BULLY”. Buku foto yang terinspirasi The Frenchman : A Photographic Interview with Fernandel karya Phillipe Halsman ini digawangi oleh tiga orang kolaborator lintas bidang, yakni Nissa Rengganis (penulis), Toni Handoko (fotografer), dan Wanggi Hoed (seniman pantomim). Sekitar 25 orang hadir dalam acara “Launching dan Pameran Foto Bully” di Pasar Antik Cikapundung Lt. 3 pada Sabtu (3/6/2023) sore.
“Kasus bully ini banyak, marak, tapi kenapa sepi dalam perbincangan?” Tanya Nissa. “Tidak banyak pengkarya, baik itu fotografer, seni rupa, bahkan penulis sendiri yang membahas isu bully.”
Di sudut pasar, Nissa mengatakan bahwa perundungan memang laksana lingkaran tak berujung, dalam artian setiap korban berpotensi membalas dendam dan berubah menjadi pelaku. Dalam prolog buku ini, dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon ini mengajak kita untuk mempertanyakan, “apakah saya sudah berhenti menjadi pembully?” Pertanyaan yang terkesan sepele namun mendesak dijawab untuk memutus mata rantai.
Baca Juga: Masyarakat Wajib Mengetahui Ciri-ciri Anak Korban Perundungan
Anak Keluarga Artis Rentan Jadi Korban Perundungan
Mengatasi Perundungan Siber dengan Pendekatan Statistika
Proses Kreatif Visualisasi Perundungan
Dalam buku ini, Nissa mengajukan 20 pertanyaan pendek terkait perundungan, mulai dari apa bullying, siapakah pelaku bullying, hingga perlukah para pem-bully dibela. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh bahasa tubuh Wanggi Hoed dan jepretan Toni Handoko yang dapat ditafsirkan berbeda-beda, tergantung pengalaman yang dimiliki oleh pembacanya.
“Jangan sampai, ketika buku ini muncul sebagai pertanggungjawaban, ke depannya saya melakukan hal itu (perundungan), menyentuh persoalan tersebut,” terang Wanggi. “Ini menjadi cerminan saya, pembelajaran bagi saya.”
Membicarakan proses kreatif, semua mengeluhkan proses yang tidak mudah, apalagi mengingat konsep tidak biasa dari buku ini. Nissa mesti membuat pertanyaan-pertanyaan pendek yang mewakili keseluruhan masalah perundungan. Wanggi mesti mencari alternatif jawaban yang tidak menggurui pembaca. Toni mesti mengonsep gambar agar mampu menggugah publik.
Ketika berbicara mengenai harapan, meski perundungan sudah mengakar di keseharian masyarakat Indonesia, Toni tak patah arang. Baginya, buku ini setidaknya dapat menjadi jembatan untuk menyadarkan masyarakat bahwa kita semua pernah menjadi korban sekaligus pelaku perundungan. Selain Toni, Wanggi juga mengatakan hal senada. Baginya, perundungan jangan sampai hanya berhenti di buku, tapi juga di realitasnya.
“Semoga bisa menjadi edukasi dan semoga mereka (pemerintah) bisa membuat regulasi, kebijakan-kebijakan,” jelas Wanggi, “menjadi kesadaran bersama untuk memutus mata rantai tersebut.”
Selain diskusi seputar karya kreatif, acara pada sore hari ini juga diisi oleh penampilan pantomim oleh Suharmoko dan Andini Mardiani juga pertunjukan musik oleh Ukefox. Acara ini hanyalah awal mula dari kampanye yang Raws Syndicate lakukan. Ke depannya, lewat jejaring yang dimiliki, BULLY akan beredar ke seluruh Indonesia, bertemu dengan publik yang lebih luas.
Sebagai persoalan serius, nyatanya masih menjadi masalah tidak berkesudahan di Indonesia, terutarama Jawa Barat. Dalam jurnal yang ditulis oleh Ihsana Sabriani Borualogo dan Erlang Gumilang dalam Kasus Perundungan Anak di Jawa Barat: Temuan Awal Children’s Worlds Survey di Indonesia (2019), dari total 22.616 anak-anak berusia 8, 10, dan 12 tahun di 27 kota/kabupaten di Jawa Barat, angka kejadian perundungan tergolong tinggi dan memprihatinkan.
Dari temuan data yang ada, tidak ada satu pun kota yang lepas terlepas dari kasus perundungan. Setiap anak mengalami perundungan sebanyak lebih dari tiga kali, mengartikan bahwa perundungan kerap berulang menimpa korban. Kasus-kasus perundungan umumnya terjadi di rumah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, dan di sekolah, yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan untuk belajar.
“Bahkan beberapa kasus perundungan yang menyakitkan tersebut mungkin akan menjadi termanifestasikan ke dalam pikiran negatif yang akan mengganggu kehidupan anak di kemudian hari dan terutama kesejahteraan mereka di lingkungannya,” tulis peneliti dari Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung ini.
Di rumah, anak-anak kerap mendapat perundungan fisik yang jauh banyak dibanding di sekolah. Kekerasan yang umum terjadi adalah dipukul oleh saudara kandung. Perundungan fisik yang dilakukan oleh saudara kandung, menurut Eriksen dan Jensen (A push or a punch: Distinguishing the severity of sibling violence, 2009), salah satu penyebabnya adalah aksesibilitas dan kebebasan yang tidak terbatas antara saudara.
Terkait perundungan di sekolah, anak-anak melaporkan bahwa mereka sering dipanggil dengan nama yang buruk oleh anak-anak yang lain. Kejadian yang sering dianggap lumrah ini nyatanya tidak selalu dipahami oleh guru di sekolah. Guru sering kali menilai bahwa memanggil anak lain dengan nama yang buruk dan mengejek, seolah sebagai suatu bentuk candaan.
“Melalui paparan ini, diharapkan akan semakin tumbuh kesadaran pada orang tua dan guru mengenai seriusnya permasalahan perundungan ini,” harap Ihsana dan Erlang.
Upaya demi upaya harus terus dilakukan demi memutus mata rantai ini. Intervensi atau kebijakan makro harus dilakukan oleh berbagai pihak. Selain itu, anak mesti diberikan ruang untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan di sekolah. Langkah seperti mendengarkan dan menanggapi keluhan anak secara tepat dapat menjadi langkah preventif untuk mengatasi masalah ini.