• Cerita
  • Merayakan Bulan Bung Karno, Mengaktivasi Ruang di Bandung

Merayakan Bulan Bung Karno, Mengaktivasi Ruang di Bandung

Komunitas literasi dan seniman Bandung menjadikan perayaan Bulan Bung Karno momentum mengaktivasi ruang. Memutar film, berpantomim,berpameran, dan menari.

Sebuah penampilan pantomim oleh Onesix Sauyunan di depan Toko Buku Bandung, Selasa (6/6/2023) malam. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya11 Juni 2023


BandungBergerak.id - Selasa (6/6/2023) pukul 19.07 WIB, terlambat 37 menit dari waktu yang terpampang di pamflet, layar telah terpasang di depan Toko Buku Bandung, Jalan Garut. Orang-orang masih bersiap. Maklum, sore menjelang malam itu hujan deras mengguyur kota.

Di kursi-kursi kayu panjang yang tersedia, beberapa kawan duduk. Akmal Firmansyah (jurnalis), Indra Prayana (pegiat buku dan kolektor surat kabar sekaligus pengelola Jaringan Buku Alternatif), Wahyu Dian (pengurus Raws Syndicate), Zulfa Nasrulloh (penulis dan pegiat teater sekaligus pendiri Majalaya.id), Wanggi Hoed (seniman pantomim), dan Deni Rachman (pemilik Toko Buku Bandung) saling berbincang. Sesekali mata mereka melirik ke arah layar, menanti dimulainya acara bertajuk "Jalan Hidup".

"Jalan Hidup teh maksudnya buku atau literasi itu menjadi salah satu jalan hidup untuk maju, untuk berkembang, untuk bisa mengobrol, berdialog," ujar Deni Rachman, “si tuan rumah”.

Frasa “Jalan Hidup” diambil dari penggalan pidato pidato Soekarno ketika merumuskan Pancasila. Diinisiasi oleh Toko Buku Bandung dan Pusat Studi Mime Indonesia, dengan menggandeng para pegiat literasi dan seniman, kegiatan malam itu merupakan respons atas perayaan hari lahir Soekarno ke-112 tahun sekaligus penghormatan bagi Bapak Bangsa.

“Jalan Hidup” adalah juga sebuah usaha mengaktivitasi ruang di Bandung. Ia menjadi pengingat rekam jejak perjalanan dan perjuangan literasi.

"Jadi kumaha perbukuan teh, rek lanjut moal?” ucap Deni. “Kalau misalnya mau lanjut, ini (buku) harus dijadiin jalan hidup."

Menjelang pukul 19.15 WIB, Wanggi Hoed berdiri dan menyapa penonton. Diiringi musik instrumental "Ibu Pertiwi", sang seniman menyampaikan pengantar acara. Lalu, selama 30 menit berturut-turut tersaji penayangan visualizer oleh LumensPlay, penampilan pantomim oleh Onesix Sauyunan, dan pembacaan pidato Soekarno oleh Zulfa Nasrulloh.

Zulfa Nasrulloh membacakan pidato Soekarno berjudul Ilmu dan Anak Zaman di depan Toko Buku Bandung, Selasa (6/6/2023) malam. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Zulfa Nasrulloh membacakan pidato Soekarno berjudul Ilmu dan Anak Zaman di depan Toko Buku Bandung, Selasa (6/6/2023) malam. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Tiada Buku di Perpustakaan Alun-alun Bandung
HAUS BUKU #3: Gelaran Perayaan Buku, Bahasa, dan Literasi di Perpustakaan Ajip Rosidi

Antara Soekarno, Buku, dan Bandung

Soekarno, selain dikenal sebagai orator ulung, juga merupakan seorang literat, seorang pembaca dan penulis. Sebagai politisi, Soekarno memiliki ucap, lampah, dan tindakan yang sesuai antara mulut, tangan, dan pikiran. Perilaku yang amat jarang ditemukan di dalam diri para politisi hari ini.

Soekarno hanya satu dari sekian banyak di era itu. Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Tan Malaka, misalnya, memiliki karakter serupa. Mereka adalah contoh baik untuk orang-orang di zamannya, pun zaman kini.

"Bacalah buku-buku yang boleh dibaca, yang tidak boleh dibaca. Kenapa? Supaya saudara-saudara semua tidak men-judge buku itu sebelum membacanya," teriak Zulfa membacakan pidato berjudul “Ilmu dan Anak Zaman” yang termuat dalam buku Bung Karno dan Pemuda (1987).

Hari ini buku-buku tidak lagi menjadi pilihan jalan hidup sebagian orang. Bahkan, buku seringkali dicap berbahaya, dianggap survesif. Berita-berita menampilkan razia buku kiri yang diduga mengancam ideologi bangsa. Padahal, kalau melihat sejarah, seperti apa yang pernah Soekarno katakan ketika menyampaikan kuliah umum di depan para mahasiswa Jakarta di Istana Negara, 7 Januari 1960, buku-buku sosialis dan bahkan komunis pun pantas dibaca.

Permasalahan buku bukan hanya pada pembacanya, tapi juga penjualnya. Tidak sedikit toko buku tutup. Yang paling baru Toko Buku Gunung Agung, salah satu penerbit kesayangan Bung Karno pada zamannya.

"Rumahku tidak sama lagi, rumahku tidak lama lagi akan tidak ada di dunia," suara Zulfa kembali lantang menirukan Soekarno yang sedang bercerita soal Danton, tokoh Revolusi Prancis yang sedang  ditanyai oleh Mahkamah Revolusioner, "tetapi namaku akan tertulis di dalam kitab-kitab sejarah!"

Dua penari dari komunitas Mataholang membawakan tarian Karna di jalanan Kota Bandung sebagai perayaan bulan kelahiran Bung Karno, Selasa (6/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dua penari dari komunitas Mataholang membawakan tarian Karna di jalanan Kota Bandung sebagai perayaan bulan kelahiran Bung Karno, Selasa (6/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Menari, Memamerkan Buku dan Foto

Di hari yang sama, dimulai pukul delapan pagi, perayaan lain Bulan Bung Karno digelar secara kolaboratif oleh kawan-kawan seniman yang tergabung dalam Mataholang dan Sanggar Tari Giri Mayang. Mementaskan karya “Menari 6 Jam Nonstop", G. G. Dj Haryono dan M. Rayhan menari tanpa alas kaki dari Alun-Alun Bandung (Jalan Dalem Kaum), Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, hingga ke Jalan Perintis Kemerdekaan. Penampilan berhenti di Gedung Indonesia Menggugat.

Salah satu penampil menggenakan peci, kaus putih, dan celana katun hitam, terus menari sambil memegang bingkai foto Soekarno muda. Di belakangnya, penampil yang lain, dengan pakaian serba putih, peci, dan topeng, mengikuti sambil memegang bendera merah putih.

Di dalam Gedung Indonesia Menggugat, selain tarian, tersaji juga pameran buku dan foto Bung Karno. Beberapa komunitas terlibat dalam aksi ini dengan menampilkan pembacaan puisi, pertunjukan monolog, penampilan tari, dan pentas teater, salah satu yang terlibat adalah Sanggar Tari Giri Mayang. Pameran buku dan foto Bung Karno di GIM bisa dinikmati warga hingga ujung bulan Juni 2023 ini.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//