• Opini
  • Sekolah Favorit yang Masih Mengakar

Sekolah Favorit yang Masih Mengakar

Julukan sekolah favorit serta non favorit masih saja melekat pada sekolah-sekolah tertentu. PPDB berbasis zonasi tidak sepenuhnya menuntaskan persoalan tersebut.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Orangtua siswa dari Forum Masyarakat Peduli Pendidikan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (29/7/2022). Para orang tua mengaku anak-anaknya belum bisa meneruskan sekolah di jenjang SMP dan SMA karena tidak bisa masuk PPDB. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

11 Juli 2023


BandungBergerak.idPikiran Rakyat Selasa (11/7/2023) mengangkat berita mengenai Sekolah “Warisan” dan Label Favorit yang mengungkit fenomena masyarakat yang menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit, dan menjadi sekolah tempat tujuan secara turun-temurun. Pada berita tersebut diungkap bagaimana umumnya masyarakat menghendaki anaknya untuk bersekolah di tempat yang sama dengan keluarga dan sanak saudaranya bersekolah.

Menarik terminologi sekolah “warisan” yang dipilih oleh tim redaksi media besar di Jawa Barat itu. Merujuk pada KBBI daring, warisan diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan. Artinya, ada barang atau non benda yang diturunkan secara turun-temurun. Maka bisa dikatakan sekolah warisan berarti sekolah tujuan yang dipilih oleh masyarakat untuk menyekolahkan anaknya yang kebetulan tidak jarang merupakan almamater orang tuanya.

Sekolah warisan tidak merujuk pada sekolah milik keluarga seseorang yang diwariskan pengelolaannya kepada turunannya. Melainkan mencoba menangkap fenomena di masyarakat yang sudah tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan kebijakan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi yang diterapkan di Indonesia.

Sebenarnya, jika sekolah warisan yang dimaksud adalah sekolah swasta tidak akan terlalu menjadi persoalan. Sebab tanggung jawabnya ada pada orang tua dan sekolah itu sendiri. Masalahnya, sekolah warisan itu justru merujuk pada sekolah negeri yang faktanya merupakan milik pemerintah. Terutama SMP maupun SMA Negeri, yang memiliki jumlah rombongan belajar yang tersedia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pendaftar (peminat).

Baca Juga: PPDB 2023, Simak Baik-baik Mekanisme Pendaftaran SMA dan SMK di Jawa Barat
Alur PPDB 2023 Tingkat SMA, SMK, dan SLB di Jawa Barat
Kekurangan Jumlah SMA di Bandung Bisa Memicu Ketidakadilan PPDB Jalur Zonasi

Sekolah Favorit

Paradigma mengenai sekolah warisan ini masih mengakar kuat di masyarakat oleh sebab banyak hal. Satu di antaranya adalah kepercayaan sekaligus ekspektasi kepada suatu lembaga pendidikan. Percaya karena orang tuanya atau bahkan kakek neneknya pernah bersekolah dan berhasil di sekolah tersebut sehingga menimbulkan ekspektasi agar anak atau keturunannya memperoleh kualitas pendidikan minimal setara dengan mereka.

Pada zamannya, sistem PPDB yang berlaku adalah berbasis nilai rapor atau prestasi akademik. Siapa anak yang mempunyai nilai sesuai standar yang diberlakukan sekolah ialah yang berhak diterima. Selain menggunakan nilai akademik, calon siswa juga dapat mengakses pendaftaran melalui jalur prestasi non akademik berupa olahraga atau kesenian. Sistem ini yang kemudian memicu terbangunnya julukan sekolah favorit dan non favorit karena saking banyaknya peminat ke sekolah tertentu.

Zaman berubah waktu berganti. Julukan sekolah favorit non favorit masih saja melekat pada sekolah-sekolah tertentu. PPDB berbasis zonasi tidak sepenuhnya menuntaskan persoalan tersebut. Masih sangat banyak masyarakat yang menghendaki anak keturunannya bersekolah di sekolah berlabel favorit. Karena jaminan kualitas pembelajarankah atau oleh sebab dukungan sarana prasarana yang sangat menunjang?

Jika pertanyaan itu disampaikan kepada panitia PPDB, istilah favorit non favorit tentu akan langsung dibantah. Meskipun fenomenanya masih melekat dalam pikiran dan perbuatan masyarakat. Pemerintah, pusat maupun daerah, telah menggelontorkan anggaran untuk banyak program agar paradigma itu terkikis seiring waktu. Dari mulai peningkatan sumber daya manusia guru dan tenaga kependidikan, hingga pembenahan sarana prasarana.

Pemerataan kualitas pendidikan akan menjadi jawaban dari persoalan mengakarnya paradigma itu. Namun jangankan memeratakan kualitas pendidikan, pemerataan kuantitas sekolah negeri pun masih menghantui pemerintah. Kalau mau lebih dalam menelisik, kita akan dapat menemui blank spot sekolah negeri sekalipun itu di wilayah perkotaan. Apalagi jika bicara wilayah pinggiran atau bahkan pedalaman. Akan ada lebih banyak lagi kekurangan sekolah.

Pemerataan Kualitas Sekolah

Guru yang merupakan tonggak utama kualitas pendidikan cukup menanggung beban besar dalam upaya pemerataan pendidikan. Mereka yang mau dan mampu mengembangkan diri akan dengan mudah mengakses berbagai pelatihan, kursus, atau pendidikan kilat yang diselenggarakan multipihak. Sebaliknya, mereka yang menjalankan tugas sekadarnya akan selalu beralasan menemui kendala demi kendala untuk meng-upgrade diri.

Melihat hal tersebut, tidak ada salahnya wacana mutasi guru secara serempak atau besar-besaran digulirkan kembali demi cita-cita memeratakan kualitas pendidikan. Jangan sampai guru berdedikasi, guru yang inovatif dalam pembelajaran, maupun guru yang mendidik dengan hati hanya menumpuk di sekolah-sekolah tertentu. Ada baiknya mereka disebar agar virus kebaikannya juga dapat menyebar. Ini memang tidak mudah, tapi layak untuk dicoba.

Kalaupun enggan untuk mencoba dalam skala besar karena risiko goncangannya pun besar, mungkin bisa secara bertahap saja. Misalkan memindahkan sejumlah guru potensial ke sekolah yang bukan favorit tujuan pendaftar PPDB. Di situ mereka diberi tugas untuk memastikan kualitas pendidikannya meningkat dalam jangka waktu misalkan 5 tahun. Buat percontohan untuk beberapa sekolah agar ada pembanding.

Sudah semestinya sekolah negeri mencontoh sekolah swasta dari sisi gairah untuk saling berebut minat orang tua calon siswa. Mereka senantiasa berupaya menjaga kualitas pendidikan sebagai jaminan agar selalu ada pendaftar. Bukan hanya manis di luar tapi pahit di dalam. Sekolah swasta berkualitas menunjukkan komitmennya untuk memastikan setiap siswa memperoleh pembelajaran yang mengantarkan mereka ke tangga masa depan. 

Namun demikian, persoalan pengikisan paradigma sekolah warisan berlabel favorit tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah. Kita semua, khususnya orang tua, harus ambil bagian dalam upaya tersebut. Bagi yang berkemampuan, hendaknya jangan memaksakan menyekolahkan anak ke sekolah negeri. Alangkah lebih bijak dan tentunya akan berpahala jika kursi formasinya diperuntukkan bagi mereka yang jauh lebih membutuhkan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//