• Berita
  • Kekurangan Jumlah SMA di Bandung Bisa Memicu Ketidakadilan PPDB Jalur Zonasi

Kekurangan Jumlah SMA di Bandung Bisa Memicu Ketidakadilan PPDB Jalur Zonasi

Jalur zonasi PPDB kurang didukung dengan jumlah unit sekolah. Jumlah SMA di 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung tidak merata.

Orangtua siswa dari Forum Masyarakat Peduli Pendidikan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (29/7/2022). Para orang tua mengaku anak-anaknya belum bisa meneruskan sekolah di jenjang SMP dan SMA karena tidak bisa masuk PPDB. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana23 Mei 2023


BandungBergerak.idPersiapan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang SMA sudah dimulai. Orang tua dan sekolah akan disibukkan dengan prosesi penerimaan murid angkatan baru. Tensi kesibukan ini semakin meningkat karena jumlah SMA yang terbatas. Di kota besar seperti Bandung, misalnya, sampai saat ini memiliki 150 unit SMA negeri dan swasta, mengacu pada data BPS Kota Bandung.

Di sisi lain, jumlah murid SMA di Kota Bandung terus tumbuh. Mengacu pada data jumlah murid SMA BPS Kota Bandung yang diakses Selasa (23/5/2023), dalam kurun tiga tahun terakhir pertumbuhan jumlah murid negeri maupun swasta jauh melampaui pertumbuhan jumlah sekolah.

Tahun 2019, jumlah murid SMA negeri dan swasta sebanyak 59.541 murid, tahun 2020 turun menjadi 58.865 murid, namun tahun 2021 naik menjadi 61.127 murid. Persoalan muncul karena tidak meratanya jumlah SMA di masing-masing wilayah Kota Bandung yang terdiri dari 30 kecamatan. Pemerataan jumlah SMA menjadi signifikan pada PPDB yang secara nasional memberlakukan sistem zonasi, yakni menentukan penerimaan murid berdasarkan jarak terdekat ke sekolah.

Kota Bandung memiliki 150 unit SMA, jika dibagi 30 kecamatan jadinya masing-masing kecamatan minimal memiliki 5 unit SMA. Namun kembali mengacu data BPS Kota Bandung, rupanya dari 30 kecamatan itu ada beberapa kecamatan yang hanya memiliki satu unit SMA saja atau bahkan ada kecamatan yang tidak memiliki SMA sama sekali, yaitu Kecamatan Cinambo.

Padahal jika PPDB mau konsisten menerapkan sistem zonasi, idealnya masing-masing kecamatan di Kota Bandung memiliki jumlah SMA yang setara. Kecamatan yang memiliki jumlah SMA satu unit tercatat ada empat kecamatan, yakni Babakan Ciparay, Bandung Kidul, Gedebage, dan Batununggal.

Pada 2019 saja, jumlah penduduk Kota Bandung mencapai 2.480.464 jiwa atau 773.368 keluarga. Populasi penduduk terbesar ada di Kecamatan Babakan Ciparay yakni 41 870 jiwa. Namun kecamatan ini hanya memiliki satu unit SMA.

Sementara di kecamatan lain tercatat banyak memiliki SMA, empat kecamatan bahkan memiliki 10 atau lebih SMA, yakni Kecamatan Andir 15 SMA, Coblong 14 SMA, Lengkong 13 SMA, dan Cicendo 10 SMA. Angka-angka ini jelas sekali timpang dalam pemberlakuan PPDB jalur zonasi, ada banyak murid di satu kecamatan yang memiliki banyak pilihan sekolah, di saat yang sama jumlah murid yang tidak memiliki pilihan sekolah juga banyak.

Secara historis, SMA-SMA di Kota Bandung maupun sekolah-sekolah lainnya di Indonesia tidak disiapkan untuk sistem zonasi yang baru diterapkan pertama kali pada tahun 2017 berdasarkan Permendikbud 17/2017 tentang PPDB SD/SMP/SMA sederajat.

Sebagai contoh, SMA Negeri 1 Bandung sudah lebih dulu berdiri jauh sebelum diberlakukannya sistem zonasi. SMA di kawasan Dago ini didirikan pada tahun 1950. Contoh lain, SMA Negeri 26 Bandung di Jalan Sukaluyu juga didirikan jauh sebelum berlakunya PPDB sistem zonasi. Sekolah ini awal berdirinya bernama SMU Negeri Cibiru, yang merupakan kelas jauh dari SMU Negeri 24 Bandung. Mulai aktif menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar pada awal tahun ajaran 1998/1999.

Baca Juga: PPDB 2023, Simak Baik-baik Mekanisme Pendaftaran SMA dan SMK di Jawa Barat
Ombudsman Jawa Barat Membuka Layanan Pengaduan PPDB
Alur PPDB 2023 Tingkat SMA, SMK, dan SLB di Jawa Barat

Pemerataan Pendidikan Setengah Hati

PPDB jalur zonasi awalnya diberlakukan untuk mengikis favoritisme sekolah dan secara tidak langsung ingin menghapus kecemburuan sosial terhadap sekolah-sekolah unggulan atau favorit. Sudah menjadi rahasia umum ada SMA negeri tertentu di Kota Bandung menjadi SMA favorit karena memiliki fasilitas dan guru mumpuni, sehingga murid-muridnya pun harus yang berprestasi. Fenomena ini diharapkan tidak ada lagi dengan diberlakukannya sistem zonasi.

“Bagaimana mungkin sekolah dianggap unggul, hanya karena di sekolah tersebut pemerintah menempatkan kepala sekolah dan guru-guru yang unggul, menerima siswa yang unggul saja, lalu difasilitasi gedung, sarana dan prasarana yang unggul pula,” tulis Ade Wahidi dalam artikel “Zonasi Setengah Hati” yang terbit di laman Ombudsman RI, diakses Selasa (23/5/2023).

Adel Wahidi menulis artikelnya pada 30 Juni 2022, saat itu ia sebagai Asisten Ombudsman Sumbar. Menurutnya, kebijakan sistem zonasi mencontoh kesuksesan sistem PPDB negara-negara maju di Eropa atau Skandinavia. Kebijakan ini mengubah secara mendasar kategori/persyaratan penerimaan calon peserta didik di sekolah negeri dari nilai UN ke jarak rumah dan sekolah.

Melalui kebijakan zonasi diharapkan tidak terjadi kasta dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tidak boleh lagi ada favoritisme dalam dunia pendidikan. Tidak boleh lagi ada sekolah yang diaggap unggul dan non-unggul. Semua sekolah mestilah unggulan.

Ade menilai, awalnya PPDB sistem zonasi memberikan harapan pada perubahan sistem pendidikan yang lebih baik. Sekolah di pinggir kota mulai bergeliat, secara ekonomi dan akademik input siswa menjadi lebih beragam. Jumlah siswa juga meningkat dan dana/anggaran juga bertambah.

Ade juga melihat mulai ada pandangan bahwa untuk sukses bisa sekolah di dekat rumah saja. Untuk diterima di perguruan tinggi ternama, tidak lagi dimonopoli oleh sekolah tertentu saja. Sekolah dan siswa berprestasi justru akan muncul dari pinggir kota, di kecamatan-kecamatan.

Sayangnya, Ade melanjutkan, pemerintah tidak konsisten. Setengah hati dengan sistem zonasi. Dalam catatan Ade, kuota sistem zonasi setiap tahunnya dikurangi. Periode tahun 2017, kuota zonasi telah dipatok diangka 90 persen. Namun, kemudian kuota zonasi terus dikurangi. Tahun 2018 kuota zonasi menjadi 80 persen. Tahun 2019 hingga sekarang, kuota zonasi hanya tinggal 50 persen saja.

Sementara, kuota jalur prestasi terus ditingkatkan dari 5 persen tahun 2017, menjadi 15 persen tahun 2018. Tahun 2019 hingga sekarang kuota prestasi dipatok maksimal 30 persen, dengan dua kategori, akademik dan nonakademik.

“Pengurangan kuota zonasi dan meningkatkan kuota prestasi, hemat penulis menyimpangi tujuan awal sistem zonasi. Bukan tidak mungkin, kuota zonasi akan terus dikurangi dan prestasi terus ditambah. Kita akan kembali pada ketimpangan akses dan kualitas pendidikan yang terlanjur akut di masa lalu,” tulis Adel Wahidi. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//