• Kolom
  • SUBALTERN #21: Cashless Society, Kondisi Masyarakat Terkontrol

SUBALTERN #21: Cashless Society, Kondisi Masyarakat Terkontrol

Paradigma Gilles Deleuze memperlihatkan wacana kemudahan, keamanan, dan kebebasan dalam pembayaran digital sesungguhnya merupakan kontrol terhadap masyarakat.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Warga memanfaatkan aplikasi lokapasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di Bandung, Senin (25/7/2022). Selama pandemi Covid-19, aktivitas belanja daring meroket. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

4 September 2023


BandungBergerak.id – Perkembangan dunia perbankan yang sudah bersinggungan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat telah menghasilkan sebuah layanan baru yang mulai dikenalkan pada sekitar tahun 1950 oleh Ralph Schneider dan Frank McNamara selaku pendiri dari Diners Club. Layanan ini adalah yang pertama kali memberikan model kartu untuk cicilan, tetapi setiap nasabah wajib membayar tagihannya secara penuh setiap bulan.

Belakangan, American Express memberi sebuah penawaran bagi nasabah untuk membawa saldo yang dimilikinya di dalam sebuah kartu. Inovasi inilah yang menjadi cikal bakal dari kartu kredit yang sudah menjadi hal lumrah saat ini.

Pada awalnya, kartu kredit bekerja dengan cara memberi stempel pada kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran. Tetapi pada tahun 1980an, mulai banyak kartu kredit yang memiliki pita magnetik yang akan terbaca oleh perangkat komputer tertentu.

Saat ini, pita magnetik sudah dianggap ketinggalan jaman karena informasi yang tersimpan di dalamnya tidak terproteksi (encrypted). Layaknya stempel, kehadiran kartu kredit dengan chip computer berukuran mikro di dalamnya, membuat pita magnetik dianggap usang. Chip computer ini disebut EMV Smart Chips. Kelebihannya, chip ini dapat diproteksi (encrypted), autentikasi dua arah antara penyedia layanan kredit dengan jaringan proses pembayaran. 

Teknologi yang disebutkan di atas diadopsi di Eropa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Amerika sendiri hanya butuh lima tahun untuk beralih dari pita magnetik ke kartu kredit dengan micro-chip. Keunggulan dari komunikasi terproteksi ini adalah, sistem ini tidak mudah untuk diretas dan dipalsukan oleh kriminal dibandingkan pita magnetik.

Baca Juga: SUBALTERN #18: Mengapa Ada Orang yang Malas Bekerja?
SUBALTERN #19: Negara dan Secuplik tentang Anarkisme
SUBALTERN #20: Demokrasi dan Dissensus

Pembayaran Nirkabel

Beberapa ahli berpendapat bahwa era dari kartu kredit dengan micro-chip tidak akan berlangsung lama. Kemajuan internet memungkinkan sistem pembayaran baru yaitu pembayaran nirkabel dan online yang terintegrasi dengan smartphone, jam tangan, dan teknologi-teknologi lainnya. Suatu saat, mungkin kita akan melihat sistem pembayaran menggunakan sidik jari atau scan bola mata, tanpa harus ada benda yang menyimpan informasi akun mereka.

Pendapat para ahli ini benar-benar terjadi. Tidak perlu melihat jauh di Eropa atau Amerika, masyarakat di kota-kota besar di Indonesia sangat akrab dengan sistem pembayaran online menggunakan aplikasi yang ada pada smartphone masing-masing.

Sebut saja GoPay, Ovo, Dana, Electronic & Internet Banking bahkan layanan kredit online seperti Moladin. Layanan-layanan ini memberi wacana berupa kemudahan, keamanan, dan kebebasan. Kemudahan yang ditawarkan adalah, nasabah tidak perlu membawa uang dalam jumlah besar setiap kali hendak bepergian. Selain itu, nasabah juga tidak perlu khawatir bila secara tidak sengaja uang dalam bentuk tunai tertinggal atau hilang. Mereka tetap bisa menjalankan roda produksi-konsumsi, mereka bisa tetap berbelanja dengan cara mengakses uang virtual lewat smartphone mereka.

Wacana keamanan yang ditawarkan adalah, nasabah tidak perlu ketakutan akan tindak kriminal yang mengancam bila membawa uang tunai. Pencurian, perampokan, penodongan dengan senjata tajam atau senjata api, dan penipuan adalah contoh-contoh tindak kriminal tersebut. Selain itu, nasabah juga merasa aman karena uang virtual mereka disimpan di pihak yang mereka percayai sebagai profesional.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Anthony Giddens mengenai trust and risk yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Nasabah mempercayakan uang mereka kepada profesional dan menyadari adanya risiko-risiko seperti system error, koneksi yang lambat, atau bahkan bangkrutnya perusahaan tersebut.

Wacana kebebasan yang ditawarkan adalah masyarakat bisa dengan bebas mengakses uang virtual mereka kapan dan di mana pun. Uang virtual memiliki kemampuan untuk mengatasi ruang dan waktu.

Transaksi antar kota atau bahkan antar negara semakin mudah dilakukan. Uang yang dibayarkan oleh pembeli akan diterima oleh penjual tanpa perlu tatap muka yang mengandaikan ruang dan waktu yang sama. Perbedaan jam antara Amerika dan Indonesia tidak menjadi masalah karena uang virtual bekerja dalam jaringan-jaringan digital yang selalu bergerak.

Masyarakat Tanpa Uang Tunai

Perpaduan antara teknologi dan wacana-wacana di atas menghadirkan satu bentuk masyarakat baru yang dikenal sebagai cashless society atau masyarakat tanpa uang tunai. Masyarakat tanpa uang tunai ini dapat dilihat melalui paradigma Gilles Deleuze tentang masyarakat terkontrol.

Deleuze yang mengungkapkan bahwa masyarakat terkontrol hadir karena reformasi ruang-ruang tertutup yang dilakukan oleh administrasi yang menguasai ruang-ruang tersebut. Dalam arti lain, ada mekanisme kontrol yang bergerak dibalik wacana-wacana yang disampaikan oleh pihak-pihak tertentu.

Mekanisme ini persis seperti yang terjadi pada masyarakat tanpa uang tunai. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pihak perbankan dan pemberi layanan kredit terus mereformasi sistem pembayaran yang mereka miliki. Pembayaran digital yang pada awalnya digunakan untuk memberi kemudahan, keamanan, dan kebebasan pun mulai bergerak menjadi sistem kontrol yang secara sukarela dijalani oleh masyarakat.

Dengan mengandaikan bahwa sistem pembayaran digital sebagai ruang-ruang tertutup yang terdapat pada smartphone masing-masing. Setiap orang yang menggunakan layanan ini harus memulai (mempelajari) cara kerjanya dari awal, setelah mereka mengetahui cara untuk menggunakannya, pada saat itu pula mereka masuk ke sistem bahasa yang ditentukan baik oleh penyedia layanan maupun oleh bahasa biner di dalam program itu sendiri.

Sebut saja bahasa-bahasa seperti top-up yang memiliki peraturan berbeda di setiap penyedia layanan. Ambil contoh pembayaran OVO, dalam layanan ini terdapat bahasa-bahasa yang wajib dipenuhi oleh pengguna layanan. Misalnya, saldo maksimum/limit dengan nominal tertentu, besaran top-up yang dibatasi dengan batas minimal top-up. Bahasa-bahasa seperti inilah yang tanpa disadari sebetulnya mengontrol masyarakat dalam melakukan pembayaran. Begitu pula saat melakukan pembayaran, pengguna hanya bisa melakukan pembayaran dengan aplikasi ini jika dan hanya jika penjual bekerja sama dengan layanan pembayaran digital tertentu. Jika tidak, maka pembayaran tidak dapat dilakukan.

Masyarakat tanpa uang tunai juga merupakan masyarakat yang tidak pernah menyelesaikan sesuatu. Manusia pengguna layanan dan penyedia layanan hidup berdampingan tanpa sebuah akhir yang jelas, meskipun suatu saat nanti mungkin akan ada reformasi dalam bentuk pembayaran, tetapi tampaknya peran uang fisik semakin terdeformasi dan mungkin tidak lagi dekat dengan masyarakat, terutama yang hidup di kota-kota besar.

Masyarakat Terkontrol

Deleuze juga menyebutkan bahwa masyarakat terkontrol diregulasi lewat kata-kata sandi (password), hal ini terlihat jelas dalam masyarakat tanpa uang tunai yang memiliki sandi-sandi pribadi untuk setiap pembayaran. Bahkan untuk menggunakan aplikasi pun membutuhkan sandi-sandi tertentu. Sandi-sandi inilah yang sebetulnya menunjukkan satu kontrol yang mengerikan terhadap masyarakat. Sandi-sandi ini digunakan untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh setiap orang.

Celakanya, informasi-informasi yang menurut pengguna tersimpan dengan aman justru dimanfaatkan sebagai data oleh korporasi-korporasi. Dalam hal ini, manusia tidak lagi dilihat sebagai individu, melainkan, yang dalam istilah Deleuze disebut sebagai dividu. Artinya, manusia hanya dilihat sebagai sample, data, atau bahkan komoditas yang terus-menerus distimulus untuk menjadi bagian dari roda produksi-konsumsi, yaitu sebagai konsumen.

Ambil contoh, buka laman Facebook atau Instagram masing-masing, akan muncul iklan-iklan yang menampilkan produk-produk yang tampak menarik. Tapi perhatikan baik-baik, apakah produk-produk yang ditampilkan itu terasa relasional dengan keseharian, pekerjaan, atau hobi? Bila dalam satu minggu, seseorang terus melakukan pencarian tentang produk komputer di internet, maka akan muncul iklan-iklan yang berkaitan dengan produk yang pernah ia cari. Apabila dunia internet tidak dikontrol, mana mungkin sebuah program bisa membaca kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang dan menampilkan beberapa toko yang menjual kebiasaan tersebut?

Pada titik inilah masyarakat tanpa uang tunai hanya menjadi data-data, sample, dan komoditas bagi kapital-kapital yang memiliki akses terhadap informasi-informasi pribadi tersebut.

Deleuze juga memberi penekanan pada masyarakat terkontrol yang cenderung bekerja menggunakan komputer. Perangkat ini yang turut mengubah pola kebiasaan masyarakat dalam melakukan transaksi, sejak pembayaran menggunakan pita magnetik, hingga pembayaran digital seperti sekarang ini.

Bentuk kapitalisme yang awalnya menjadi raksasa produksi juga mulai bergeser menjadi raksasa produk. Layanan-layanan pembayaran digital tidak lagi bergerak seperti yang digambarkan dalam kapitalisme 1.0, mereka bergerak dengan membeli sebuah produk untuk menjualnya kembali. Sebut saja program yang mereka gunakan, hingga ide yang dipakai. Selain itu, pergerakan di bidang industri jasa menjadi lebih terbuka semenjak kehadiran komputer dan internet.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilihat bagaimana wacana kemudahan, keamanan, dan kebebasan sesungguhnya merupakan kontrol terhadap masyarakat, bahkan bisa dibilang sebagai upaya penyeragaman masyarakat. Upaya penyeragaman ini tidak hanya dilakukan oleh para pemilik modal, tetapi juga oleh pemerintah.

Cashless Society adalah wacana Bank Indonesia demi mengejar perkembangan teknologi yang tidak terbendung lagi. Maka tidak heran bila layanan-layanan seperti ini tumbuh subur di masyarakat. Dengan tersimpannya uang secara virtual, baik kapital maupun pemerintah dapat mengetahui jumlah saldo, kebiasaan belanja, produk-produk yang diminati, bahkan mungkin kondisi ekonomi individu tersebut.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//