SUBALTERN #18: Mengapa Ada Orang yang Malas Bekerja?
Kita pada dasarnya adalah korban dari sistem kerja yang memaksa kita. Sistem industrilah yang mendorong kita malas dan selalu membuat kita mengeluh saat bekerja.
Raja Cahaya Islam
Pegiat Kelas Isolasi
14 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Suatu ketika saya pernah bertanya pada diri sendiri, kenapa ada orang yang malas untuk bekerja? Apakah mereka bodoh dan tak tahu diri? Saya pernah mendengar, bahwa orang-orang umumnya punya pikiran seperti itu, mereka beranggapan bahwa orang yang malas bekerja adalah orang-orang yang tak tahu diri.
Orang malas itu tahu bahwa mereka butuh uang untuk bertahan hidup, tapi mereka memutuskan untuk tidak bekerja (sebagai sumber utama atau satu-satunya untuk mendapatkan uang). Orang-orang umumnya berpikir bahwa orang yang malas bekerja itu bodoh; karena mereka sadar bahwa tindakan mereka salah, tapi tetap saja dilakukan.
Mulanya saya juga setuju, tapi lama-lama saya mulai curiga bahwa kesetujuan saya atas pandangan umum itu bermasalah. Saya pikir masalah tentang orang yang malas bekerja itu tidak selesai dengan menyebut mereka sebagai bodoh. Karena, ada sebab yang sangat penting untuk dipahami oleh kita, agar kita bisa memahami fenomena orang yang malas untuk bekerja.
Baca Juga: SUBALTERN #15: Filsafat, Sirkel Tongkrongan, dan Anak-anak
SUBALTERN #16: Planned Obsolescence, Sisi Gelap Teknologi dan Ekonomi Berbasis Konsumsi
SUBALTERN #17: Marxisme dan Agama
Koersi dalam Bekerja
Tony Gibson, pada tulisannya berjudul Who Will Do The Dirty Work? (yang dihimpun dalam buku kumpulan tulisan Why Work? Arguments For The Leisure Society (2019)), menjelaskan bahwa bekerja adalah kegiatan pencurahan energi yang ditujukan untuk tindakan produktif. Tindakan produktif itu berarti laku mencipta atau mengubah sesuatu demi kepentingan keberlanjutan kehidupan kita sendiri. Hal inilah yang membedakan antara bekerja dengan bermain, karena bermain hanya mengeluarkan energi tapi tidak ditujukan untuk hasil produktif (menyumbang pada keberlangsungan hidup).
Kerja sendiri tentu tidak hanya dilakukan oleh manusia, karena binatang pun melakukannya. Kita bisa lihat bagaimana berang-berang membuat dam, tupai mengumpulkan kacang, dan bagaimana kelinci membuat lubang untuk rumah mereka. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh binatang itu tentu bisa dibilang produktif, sekaligus dilakukan demi tujuan pertahanan hidup mereka.
Namun apa yang menjadi “khas” dari kerja manusia adalah fenomena paksaan dalam bekerja. Gibson menjelaskan bahwa dalam level binatang, kita tak pernah melihat binatang yang bekerja atau melakukan tindakan produktif karena mereka dipaksa melakukannya. Tapi lain halnya dengan manusia, terkhusus di masyarakat industri. Di masyarakat industri, manusia terpaksa bahkan dipaksa untuk bekerja.
Keterpaksaan itu tentu bukan ada pada tindakan bekerjanya itu sendiri; karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, bekerja sendiri merupakan bagian esensial dari diri manusia, karena kerja membuat kita tetap hidup. Apa yang menjadi paksaan dalam bekerja adalah tentang apa yang kita kerjakan.
Gibson melanjutkan bahwa pada masyarakat industri, kita sering kali tidak memiliki pilihan banyak untuk melakukan pekerjaan yang kita sukai. Umumnya kita terpaksa melakukan pekerjaan tertentu, yang bisa jadi tak kita sukai sama sekali. Kita tak punya pilihan lain selain memaksa diri kita untuk melakukan pekerjaan yang kita benci. Bahkan kita dipaksa untuk menyukai apa yang kita lakukan. Persoalannya juga tidak sesederhana: “carilah pekerjaan yang sesuai keinginan kita”, tentu tidak, karena pilihan pekerjaan itu sendiri sering kali sangat terbatas; alias kita tak punya pilihan lain. Keterpaksaan inilah yang menjadi ciri khas dari fenomena kerja manusia.
Orang Malas dan Kerja
Terdapatnya fenomena koersi dalam bekerja itulah yang mestinya membuat kita paham tentang kenapa ada orang yang malas dalam bekerja. Kita mesti memposisikan bahwa persoalan tentang keberadaan orang yang malas bekerja itu sama sekali bukan masalah individual, tapi masalah struktural. Artinya orang yang malas bekerja itu bukan karena memang bawaan lahir mereka bodoh atau tidak tahu diri, tapi ada sebab lain yang mengondisikan mereka sehingga mereka seperti itu.
Kropotkin menjelaskan — sebagaimana dikutip oleh Camillo Berneri dalam tulisannya yang berjudul The Problem of Work — bahwa orang-orang yang malas itu adalah orang yang belum menemukan jalan yang tepat dalam mencurahkan energi mereka. Kropotkin percaya tidak ada orang yang pada dasarnya malas. Mereka hanya belum menemukan pekerjaan yang pas dengan kapasitas mereka.
Orang yang malas pada dasarnya memiliki kemampuan, dan Kroprotkin percaya bahwa mereka juga mau untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Namun, situasi dan kondisi yang dihadapi oleh mereka yang membuat mereka menjadi enggan untuk mengeluarkan energi. Mereka, orang-orang malas itu, adalah orang yang memutuskan untuk keluar dari rantai pekerjaan yang alih-alih membebaskan, malah mengerangkeng mereka dalam keterpaksaan.
Kropotkin kemudian melanjutkan:
Lastly, an immense number of “idlers” are idlers because they do not know well enough the trade by which they are compelled to earn their living. Seeing the imperfect thing they make with their own hands, striving vainly to do better, and perceiving that they never will succeed on account of the bad habits of work already acquired, they begin to hate their trade, and, not knowing any other, hate work in general. Thousands of workmen and artists who are failures suffer from this cause.
Semua Orang adalah Korban
Kita pada dasarnya adalah korban dari sistem kerja yang memaksa kita. Sistem industrilah yang mendorong kita malas dan selalu membuat kita mengeluh saat bekerja. Keluhan kita atau rasa terpaksa kita dalam bekerja itu bukanlah kesalahan kita. Bukan karena kita lemah, bukan karena kita tidak tahu diri. Tapi secara alamiah kita sadar, bahwa sistem yang ada di depan kitalah yang salah. Sistem industri itulah yang memaksa kita berhenti menjadi diri sendiri. Energi yang kita punya dipaksa untuk dikerahkan pada pekerjaan yang tidak kita sukai, bahkan kita benci. Bahkan ironisnya, tak hanya terpaksa atau dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang tak kita sukai, kita dipaksa untuk menyukai apa yang kita benci.
Begitu pun saat kita melihat orang malas, kita menghujat dan melabeli mereka sebagai orang bodoh dan tak tahu diri. Padahal mereka adalah korban dari sebuah sistem yang jahat dan keji. Sebuah sistem keji yang tak memberi ruang sama sekali untuk mereka untuk mengekspresikan diri, dan melakukan hal yang sesuai dengan keinginan mereka. Singkatnya, kita adalah korban dari sistem industri.
* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi