• Kolom
  • SUBALTERN #16: Planned Obsolescence, Sisi Gelap Teknologi dan Ekonomi Berbasis Konsumsi

SUBALTERN #16: Planned Obsolescence, Sisi Gelap Teknologi dan Ekonomi Berbasis Konsumsi

Planned obsolescence mengeksploitasi rasa percaya konsumen terhadap sebuah produk, menciptakan siklus konsumsi tanpa henti.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Para kurir makanan kian menjadi andalan warga dan juga pengelola restoran yang memilih hanya melayani pesan antar selama dua pekan PPKM Mikro.

31 Juli 2023


BandungBergerak.id – Kehidupan kita saat ini tidak bisa dilepaskan dari kegiatan konsumsi, apa pun bentuknya. Mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan pakaian, kendaraan bermotor, hingga material berbasis teknologi seperti smartphone dan komputer. Semua itu dimungkinkan karena sistem kapitalisme yang “palu gada” atau “apa lu mau, gue ada”.

Ketersediaan barang konsumsi yang sangat bervariasi tersebut seolah-olah memudahkan kehidupan kita saat ini. Namun, di balik itu semua, ada strategi yang merugikan konsumen, strategi tersebut dikenal dengan planned obsolescence.

Planned obsolescence mengacu pada strategi dalam merancang produk dengan periode atau umur terbatas. Produsen mencapai ini dengan memanfaatkan bahan-bahan yang memiliki kualitas kurang baik, membatasi perbaikan, atau membuat versi lama tidak kompatibel dengan teknologi baru.

Sebuah produk dirancang untuk memiliki keterbatasan pada titik tertentu atau menjadi tidak stabil, memaksa konsumen untuk mengganti barang yang sudah mereka miliki. Biasanya, strategi ini dilakukan terhadap produk-produk yang berkaitan dengan teknologi atau mode tertentu, membujuk konsumen untuk membuang produk terbaru mereka yang sebetulnya masih berfungsi demi mengikuti perkembangan.

Praktik ini juga melibatkan memperkenalkan versi lebih baru dengan peningkatan kecil, membuat tampak lebih tua model yang sudah ketinggalan zaman. Tujuan utama di balik rencana keusangan adalah untuk mendorong sering pembelian kembali, memaksa konsumen untuk terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak pernah berhenti, dan juga memastikan aliran konstan pendapatan untuk produsen.

Salah satu pandangan yang bisa digunakan untuk menganalisa planned obsolescence adalah McDonaldization yang menganalisa bagaimana kapitalisme modern berhasil mengubah konsumen sebagai pekerja.

Through the McDonaldization process the capitalist has created a new secondary workforce to be exploited in order to enhance profits. In fact, the exploitation of customers greatly exceeds that of workers. Workers must be paid at least a minimum wage that serves to reduce the owner’s profits. Customers are paid nothing and everything they can be cajoled into doing serves to increase profitability.”

Melalui buku “The McDonaldization Thesis Explorations and Explanations”, George Ritzer mengungkapkan bahwa kapitalisme global saat ini memiliki pola yang berbeda dengan industri tradisional. Perbedaan itu terletak pada subjek yang dieksploitasi. Bila pada industri tradisional yang dieksploitasi adalah pekerja, maka dalam kapitalisme global, eksploitasi ditujukan kepada konsumen. Konsumen dipaksa membeli produk-produk dari satu kapital yang sama dengan berbagai macam cara.

Baca Juga: SUBALTERN #13: Tentang Filsafat, Tentang Memikirkan Alternatif-alternatif bagi Berkehidupan
SUBALTERN #14: Michel Foucault dan Keberadaan Individu Abnormal
SUBALTERN #15: Filsafat, Sirkel Tongkrongan, dan Anak-anak

McDonaldization

Ide McDonalisasi diambil dari industri makanan cepat saji yang mengutamakan efisiensi, kalkulasi, standarisasi, dan kontrol. Teori ini dianggap sebagai pengembangan dari Max Webber yang menyatakan bahwa sains telah membentuk birokrasi yang diisi oleh bahasa-bahasa tertentu.

Menurut Ritzer, perubahan sains, ekonomi dan kultur telah mengubah masyarakat menjauh dari apa yang dipikirkan Weber tentang masyarakat birokrat dan menciptakan masyarakat baru yang ia sebut dengan masyarakat ter-McDonalisasi. Dalam masyarakat ini, terdapat 4 dimensi yang menjadi landasan utama:

  1. Efisiensi, berfokus pada meminimalisasi durasi kerja dalam menyelesaikan satu tindakan produksi yang dibutuhkan untuk keseluruhan industri.
  2. Terkalkulasi, berfokus pada kuantitas dari produk, bukan evaluasi terhadap kualitas.
  3. Terprediksi dan standarisasi, pengerjaan secara repetitif mulai dari pengembangan produk hingga distribusi menghasilkan konsistensi produk yang menyebabkan pengalaman konsumen akan sebuah produk menjadi terprediksi.
  4. Kontrol, pengerjaan industri yang sangat tersusun sehingga menjamin kuantitas produksi setiap harinya. Dengan adanya kontrol terhadap produksi, maka konsumen juga semakin terkontrol.

Ritzer kemudian menambahkan tiga dimensi lain yang tidak termasuk ke dalam empat aspek utama McDonalisasi. Tiga dimensi tersebut adalah:

  1. Irasionalitas yang menjadi akibat dari sistem yang terlalu dirasionalisasi. Contoh dari dimensi ini adalah mesin berjalan yang bekerja secara rasional bisa menimbulkan kegilaan bagi pekerja.
  2. Deskilling, mesin yang terlalu rasional tidak lagi membutuhkan kemampuan khusus untuk memproduksi sebuah produk, oleh sebab itu, aspek keahlian (skill) dari pekerja menjadi sangat minimal.
  3. Consumer Workers, satu dimensi yang menurut Ritzer menjadi paling penting dalam McDonalisasi. Konsumen dimanipulasi untuk menjadi pekerja yang tidak dibayar, bahkan membayar kepada korporat. Contoh paling sederhana adalah konsumen yang membawa sendiri makanan pesanannya seperti di restoran cepat saji. Contoh lain adalah eksploitasi konsumen melalui produk-produk teknologi yang dilabeli kata smart.

Planned Obsolescence

Terdapat beberapa poin yang bisa diambil dari penjelasan Ritzer dalam menganalisa praktik planned obsolescence. Salah satu poin utama dari planned obsolescence adalah kuantitas yang terkalkulasi, bukan kualitas. Kuantitas yang dimaksud tentu bukan hanya jumlah sebuah produk di pasaran, tetapi ada berapa produk yang akan dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu sehingga mereka mampu membuat produk yang lama seolah-olah tidak lagi bekerja dengan baik atau tidak kompatibel dengan perkembangan terbaru. Misalnya, selama periode 5 tahun, produsen akan menciptakan 5 produk, tetapi produsen tidak menjamin bahwa produk di tahun pertama akan bisa bekerja dengan baik sampai tahun ke-5, maka di tahun ke-3, konsumen sudah dipaksa untuk membeli produk baru, dan begitu seterusnya.

Poin kedua adalah terprediksi, sebuah produk yang diciptakan dengan planned obsolescence tentu sudah diprediksi (bahkan direncanakan) untuk tidak lagi bekerja secara maksimal saat mencapai umur tertentu. Tanpa adanya prediksi yang akurat mengenai periode penggunaan, maka produsen tidak bisa memaksa konsumen untuk membeli produk terbaru. Berbeda dengan kuantitas yang terkalkulasi yang mengarah pada jumlah produk yang diciptakan dalam periode tertentu, poin kedua lebih mengarah pada perencanaan sebuah produk yang akan dirilis. Sebagai contoh misalnya sebuah produk smartphone diciptakan dengan prediksi mampu bekerja maksimal selama 3 tahun, setelah 3 tahun, maka smartphone tersebut akan mengalami pembatasan-pembatasan seperti tidak mendapat pembaharuan perangkat lunak, penurunan kemampuan perangkat keras seperti baterai dan prosesor yang memang sudah didesain sedari awal. Tujuannya, agar konsumen hanya menggunakan smartphone tersebut selama 3 tahun.

Poin ketiga adalah membuat konsumen sebagai pekerja. Sebelum menjelaskan poin ini, saya ingin bertanya, apakah produsen hanya mendapatkan profit dari menjual produk? Jawabannya tidak, Planned Obsolescence lebih daripada sekedar menjual produk. Produsen mendapatkan profit justru dengan cara mengeksploitasi rasa percaya konsumen terhadap sebuah produk untuk kemudian membuat konsumen bekerja (dengan cara membeli dan menggunakan produk) tanpa harus dibayar. Pertanyaannya, bagaimana praktik planned obsolescence membuat konsumen menjadi pekerja? Untuk menjawab itu, perlu diingat bahwa produk yang dipasarkan sudah terprediksi durasi penggunaannya. Selanjutnya, konsumen tentu akan menggunakan produk yang sudah ia beli, tanpa menyadari bahwa selama proses penggunaan, produk tersebut menurun kemampuannya dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Pada titik itu, bisa dilihat bahwa sebetulnya konsumen bekerja untuk menghabiskan jangka waktu pemakaian produk tersebut sampai akhirnya mereka harus mengganti dengan yang baru, maka terciptalah sebuah siklus yang menjebak konsumen dalam lingkaran consumer workers dan konsumsi tanpa henti.

Dengan begitu, dapat dilihat bahwa Planned Obsolescence adalah sebuah eksploitasi terhadap konsumen. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mempromosikan sebuah model konsumsi yang lebih menghormati hak konsumen. Sebagai konsumen, kita harus tetap diberitahu, menuntut transparansi, dan didukung oleh sebuah moda produksi yang memprioritaskan ketahanan dan keberlanjutan, bukan hanya soal keuntungan jangka pendek. Baru kemudian kita dapat membebaskan diri dari sisi gelap ekonomi berbasis konsumsi.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//