• Kolom
  • SUBALTERN #17: Marxisme dan Agama

SUBALTERN #17: Marxisme dan Agama

Apa yang disampaikan Marx mengenai “Agama adalah Candu” tidak seharusnya ditujukan bagi semua agama pada segala zaman.

Samuel V. Jonathan

Pegiat filsafat, aktif di Kelas Isolasi

ISeorang ibu berjalan menuntun anaknya setelah beribadah di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Bandung, Minggu (28/5/2023). Memenuhi dan melindungi hak anak untuk bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragam. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

4 Agustus 2023


BandungBergerak.id – “Agama adalah candu.” Tak ada seorang pun yang belajar filsafat tak mengenal kutipan tersebut. Jargon itu acap diucapkan oleh para mahasiswa filsafat semester pertama untuk melimaui agama dan para penghayatnya: bahwa mereka yang memeluk agama irasional. Meski begitu, bukan hanya mahasiswa filsafat semester pertama yang memanfaatkannya untuk hal macam itu. Bahkan, seorang filsuf ternama asal Amerika Serikat, Alvin Plantinga, juga membacanya demikian dan menunjukkan bahwa pernyataan Marx keliru adanya: bahwa teisme, khususnya kepercayaan iman Kristen, rasional adanya.

Sayangnya, pembacaan macam itu terhadap jargon Marx tersebut keliru adanya, tidak jujur, dan, bahkan, tidak lengkap. Kita perlu membaca kutipan tersebut dalam konteks keseluruhannya. Berikut kutipan Marx secara keseluruhan di dalam A Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844).

“Penderitaan religius, pada saat yang sama, adalah ekspresi dari penderitaan yang nyata dan protes terhadap penderitaan yang nyata. Agama adalah jeritan makhluk tertindas, hati dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari kondisi tak berjiwa. Itu adalah candu rakyat. Penghapusan agama sebagai ilusi kebahagiaan rakyat adalah tuntutan atas kebahagiaan sejati mereka.”

Tidak sepenuhnya keliru untuk membaca kutipan tersebut sebagai suatu kritik dari Marx terhadap agama, tetapi ia perlu dimengerti di dalam konteks yang tepat pula. Kritik Marx terhadap agama perlu dipahami sebagai kritik sosial, dibandingkan sebagai kritik epistemik – ia tak lepas dari konteks historis pada saat Marx hidup. Saat itu, Marx mengklaim soal bagaimana agama acap dimanfaatkan oleh mereka yang berkuasa, kaum pemilik modal, bagi kepentingan mereka untuk mempertahankan kuasa dan modal: agama adalah alat bagi kontrol sosial. Agama meninabobokan mereka yang tertindas, orang-orang proletar, dengan menjanjikan surga bagi segala keringat tercurah, kesulitan, dan penderitaan yang dialami mereka di dunia, ”Kejarlah surga, bukan dunia.”

Baca Juga: SUBALTERN #14: Michel Foucault dan Keberadaan Individu Abnormal
SUBALTERN #15: Filsafat, Sirkel Tongkrongan, dan Anak-anak
SUBALTERN #16: Planned Obsolescence, Sisi Gelap Teknologi dan Ekonomi Berbasis Konsumsi

Konteks Historis Kritik Marx

Meski begitu, penjelasan metaforik dari Marx soal agama dan opium juga perlu dipahami dalam konteks historis di mana ia berada. Pada masa itu – pun juga sampai saat ini – opium tidak semata diasosiasikan dengan zat adiktif bagi para pecandu, melainkan sebagai obat yang berfungsi meredakan rasa sakit bagi mereka yang sakit dan terluka. Agama, di dalam konteks itu, hadir sebagai opium yang melipur lara kaum proletar. Dengan demikian, kutipan tersebut menunjukkan aspek lainnya dari agama: sebagai suatu ekspresi penderitaan dari masyarakat yang sifatnya niscaya.

Apa yang disampaikan Marx soal agama pun tidak seharusnya ditujukan bagi semua agama pada segala zaman. Hal itu, misalnya, kita lihat di dalam tulisan dari Engels On the History of Early Christianity yang mengklaim bahwa:

Sejarah kekristenan mula-mula memiliki banyak titik temu yang khas dengan gerakan buruh saat ini. Seperti gerakan buruh, Kekristenan pada awalnya adalah gerakan kaum tertindas; itu dimulai sebagai agama para budak dan yang dibebaskan, yang miskin dan yang dikucilkan, dari orang-orang yang dikalahkan dan dihancurkan oleh kuasa Roma. Baik Kekristenan maupun Sosialisme Proletar mengkhotbahkan pembebasan yang akan datang dari perbudakan dan kemiskinan. (On the History of Early Christianity, I).

Pernyataan Engels ini, mengutip Alasdair MacIntyre, menunjukkan bahwa secara hakikat agama memiliki sifat yang secara murni revolusioner, suatu tindak usaha untuk membebaskan mereka yang tertindas dari eksploitasi. Hal itu bisa ditemukan di dalam Kisah Para Rasul, misalnya, salah satu tulisan yang menjadi bagian dari kanon Alkitab, orang Kristen mula-mula setiap hari berkumpul “sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” Selain itu, “semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa … lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.” Tidak mengherankan kalau Kekristenan memiliki hal tersendiri yang mampu menarik mereka yang tertindas, kaum proletar, untuk masuk ke dalamnya.

Hanya ketika Kekristenan, atau secara umum agama, “kawin” dengan kekuasaan ia mulai kehilangan sifat revolusionernya: ia dimanfaatkan secara habis-habisan oleh penguasa untuk membenarkan kuasa, termasuk kekerasan.

Saat ini, tidak sedikit orang-orang beragama yang memiliki simpati bagi Marxisme membacanya melalui lensa religius mereka dengan konteks pergumulannya masing-masing – dan, dengan demikian, membangkitkan kembali sifat revolusioner tersebut. Di Amerika Latin, misalnya, teologi pembebasan dikembangkan oleh Gustavo Gutiérrez, seorang pastor Katolik asal Peru, pada tahun 1971 sebagai sebuah respons atas permasalahan nyata akan penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan sistemik yang dialami oleh kaum proletar di sana. Hal yang sama juga bisa kita temukan di dalam Islam – misalnya, Tan Malaka, Soekarno, dan Malcolm X – di mana tokoh-tokoh tersebut memanfaatkan tradisinya sebagai alat bagi pembebasan kaum proletar.

Agama sudah dan masih berperan dalam kehidupan mereka yang tertindas sebagai jeritan, hati, dan jiwa mereka. Tak dapat dipungkiri kalau di masa depan nantinya ia juga akan masih berperan penting bahkan di dalam berbagai gerakan revolusioner lainnya.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//