• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pengakuan Terhadap Aliran Kepercayaan dan Tanggung Jawab Negara

MAHASISWA BERSUARA: Pengakuan Terhadap Aliran Kepercayaan dan Tanggung Jawab Negara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 mengukuhkan hak-hak konstitusional penganut aliran kepercayaan dalam mengekspresikan keberagamaan.

David Frans Juniar Sianturi

Divisi Kajian dan Riset Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum (HMPSIH) Universitas Katolik Parahyangan 2023-2024

Anak-anak bergembira bersama dalam permainan tradisional di lapangan. Pewarisan budaya dan penghayatan tradisi merupakan kunci melestarikan kekhasan Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

9 September 2023


BandungBergerak.id – Sebagai negara hukum yang modern, hukum Indonesia seharusnya menjangkau seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia yang terdiri atas aspek sosial-budaya, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, religius, dan sebagainya. Akan tetapi, penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tidak profesional dalam praktiknya di Indonesia mencoreng status Indonesia sebagai negara hukum yang didasarkan pada Pancasila dan terwujud dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada tulisan ini akan berfokus pada aspek religius di Indonesia, yakni terkait eksistensi Aliran Kepercayaan. Adapun eksistensi masyarakat yang menganut Aliran Kepercayaan ini masih mengalami diskriminasi dan stigmatisasi dari golongan tertentu yang tidak menerima fakta ini.

Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah pemberitaan dari internet mengenai diskriminasi dan stigmatisasi tersebut. Di antaranya adanya pelarangan masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan melalui SK. Nomor KEP-44/K/K.2.3/8/1982 yang telah disidangkan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri  Kuningan melalui Putusan No. 05/Pdt.Plw/2017/PN.KNG; penyulitan pembuatan administrasi oleh petugas administrasi bagi Aminah, masyarakat penganut kepercayaan Tolotang; pemaksaan pemakaian kerudung oleh petugas administrasi bagi Ramlah, masyarakat Sulawesi Selatan penganut kepercayaan Kajang, dan masih banyak lagi (Tiara Sutari, CNN Indonesia, 4 Agustus 2016).

Baca Juga: Kolom Agama dan Jalan Panjang Penghayat
Himpunan Penghayat Kepercayaan Berharap Dibentuknya Kementerian Khusus Kepercayaan dan Agama Leluhur
MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Alat Uji Kebohongan Sebagai Alat Bukti yang Sah

Kepercayaan dan Agama

Apabila kita menggali lebih intens terkait pemaknaan semantik dari kata “kepercayaan” dan “agama”, kedua kata ini biasanya selalu sejajar, sehingga frasa “kepercayaan dan agama” atau “kepercayaan atau agama” sering kali dapat ditemukan dalam berbagai dokumen hukum atau dokumen hak asasi manusia. Dalam The World University Encyclopedia, pengertian agama/religion dijelaskan sebagai sebuah term yang menunjukkan hubungan antara manusia dengan satu atau lebih Tuhan. Beberapa bahasa mengaitkan religion dengan kata relegere, to gather together (berkumpul bersama); atau juga dikaitkan dengan kata religare, yang artinya mengikat kembali (to bind back) atau mengikatkan (to fasten).

Berbeda hal dengan agama, frasa “kepercayaan” memiliki beberapa arti: a) iman kepada agama; b) anggapan atau keyakinan bahwa benar sungguh ada; c) dianggap benar dan jujur; dan d) setuju kepada kebijaksanaan (Kamil Kartapradja, 1985). 

Di Indonesia, adapun kelompok yang disebut sebagai penganut kepercayaan dikategorikan menjadi 4 jenis. Pertama, kelompok penghayat kepercayaan yang tergolong kepercayaan/agama-agama lokal (suku), seperti kepercayaan Suku Dayak (Kaharingan, Manyaan), suku Batak (Parmalim, si Raja Batak, Na Mulajadi Nabolon), Suku Badui, Sunda Wiwitan, Buhun (Jawa Barat), Suku Anak Dalam/Kubu, Suku Wana (Sulawesi Tengah), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Tolottang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), Naurus (Pulau Seram, Maluku) dan berbagai kepercayaan di Papua.

Kedua, kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang termasuk dalam kategori ini adalah penganut kebatinan Kejawen pada umumnya yang berpusat di Jawa antara lain: Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Sumarah, Susila Budi Dharma (Subud), Perjalanan, Sapta Dharma, Tri Tunggal dan Manunggal, Persatuan Eklasing Budi Murko, Sumarah Purbo, Paguyuban Hardo Pusoro, Ngesti Tunggal, Mardi Santosaning Budi (MSB), Budi Luhur dan lain sebagainya.

Tiga, kelompok penghayat kepercayaan yang berindikasikan keagamaan meliputi sekte keagamaan, aliran keagamaan, pengelompokan jemaah keagamaan seperti Ahmadiyah, Buddha Jawi Wisnu, Children of God, Yehova, Hari Krisna dan lainnya. Dan terakhir, kelompok penghayat kepercayaan mistik atau klenik seperti perdukunan, paranormal, peramalan, pengobatan, santet, tenung, sihir dan metafisika (IGM Nurdjana, 2009). Dari pengategorian kepercayaan yang eksis di Indonesia, dapat dimengerti bahwa keadaan bangsa Indonesia yang menganut paham animisme masih berlaku dan eksis hingga sekarang.

Stigmatisasi dan Diskriminasi

Pada awalnya, para penganut kepercayaan Indonesia hidup dalam kehidupan yang aman dan nyaman dalam menjalankan kepercayaannya. Akan tetapi, peristiwa Gerakan September Tiga Puluh atau Gerakan Satu Oktober (selanjutnya disebut Gestapu/Gestok) mengubah sejarah Indonesia selamanya terhadap keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia.

Pasca peristiwa tersebut, eksistensi penganut aliran kepercayaan kerap disamakan dengan peristiwa tersebut. Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (selanjutnya disebut Tim PAKEM) ditugaskan melakukan pengawasan terhadap para penghayat kepercayaan/ kebatinan. Akibat stigmatisasi dan hubungannya dengan tragedi 1965, maka terjadi eksodus secara masif terhadap kepindahan penghayat kepercayaan ke agama-agama resmi yang diakui oleh Negara Indonesia (Niels Mulder, 1984).

Setelah kejadian tersebut, eksistensi masyarakat penganut kepercayaan semakin terancam dengan adanya rancangan Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan terhadap Pancasila (P4) melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) (Achmad Zubaidi, 1993). Hal ini didukung dengan masih berlakunya Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PNPS 1965) yang secara tegas menjadikan penganut kepercayaan sebagai “penoda agama”.

Penggunaan UU PNPS 1965 ini kerap dihubungkan dengan Pasal 156a KUHP untuk memenjarakan siapa pun yang bermasalah terkait keagamaan. Akibat dari eksisnya UU PNPS 1965 jo. Pasal 156a KUHP, mereka (para penganut kepercayaan) bahkan tidak mendapatkan jaminan atas kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut keyakinannya, dan menjadi masyarakat agama kelas tiga di bawah penganut “agama resmi” (Oki Wahju Budijanto, 2016). 

Dampak terberat yang harus dihadapi oleh penganut kepercayaan akibat berlakunya kedua aturan tersebut adalah stigmatisasi dari masyarakat Indonesia yang menganut agama resmi Indonesia dan eksistensinya diabaikan dan ruang gerak para penganut di tempat publik direpresi oleh Pemerintah (Salwa Umiatik, Lembaga Pers Mahasiswa OPINI Online, 26 Maret 2022).

Adanya berbagai permasalahan hukum tersebut membuat Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 eksis. Dalam Putusan MK tersebut, amar putusan memberikan perluasan terhadap definisi “agama” di Indonesia, di mana perluasan ini memberikan ruang bagi masyarakat Indonesia untuk menyuarakan ekspresi kepercayaan yang dianut olehnya, baik pada saat berada di tempat umum maupun pada saat berada di tempat tersendiri (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 154-155).

Hal ini juga termasuk pada pengisian kolom agama dalam dokumen kependudukan. Melalui Putusan MK tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memberikan legitimasi hukum bahwa pengisian kolom agama dalam dokumen kependudukan bukan hanya hak prerogatif agama-agama resmi negara, tetapi juga menjadi hak para penganut aliran kepercayaan untuk bisa mencatatkan keyakinannya dalam dokumen kependudukan.

Hal ini menghasilkan poin penting, yakni didapatkannya hak-hak konstitusional penganut aliran kepercayaan dalam mengekspresikan keberagamaan, khususnya dalam penulisan identitas keagamaan pada kolom pengisian agama pada dokumen kependudukan. Adapun wujud dari poin penting tersebut berupa: a) kata “agama” tidak memiliki kekuatan bersyarat bila tidak menyertakan “kepercayaan” sebagai bagian dari agama; dan b) ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD-1945) sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (Muwaffiq Jufri. 2020).

Pengakuan Negara

Putusan MK tersebut tentunya dilandaskan pada tiga landasan yang dimiliki oleh negara hukum, yakni landasan idiil, yang wujudnya adalah Pancasila; landasan konstitusional, yang wujudnya adalah Undang-undang Dasar 1945; dan landasan operasional, yang wujudnya adalah peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia pada aspek kepercayaan dan/atau keagamaan (Inu Kencana Syafiie, 2003).

Landasan idiil yang dimaksud dari hak asasi terhadap kepercayaan dan/atau keagamaan adalah Pancasila sila ke-1, 2, dan 5; landasan konstitusional yang dimaksud dari hak asasi terhadap kepercayaan dan/atau keagamaan adalah Pasal 28E ayat (1) dan (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD-1945; dan landasan operasional yang dimaksud adalah Pasal 18-19 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Pasal 2-3 Deklarasi 25 November 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasar Agama dan Kepercayaan, Pasal 14 CRC, dan Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 39/1999.

Dengan lengkapnya seluruh peraturan yang menjamin hak-hak masyarakat penganut kepercayaan, penulis sebetulnya berharap agar keberadaan masyarakat yang menganut kepercayaan di Indonesia diakui setara secara de facto dan de jure. Selain itu, penulis juga berharap agar stigmatisasi negatif yang telah melekat di lingkungan masyarakat Indonesia terhadap masyarakat yang menganut aliran kepercayaan dapat diminimalisir dengan berbagai upaya sosial, kebijakan publik, dan penegakan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//