MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Alat Uji Kebohongan Sebagai Alat Bukti yang Sah
Pengujian dengan alat uji kebohongan atau “lie detector” hanyalah bersifat alternatif yang digunakan saat penyidik kekurangan bukti untuk menjerat tersangka.
Karin Daniela Hardadi
Divisi Kajian dan Riset Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan 2023-2024
1 September 2023
BandungBergerak.id – Ketika pengisian Berita Acara Pemeriksaan dalam penyidikan, terdapat kemungkinan-kemungkinan bahwa tersangka tidak mengatakan yang sejujurnya kepada penyidik serta terjadi inkonsistensi atau pernyataan yang berubah-ubah. Hal ini terjadi guna menutup-nutupi kejahatan yang telah diperbuat. Tentu saja ini membuat penyidik kesulitan untuk mengungkap kejahatan dan mencari kebenaran dibaliknya.
Dengan adanya kemajuan teknologi, ada berbagai macam invensi dapat membantu penyidik mencari titik terang dalam menyelesaikan kasus. Salah satunya adalah keberadaan lie detector atau poligraf.
Kata poligraf atau polygraph berasa dari bahasa Yunani yaitu polýgraphos yang pertama kali diperkenalkan oleh ahli fisiologi dan seorang inventor Perancis bernama Étienne-Jules Maret (Merriam-Webster Dictionary, 2023). Berdasarkan kamus Merriam-Webster, polygraph is an instrument for recording variations of several different pulsations (as of physiological variables) simultaneously, atau apabila diterjemahkan secara bebas oleh penulis maka poligraf adalah instrumen untuk merekam beberapa variasi dari denyut yang berbeda (sebagai variabel fisiologis) secara serentak.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Transformasi Ekonomi dan Resesi
MAHASISWA BERSUARA: Membidik Potensi Ekonomi Industri E-Sport Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Saatnya Memanfaatkan Teknologi Monitoring dan Deteksi Dini untuk Sesar Lembang
Penggunaan Poligraf
Poligraf telah digunakan sejak tahun 1920an di Amerika Serikat yang digunakan dalam interogasi dan investigasi polisi yang saat itu masih kontroversial dan tidak selalu dapat diterima secara hukum, tahapan seleksi pekerja di lembaga penegak hukum atau keamanan nasional, seleksi karyawan, dan menguji tersangka kejahatan seksual (Lovina, 2020:176). Lie detector digunakan pada dada, jari, tangan, dan bagian tubuh lainnya untuk mengetahui perubahan tekanan darah, gestur, resistansi listrik pada kulit, perubahan suara, produksi keringat, akselerasi detak jantung dan pernafasan serta memantau aktivitas otak (Asep Ridwan, 2011).
Menurut American Psychological Association, terdapat beberapa jenis format tes yang diajukan saat uji kebohongan dilakukan salah satunya adalah Control Question Test (CQT) yang pada umumnya digunakan. CQT merupakan pertanyaan yang dirancang untuk mengontrol efek dari Relevant Question. Contohnya, penyidik menanyakan Relevant Question berupa, "Apakah Anda membunuh istri Anda sendiri?" atau "Pernahkah Anda membohongi anggota keluarga Anda?" kemudian penyidik mengajukan CQT yang substansinya menyangkut mirip dengan tindak pidana dalam kasus yang sedang diselidiki, namun mengacu pada masa lalu tersangka dan cakupan pertanyaannya luas, contohnya, "Apakah Anda pernah mengkhianati seseorang yang sangat mempercayaimu?" Apabila reaksi tersangka terhadap Relevant Question lebih kuat daripada CQT, maka terdapat indikasi kebohongan.
Alternatif lain adalah melakukan Guilty Knowledge Test (GKT), contohnya adalah tes terhadap tersangka pembunuhan, penyidik akan bertanya, "Apakah warna baju terakhir korban adalah biru, kuning, atau merah?" Jika tersangka benar-benar bersalah, sudah sepantasnya ia mengetahui fakta tersebut dan akan memunculkan reaksi fisiologis yang lebih besar terhadap pilihan yang paling tepat (American Psychological Association, 2004).
Penggunaan hasil pemeriksaan poligraf telah dilakukan di beberapa kasus di Indonesia, seperti dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Aji Febriyanto Arrosyid, Kepala Urusan Bidang Komputer Forensik Ahli Poligraf yang dihadirkan menjadi salah satu saksi ahli dalam persidangan menyatakan hasil uji kebohongan yang telah dilalui oleh Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf. Ketika Hakim menanyakan bagaimana skor kelima terdakwa tersebut, Aji menjawab bahwa Ferdy Sambo mendapat nilai -8, Putri -25, Kuat Maruf yang mengalami dua kali pemeriksaan dengan hasil pertama +9 dan yang kedua -14, Ricky yang juga mendapatkan dua kali tes memperoleh skor +11 dan +19, sedangkan Richard mendapatkan skor +13. Aji mengatakan bahwa minus berarti terindikasi berbohong, dan positif terindikasi jujur. Dengan demikian, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi terindikasi berbohong, Richard dan Ricky dinyatakan jujur, sedangkan Kuat Maruf terindikasi jujur dan berbohong (Eka Yudha Saputra/Tempo.co, 14 Desember 2022).
Namun, tingkat keakuratan hasil tidak dapat hanya dilihat dari alat semata. Justru penentunya ada pada pemeriksa karena seorang yang telah terbiasa berbohong, tidak akan menimbulkan perubahan fisiologis yang signifikan. Sebaliknya, jika tersangka sedang dalam keadaan sakit, gugup, ketakutan, atau memiliki sifat temperamental tentu akan menunjukkan reaksi tubuh yang berbeda.
Pedoman Penggunaan Poligraf di Indonesia
Di Indonesia, pedoman penggunaan lie detector terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 yang mengatur bahwa: (1) Pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti dapat dipenuhi berdasarkan permintaan tertulis dari: (a) Penyidik Polri; (b) PPNS; (c) Kejaksaan; (d) Pengadilan; (e) POM TNI; dan (f) Instansi lain sesuai dengan lingkup kewenangannya. (2) Jenis barang bukti yang dapat dilakukan pemeriksaan oleh Labfor Polri meliputi: (a) pemeriksaan bidang fisika forensik, antara lain (i) deteksi kebohongan (Polygraph), (ii) analisa suara (Voice Analyzer); dst.
Selanjutnya pengaturan mengenai pemeriksaan barang bukti Polygraph diatur dalam Pasal 12 yang mengatur bahwa "Pemeriksaan barang bukti Polygraph (deteksi kebohongan) terhadap tersangka/saksi dilaksanakan di Labfor Polri dan/atau di satuan kewilayahan”, serta pada Pasal 13 yang mengatur mengenai syarat formal dan teknis yang harus dipenuhi sebelum pemeriksaan barang bukti Polygraph dilakukan.
Saat ini, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) memiliki Poligraf dengan tingkat akurasi 93% dengan standar ISO (International Organization for Standardization)/IEC 17025 yang diproduksi oleh Kanada pada tahun 2019 dan telah diakui oleh asosiasi Polygraf Amerika Serikat. Berdasarkan Peraturan Kepala Polri No. 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) merupakan pelaksana teknis yang berwenang dalam pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan laboratoris Kriminalistik Barang Bukti (Yukama Erzyanto, 2020).
Dalam menggunakan Polygraph, Puslabfor membatasinya dalam tiga aspek yaitu sensor jantung, intensitas keringat, dan respiratori yang harus dilakukan oleh pemeriksa atau eksaminator yang telah bersertifikasi dan memenuhi standard operating procedure (SOP) Amerika Serikat (Rakhmad Hidayatulloh Permana/Detik.com, 8 September 2022).
Berpedoman pada Pasal 184 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur mengenai alat bukti yang sah dalam pembuktian acara pemeriksaan biasa yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hasil dari uji Poligraph tergolong ke dalam keterangan ahli atau bukti tertulis berupa surat yang memuat hasil pemeriksaan dan keterangan ahli Labfor (Putu Aristiani dan I Wayan Layang, 2022).
Baru Sebatas Pelengkap Alat Bukti
Perlu diketahui bahwa kedudukan lie detector di dalam Hukum Acara Pidana hanyalah bersifat alternatif. Apabila penyidik merasa alat bukti telah mencukupi, maka lie detector tidak harus digunakan.
Penulis sebenarnya menganggap lie detector hanyalah alat bukti pelengkap semata. Menurut pendapat penulis, keberadaan lie detector yang ada di Indonesia sering kali digunakan hanya untuk mengejar pengakuan bersalah dari tersangka karena seperti yang telah diuraikan di atas bahwa pengujian dengan alat kebohongan bersifat alternatif yang digunakan saat penyidik kekurangan bukti untuk menjerat tersangka.
Selain itu, penguji mengajukan pertanyaan dengan jawaban "ya" atau "tidak" kemudian melihat respons fisiologis tersangka yang ukurannya sangat abstrak. Sementara itu, terdapat teknik countermeasures sebagai konsekuensi dari praktik lie detector. Countermeasures merupakan strategi untuk "mengalahkan" Polygraph dengan membuat seolah-olah tersangka mengatakan kebenaran dengan teknik fisik maupun mental atau dengan menggunakan obat-obatan tertentu (American Psychological Association, 2004).
Ditambah lagi, hasil dari pemeriksaan Polygraph seutuhnya merupakan analisis dari sang examiner yang juga harus dipastikan kapasitasnya sebagai petugas. Dengan demikian, penulis berharap Indonesia dapat segera mengatur masalah prosedural dan standar dalam pemeriksaan Polygraph serta kedudukan hukumnya di dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.