• Cerita
  • Merayakan Pamendak Mei Kartawinata, Mengikis Diskriminiasi pada Pengahayat

Merayakan Pamendak Mei Kartawinata, Mengikis Diskriminiasi pada Pengahayat

“Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata” atau Septemberan dirayakan setiap tahun oleh penghayat dari Organisasi Budi Daya. Dirayakan bersama warga sekitar.

Setelah mengantarkan sesajen, para penghayat duduk bersimpuh untuk sebagai simbol penghormatan, ungkapan syukur, sekaligus permohonan izin agar dijauhkan dari hal buruk. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya19 September 2023


BandungBergerak.id – Berbagai jenis sesajen sudah tersaji di atas meja. Tiga belas orang tampak bersimpuh, menundukkan kepala, tepat setelah sesajen mereka antarkan. Aroma kemenyan menyeruak. Alunan petikan dari kacapi indung mengiringi prosesi demi prosesi.

Bagi Organisasi Budi Daya, sesajen bukanlah sesuatu hal yang berbau mistik yang kerap dikaitkan dengan sisa-sisa kebudayaan animisme dan dinamisme. Lebih dari itu, sesajen merupakan simbol dan bacaan, sarat akan makna dan falsafah hidup. Kitab hayat pikeun bacaeun.

Kembang tujuh rupa yang wangi, misalnya, adalah simbol tujuh kuasa dalam diri yang berasal dari Tuhan (kawasa, kersa, uninga, hirup, tingali, ngarungu, ngandika), yang selalu berupaya “dimekarkan” kepada setiap makhluk lewat cara silih seungitan (belas kasih). 

Sasajen itu dalam pemahaman kami itu bukan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan gaib, bukan itu. Sasajen itu salah satu bentuk tulisan Tuhan, kalau menurut kami,” terang Cakra Argadinata, salah satu penghayat ketika diwawancara di sela-sela acara.

Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata adalah acara peringatan tahunan yang digelar oleh Organisasi Budi Daya. Tepat hari Sabtu (16/9/2023), kegiatan yang biasa disebut Septemberan ini kembali dilangsungkan di Pasewakan Waruga Jati, Wangunharja, Kecamatan Lembang. Berbagai kegiatan pun diselenggarakan sebagai pengingat turunnya wangsit atau wahyu ke Mei Kartawinata pada 96 tahun lalu. Pada pagi hari, agenda diisi oleh agenda hiburan dan penampilan seni. Malam hari diisi oleh agenda yang lebih formal, simbolis, dan sakral.

Pengantaran dan penataan sesajen merupakan satu dari sekian rangkaian dalam prosesi kirab, amitsun, dan rajah yang dilangsungkan pada malam hari, setelah prosesi tutunggulan sebagai pembuka. Prosesi kirab, amitsun, dan rajah yang dilangsungkan adalah simbol penghormatan, ungkapan syukur, sekaligus permohonan izin kepada orang tua, karuhun, bahkan leluhur bangsa agar dijauhkan dari hal buruk. Mipit kudu amit ngala kudu bebeja.

“Perayaan kami ini dinantikan warga sekitar, karena ekonominya jalan. Banyak yang jualan, parkir ada. Ikut menghidupkan kampung sini lah, acara kami tuh,” lanjut laki-laki berusia 37 tahun itu.

Pertunjukkan tari tradisional oleh para penghayat muda yang masih pelajar. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Pertunjukkan tari tradisional oleh para penghayat muda yang masih pelajar. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Setelah prosesi pembuka, agenda dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Pancasila, dan sambutan-sambutan. Warga sekitar yang datang semakin ramai. Tidak hanya warga, beberapa undangan dari luar pun terlihat antre mengisi daftar tamu.

Kemudian, 21 perempuan berkebaya merah dan biru, bersamping kain batik coklat, dengan rambut disanggul, serta tanpa alas kaki, hadir ke tengah-tengah penonton. Para perempuan yang mengatasnamakan Wanoja Budi Daya ini bersiap melakukan rampak sekar. Lagu Gentra Pancasila diperdengarkan. Setelah rampak sekar, lima orang perempuan belia kembali menyita perhatian penonton lewat tarian tradisional. Beberapa orang terlihat melemparkan uang, pertanda mereka menikmati tiap gerakan dari para penari yang masih pelajar ini.

Di luar Pasewakan, suasana bak pasar malam. Deretan pedagang menyesaki jalan yang hanya cukup dilewati dua mobil ini. Masing-masing dari mereka sibuk meladangi dan menawarkan produk mereka. Dan, suasana seperti inilah yang memang diharapkan oleh Organisasi Budi Daya.

“Maksud kami mengundang warga seperti ini, mengundang terbuka untuk umum, ya kami itu jangan eksklusif. Kita tuh harus terbuka ke semua orang, biar orang ga salah paham lagi kepada kami,” jelas Cakra.

Waktu menunjukkan pukul 21.20 WIB, agenda dilanjutkan dengan Pagelaran Wayang Golek oleh dalang Wawan Dede Amung Sutarya. Lakon yang dibawa berjudul Cepot Kembar. Sambil menyantap suguhan dari Organisasi Budi Daya pun pedagang sekitar, penonton terlihat memperhatikan cerita berbahasa Sunda yang disampaikan oleh dalang. Meski sesekali gerimis turun, para penonton enggan bubar.

Tepat tengah malam, pertunjukkan ditunda sejenak. Para penghayat Organisasi Budi Daya melakukan ritual Hening Panggalih. Setelah selesai, acara kemudian ditutup. Namun, pertunjukkan wayang golek tetap berlangsung semalam suntuk.

“Karena kami sampai saat ini belum dianggap sama dengan agama. Padahal hasil keputusan MK terakhir, tahun 2016, kami sama dengan agama,” keluh Cakra.

Baca Juga: Kolom Agama dan Jalan Panjang Penghayat
Cerita tentang Keberagaman bagi Para Penghayat Cilik
Himpunan Penghayat Kepercayaan Berharap Dibentuknya Kementerian Khusus Kepercayaan dan Agama Leluhur

Pengakuan Bukan Jaminan Tidak Adanya Diskriminasi

Meski sudah hampir tujuh tahun diakui keberadaannya oleh negara, masyarakat penghayat masih kerap mendapatkan diskriminasi dari lingkungannya, baik itu dalam segi pendidikan, sosial, maupun pekerjaan. Beberapa pihak masih meragukan, bahkan melakukan diskriminasi, kepada mereka.

Salah satu kejadiannya pernah dialami oleh Calista, perempuan penghayat yang menginjak usia 19 tahun. Kala itu, Calista yang baru saja menyelesaikan pendidikan jenjang menengah datang ke kepolisian dengan maksud membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Tanpa melihat biodata diri yang diisi, pihak kepolisian “menembak” kolom agama Calista dengan tulisan Islam.

Calista pun protes dan mengatakan bahwa dirinya bukan seorang muslim. Pihak yang menerima permohonan SKCK Calista seolah meragukan apa yang disampaikan oleh Calista. Setelah perempuan yang kini berkuliah di Sekolah Tinggi Desain Indonesia itu menjelaskan, akhirnya kolom agama Calista di SKCK pun ditambal, bukan diganti.

“Sampai kayak dia tuh ngerasa nggak yakin bahwa agama itu ada. Hah, emang agama apa? Ibadahnya kayak gimana?” Cerita mahasiswa semester 3 itu sambil menirukan ulang pertanyaan pada hari kejadian.

Banyak warga sekitar dan undangan yang hadir dalam acara peringatan Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata ka-96 Taun di Pasewakan Waruga Jati, Wangunharja, Kecamatan Lembang pada Sabtu, 16 September 20123, malam.(Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Banyak warga sekitar dan undangan yang hadir dalam acara peringatan Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata ka-96 Taun di Pasewakan Waruga Jati, Wangunharja, Kecamatan Lembang pada Sabtu, 16 September 20123, malam.(Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Tidak hanya di institusi negara, di institusi pendidikan pun diskriminasi masih kerap terjadi. Salah satunya dialami oleh Fajar Edin Mulyadi, salah satu penghayat muda yang kini berkuliah di Universitas Ahmad Yani.

Kala itu, Fajar yang duduk masih duduk di jenjang pendidikan tinggi mendapatkan perlakuan berbeda dari sekolah. Ketika pembagian rapor misalnya, dirinya mendapatkan rapor terpisah, ada rapor yang seluruh mata pelajaran, ada pula rapor dari penyuluh Budi Daya. Bagi Fajar, hal tersebut menandakan bahwa nilai dari penyuluh tidak dimasukkan ke dalam sistem.

Selain dari segi sistem penilaian, beberapa oknum dari pihak sekolah juga kerap memberikan perlakuan berbeda. Ceritanya, kala itu, Fajar sedang mengikuti salah satu program pelatihan. Fajar pun dimasukkan ke dalam grup percakapan. Entah sadar atau tidak, seorang oknum tenaga pendidikan melontarkan pertanyaan yang tidak mengenakan.

“Ini si Fajar kenapa masuk grup ini, mau ada apa? Dia mah muslim (juga) bukan,” ucap Fajar mengulang percakapan yang ada di grup tersebut. “Jadi seakan-akan beranggapan kita tuh, ibaratnya, sering dianggap sesat atau apa. Mungkin anggapannya seperti itu.”

Meski kerap mendapatkan diskriminasi, Calista dan Fajar tidak patah arang, mereka berdua terus menuntut hak mereka sebagai warga negara. Hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk beribadah.

Keduanya berharap pemerintah dapat memfasilitasi, melindungi, dan mengayomi masyarakat penghayat. Sebab, meskipun warga sudah menganggap keberadaan para penghayat, jika pemerintah masih meragukan, maka timbal baliknya ke para penghayat menjadi negatif lagi.

“Di negara kalau misalnya penduduknya banyak baru diakui. Terus misalnya sedikit, ga mau diakui? Kita kan manusia. Kita kan masyarakat Indonesia,” tutup Calista.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//