SISI LAIN SCHOEMAKER #15: Teman Baik M. Natsir
Sosok Mohammad Natsir memiliki hubungan yang cukup erat dengan Wolff Schoemaker. Dipertemukan dalam Islam.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
31 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Kedatangan Dr. Khalid Scheldrake ke Hindia Belanda bukan saja memunculkan keinginan umat Muslim Bumiputera untuk bertemu secara langsung, namun juga untuk mengonfirmasi motif Scheldrake yang dikaitkan oleh media-media milik Belanda dengan motif politik. Kendatipun demikian, bagi tokoh-tokoh organisasi Islam di Bandung, hal ini sekaligus sebagai momen untuk menggali informasi Islam di dunia dari Presiden Asosiasi Islam Barat itu.
Pada saat pertemuan di Societeit Ons Genoegen 10 Januari 1934, Khalid Scheldrake menyampaikan berbagai persoalan di dalam Islam, baik yang umum dijumpai maupun persoalan-persoalan yang jarang dialami oleh umat Muslim. M. Natsir yang cukup dekat dengan Wolff Schoemaker, kala itu menjadi penerjemah Khalid Scheldrake dan menekankan kembali bahwa Presiden Asosiasi Islam Barat yang tengah berkunjung ke Bandung itu bukanlah ahli politik, tetapi aktivitasnya berkaitan dengan penerapan nilai-nilai Islam yang tidak dapat dipisahkan dengan nuansa politik (Al-Mawaidz, 6 Februari 1934).
Seraya menyalin ke dalam bahasa Melayu, M. Natsir menyampaikan kembali penjelasan pidato Khalid Scheldrake akan pentingnya memerhatikan kondisi Palestina sebagai negara yang mewujudkan nuansa keislaman. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam konteks ini negara tidak sedang melangsungkan aktivitas politik, namun hanya melaksanakan perintah dari Allah, sehingga diyakini jika dari situ negara akan dipenuhi oleh keselamatan dan keberkahan (Al-Mawaidz, 6 Februari 1934).
Hal inilah yang dilakukan oleh Khalid Scheldrake untuk menjalankan kepentingannya selaku Presiden Asosiasi Islam Barat. Kepentingan tersebut, meski mendasarkan sepenuhnya pada ajaran Islam, bagi sebagian orang yang cenderung tendensius memandangnya sangat kentara dengan motif politik karena sebagaimana yang dijelaskan oleh Scheldrake sendiri bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.
Kehadiran Natsir dalam pertemuan Dr. Khalid Schaldrake tersebut tidak saja berkaitan dengan pergerakan Islam di Hindia Belanda. Akan tetapi bila dihubungkan dengan Wolff Schoemaker, sosok Mohammad Natsir memiliki hubungan yang cukup erat. Ihwal kedekatan Schoemaker dengan Natsir, tidak dapat dilacak secara pasti kapan keduanya mulai bertemu. Tetapi, pada tahun 1937 Wolff Schoemaker sempat menulis kata pengantar untuk buku yang ditulis oleh Natsir dengan judul Cultuur Islam. Sementara tulisan Wolff Schoemaker sendiri berkaitan dengan arsitektur Islam sekaligus menjadi judul untuk kata pengantar buku yang ditulis oleh Natsir itu. Dalam kata pengantar tersebut, Wolff Schoemaker menggunakan nama jabatannya sebagai Presiden Persatuan Islam Barat di Bandung. Selain itu ditunjukkan juga foto Masjid Cipaganti sebagai salah satu buah karya tersohor Kemal Wolff Schoemaker setelah ia memeluk Islam secara resmi.
Berteman dengan Mohammad Natsir
Dalam In Memoriam: Mohammad Natsir 1907-1993, George McT. Kahin bahkan menyebut bila Cultuur Islam terbit pada tahun 1934. Kahin juga mengklaim jika buku tersebut merupakan buku pertama Natsir yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Lebih jauh, Kahin menjelaskan bahwa di antara Kemal Wolff Schoemaker dengan Muhammad Natsir terjalin hubungan yang sangat baik sebagai a good friend of Natsir. Meski tidak dikisahkan secara rinci, tulisan yang dibuat untuk mengenang kepergian Muhammad Natsir itu, setidaknya, dapat memberikan sedikit keterangan ihwal kedekatan Natsir dengan Wolff Schoemaker. Dalam tulisan itu Kahin mencatat:
"...his first book in the Indonesian Language, Cultuur Islam, in 1934 (for which Professor Wolff K. Schumacher of the Bandung Technical Institute, and a good friend of Natsir, wrote the introduction)" (Kahin, 1993).
Mohammad Natsir sendiri berasal dari Sumatera Barat. Ia dilahirkan di Alahan Panjang, pada 17 Juli 1908 dari rahim seorang ibu bernama Khadijah. Setelah dewasa, Natsir diberikan gelar Datuk Sinaro Panjang, sebagai bagian dari tradisi masyarakat Minangkabau. Kiprah Natsir di Bandung bermula saat dirinya masuk Algemeene Middelbare School AMS), atau sekolah menengah atas pada tahun 1927. Di Bandung ia tinggal di kawasan Cihapit, yang konon, menetap untuk sementara di rumah seorang perempuan bernama Latifah. Ketika berada di Bandung Natsir banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh Islam, antara lain dengan Ahmad Hassan dari organisasi Persatuan Islam (Persis), sampai di masa-masa selanjutnya Natsir pun berguru kepadanya (Puar, 1978: 15-21). Usai menamatkan sekolah di AMS ia terlibat menjadi pengurus Persis, yang kelak ia pun menjadi ketua menggantikan posisi Haji Zamzasm pada tahun 1939.
Pada tahun 1928 hingga 1932 Mohammad Natsir didaulat menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Cabang Bandung. Organisasi ini merupakan perkumpulan pemuda Islam yang didirikan oleh Haji Agus Salim bersama Wiwoho Purbohadijoyo dan juga Syamsurizal. Dalam internal JIB Natsir kemudian berkenalan dengan Kasman Singodimejo, Mohammad Roem dan Prawoto Mangkusasmito (Puar, 1978: 18). Ketika masa revolusi berlangsung, ketiga orang itu banyak dikenal sebagai para petinggi Partai Masyumi, termasuk Mohammad Natsir sendiri yang nantinya menjabat sebagai ketua umum.
Diundang Mengisi Ceramah Persis
Selain memberikan pengantar untuk buku Mohammad Natsir, pada tahun 1936 Kemal Wolff Schoemaker pernah diundang untuk mengisi ceramah menggunakan Bahasa Sunda di lingkungan organisasi Persatuan Islam. Diundangnya Schoemaker ke dalam organisasi Persis bertepatan dengan acara sosial sunatan massal pada Hari Raya Iduladha dengan rangkaian yang cukup meriah (Majalah Al-Lisaan, 27 Maret 1936).
Tentu saja kehadiran Wolff Schoemaker dalam internal Persis dapat diasumsikan berkat andil Mohammad Natsir sebagai salah seorang yang menjabat di bidang penting dalam kepengurusan Persis. Hal ini memang sebatas tafsiran, kendatipun memerlukan keterangan lain untuk memperkuat kesahihan klaim mengenai hubungan yang karib dari keduanya. Dengan demikian kedekatan Kemal Wolff Schoemaker dengan Mohammad Natsir hanya ditunjukkan oleh data-data yang belum sepenuhnya terperinci. Namun tetap saja, sebagaimana diungkapkan George McT. Kahin bahwa di antara Schoemaker dan Natsir tercermin sebuah pertemanan yang baik, bila hal itu dilihat dari kesanggupan Schoemaker memberikan kata pengantar untuk buku yang ditulis oleh Natsir.
Bahkan, tidak seperti dengan Sukarno, kedekatan Wolff Schoemaker dengan Mohammad Natsir bukan menekankan pada kemiripan hobi yang sama-sama menyukai keindahan perempuan dan seni, melainkan pada aktivitas yang memiliki nuansa keislaman seperti dalam bidang seni, kebudayaan atau bidang lainnya yang bagi Schoemaker sendiri Islam mengandung nilai-nilai yang luhur. Dengan kata lain, Wolff Schoemaker dipertemukan dengan Natsir dalam ranah keislaman yang begitu kentara.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Hafidz Azhar, serta artikel-artikel lain bertema sejarah.