• Opini
  • Digitalisasi, Media Sosial, dan Dampaknya pada Keagamaan

Digitalisasi, Media Sosial, dan Dampaknya pada Keagamaan

Agama yang dulunya berakar pada ruang fisik sekarang di era digitalisasi ini keyakinan berjalan melalui dunia digital memicu revolusi dalam ekspresi keagamaan.

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan

Audelynn Jonelle Wong, Muhammad Randra Adam Razzaqu, Roy Noah Archer, Rai Djembar S.

ISeorang ibu berjalan menuntun anaknya setelah beribadah di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Bandung, Minggu (28/5/2023). Memenuhi dan melindungi hak anak untuk bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragam. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

14 Januari 2024


BandungBergerak.id- Dengan adanya smartphone yang kita gunakan saat ini dan teknologi yang semakin berkembang pesat yang tentunya membuat kehidupan kita semakin lebih mudah dan tidak hanya itu, media sosial yang kita lihat sehari-hari di layar juga menjadi alat interaksi bagi para penggunanya yang senang dengan melihat isi konten di media sosial dan tentunya memiliki efek pengaruh bagi dirinya, orang lain, dan bahkan agama.

Dalam perkembangan digitalisasi juga sangat berpengaruh dalam praktik keagamaan, pengaruh ini sudah masuk semenjak adanya revolusi industri, terutama pada revolusi industri 3.0 hingga 4.0 (saat ini) di mana kedua era tersebut memiliki dampak signifikan dalam kehidupan beragama kita sehari-hari. Pada revolusi 3.0 di mana pada saat munculnya era sebelum internet ditemukan microchip dan semikonduktor untuk perangkat komputer pertama dan Hukum Moore didefinisikan. Di era ini wacana pertama kali mengenai agama muncul pada tahun 1970 yang sebelumnya lebih populer di papan buletin publik atau sejenis mading, lalu berkembang pada Usenet dan Newsgroup (bahasa kasarnya adalah surat elektronik dan forum web). Dan pada tahun 1983 berdirinya net.religion yang isinya adalah forum khusus yang membahas mengenai diskusi-diskusi agama. Di forum ini kita bisa memamerkan keyakinan kita dan juga mengkritik keyakinan orang lain, topik umum yang dibicarakan biasanya mengenai Al-kitab dan mukjizat Tuhan.

Berlanjut pada era pasca internet di mana Google dan Facebook didirikan, internet sudah tersedia untuk umum, dan penggunanya sudah mencapai satu miliar orang di seluruh penjuru dunia. Sekitar tahun 1990-an kelompok-kelompok agama sudah banyak yang bisa menggunakan internet dan mulai menganalisis kasus-kasus empiris yang ada di internet, serta istilah seperti “dunia maya” dan “agama maya” mulai digunakan. Lalu pada awal 2000-an adanya pembedaan antara agama online yang menunjukkan kelompok-kelompok yang sudah mapan dalam penggunaan internet dan kelompok yang menggambarkan praktik-praktik interaktif yang sebagian besar atau secara eksklusif dilakukan secara daring (Evolvi, 2022).

Revolusi selanjutnya adalah revolusi yang kita rasakan dampaknya hingga saat ini, yaitu 4.0, di mana era seluler berkembang. Pada saat Steve Jobs merilis Iphone pertamanya di tahun 2007 yang memunculkan revolusi seluler dan menjadi smartphone seperti saat ini, lalu berkembang pesatnya software atau perangkat lunak, dan istilah “transformasi digital” diciptakan. Dengan adanya smartphone yang kita gunakan dan media sosial sebagai alat interaksi menciptakan konten-konten atau informasi yang tersedia. Media sosial ini bermanfaat untuk kampanye moderasi beragama karena pengaruhnya yang dapat mencuri perhatian publik melalui konten-konten yang dibuat dan dibagikan sebagai pendorong pergerakan atau people power; contohnya seperti Facebook, Instagram, dan Tik Tok. Lalu muncul juga platform online yang tujuannya sebagai alat bimbingan atau konsultasi bagi orang-orang yang mengikuti keagamaan; seperti Muxlim TV, GodTube, Online Christian, Hindu Kids, dan lain-lain. Dan praktik dakwah online yang diselenggarakan di ruang online memberi sekat kebebasan bagi jamaah untuk merespons isi dakwah secara terbuka dan langsung (Umi Kulsum, Arief Subhan, Deden Mauli Darajat, 2021).

Yang terakhir adalah era di mana pandemi terjadi tiga tahun lalu yang justru mempercepat inovasi digital, di mana perusahaan dipaksa memikirkan kembali bagaimana mereka melayani pelanggan mereka di dunia yang tidak bersentuhan dan dalam jarak jauh. Di sini AI semakin berkembang dan maju, ditambah lagi munculnya machine learning seperti ChatGPT (Paige, 2023).

Baca Juga: Menilik Posisi Agama di Abad ke-21
Agama dan Ekologi: Mencari Keseimbangan Harmonis antara Kemanusiaan dan Alam Semesta
Media Massa Diingatkan agar Menghindari Politisasi Agama dengan Menerapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman

Dampak Digitalisasi pada Agama

Dengan semakin berkembangnya digitalisasi, dampak digitalisasi terhadap agama mulai terlihat manfaatnya. Dari katedral yang menjulang tinggi hingga sajadah sederhana, agama yang dulunya berakar pada ruang fisik sekarang berubah di era digitalisasi ini, mulai terjadi fenomena di mana keyakinan berjalan melalui dunia digital, menghubungkan umat beriman di seluruh benua dan memicu revolusi dalam ekspresi keagamaan dengan mengakses kitab suci hanya dengan satu ketukan, mendengarkan khotbah yang dibisikkan oleh para imam terkenal di seluruh dunia, atau mengikuti dialog antaragama yang diselenggarakan di katedral virtual. Adanya berbagai realitas yang dijalin oleh digitalisasi, yang menawarkan banyak manfaat bagi semua orang dari semua agama.

Bagi umat beragama, batas baru ini menawarkan segudang peluang. Saat ini, internet telah menjadi perpustakaan yang luas dan mudah diakses, di mana teks-teks keagamaan dari seluruh penjuru dunia hanya berjarak satu kata pencarian. Baik Anda mempelajari seluk-beluk sutra Budha kuno atau mencari penafsiran kontemporer terhadap Al-Quran, digitalisasi menempatkan kearifan keagamaan dunia di ujung jari Anda.

Namun keuntungannya tidak berhenti pada akses informasi, kita bisa berhubungan dengan rekan-rekan seiman dan pemimpin spiritual, tidak hanya dalam komunitas lokal Anda, namun juga lintas benua dan budaya. Platform digital menumbuhkan permadani wacana keagamaan yang dinamis, tempat percakapan menjembatani lautan dan zona waktu. Dialog global ini tidak hanya meruntuhkan hambatan geografis namun juga memupuk toleransi dan pemahaman. Saat kita menghadapi berbagai perspektif dan tradisi, keyakinan kita semakin dalam, diperkaya oleh pengalaman manusia (Mahan, 2017).

Digitalisasi bukan hanya tentang pengetahuan dan koneksi, ini juga merupakan kanvas untuk kreativitas dan ekspresi. Para ulama dan seniman menemukan cara inovatif untuk menyebarkan keyakinan mereka melalui media digital. Musik yang membangkitkan semangat, seni yang menggugah pikiran, dan bahkan permainan religi yang menarik kini bermunculan, menawarkan interpretasi segar atas kebenaran kuno bagi khalayak modern. Ekspresi digital ini tidak hanya memikat hati dan pikiran generasi muda namun juga memberikan kehidupan baru ke dalam tradisi lama (Communications, 2018).

Berkat terjadinya digitalisasi, para pemimpin agama tidak lagi sekadar gembala yang menggembalakan umatnya di dalam tembok yang kokoh. Sebagai contoh seorang imam, yang dulu suaranya terbatas pada keheningan masjid, kini diperkuat ribuan kali lipat melalui khotbah-khotbah yang viral di YouTube. Ia tidak hanya menjangkau jemaat setempat, namun juga menjangkau hati seluruh benua, mengobarkan iman dengan kebijaksanaannya dan menjembatani kesenjangan budaya hanya dengan satu tombol. Dia melibatkan kaum milennial, merangkai kebenaran kuno ke dalam kehidupan digital mereka, membangun jembatan pemahaman di setiap langkahnya (Giulia Isetti, Elisa Innerhofer, Harald Pechlaner, Michael de Rachewiltz, 2020).

Di dunia digital, agama dapat mempererat hati antara sesama berkebudayaan agama. Sebagai contoh jutaan orang di seluruh dunia saling merayakan pesta dan acara melalui internet di mana mereka dapat di satukan oleh #MerryChristmas yang sederhana. Ini adalah paduan suara lagu-lagu Natal secara virtual, sebuah adegan kelahiran Yesus digital di mana jarak semakin menjauh dan iman yang sama menjadi mercusuar yang bersinar di malam baik secara daring maupun luring. Ada juga aplikasi seperti Muslim Pro, sebuah aplikasi yang bukan sekadar kalender, melainkan bisikan doa di saku Anda. Ke mana pun Anda menjelajah, ia memandu Anda arah kiblat untuk beribadah, memandikan telinga Anda dengan ayat-ayat Al-Quran, dan bahkan membantu Anda menemukan restoran halal yang sulit ditemukan. Ini adalah alat bantu bagi yang beragama Islam yang dimasukkan ke dalam ponsel cerdas Anda.

Situs web pun dapat digunakan sebagai contoh. Situs YouTube telah menjadi katedral dengan satu miliar bangku, yang menjadi tempat khotbah dari seluruh penjuru dunia. Bayangkan mendengarkan seorang biksu Buddha yang mengajarkan kewaspadaan dari biara di Himalaya, lalu beralih ke penginjil berapi-api yang berkhotbah dari atap gedung di Brooklyn. Ini adalah hamparan spiritualitas, toko serba ada untuk memperdalam iman Anda atau menemukan sesuatu yang baru.

Namun agama di era digital bukan hanya soal konsumsi pasif. Ini tentang komunitas, tentang berkumpul di sekitar api unggun virtual dan berbagi kehangatan keyakinan bersama. Skype menjadi ruang sakral untuk pembelajaran Alkitab antaragama, sementara Zoom berubah menjadi lingkaran doa digital, tempat suara-suara muncul secara serempak di seluruh benua. Dinding pemisahan fisik runtuh, digantikan oleh kuil digital tanpa batas tempat hati terhubung melalui layar dan doa.

Dampak Buruk Media Sosial terhadap Keagamaan

Meskipun media sosial dapat menawarkan keunggulan-keunggulan dalam penggunaannya, akan tetapi tidak selalu nyatanya bahwa media sosial merupakan hal yang positif bagi masyarakat. Salah satu dampak negatif dalam penggunaan media sosial oleh masyarakat dalam ranah keagamaan adalah bahwa media sosial berpotensi melanggar keyakinan agama seseorang (BAAZEEM, 2020). Hal ini tidak heran terjadi karena sesungguhnya, media sosial dapat mengubah cara pandang seseorang terhadap kehidupannya dengan informasi maupun berita yang diperolehnya melalui media sosial (Nanda, 2021).

Contoh kasus dari dampak negatif media sosial terhadap keagamaan adalah ketika seorang pengguna media sosial TikTok asal Medan ditangkap Polisi karena telah diduga menghina agama Kristen. Tindakan terdakwa tersebut dilakukan melalui siaran langsung di aplikasi TikTok. Polrestabes Medan menjelaskan bahwa video siaran langsung tersebut telah viral di antara masyarakat. Terdakwa diduga telah menghina agama Kristen dalam video yang berdurasi 3 menit 34 detik itu. Selain itu, terdakwa juga menghina hewan domba yang merupakan simbol dalam keagamaan Kristen karena telah menyinggung kemiripannya dengan ikon dari film kartun Shaun The Sheep (POLRESTABES MEDAN, 2023).

Berdasarkan contoh kasus tersebut, tindakan terdakwa itu dapat mendorong kebencian di antara masyarakat luas terhadap agama Kristen, mengingat bahwa TikTok sebagai platform media

sosial yang dapat menyebarkan informasi-informasi kepada ratusan juta masyarakat. Apabila masyarakat tidak mengelola informasi yang disampaikan oleh terdakwa dengan bijak, maka informasi itu dapat menggiring sudut pandang mereka terhadap agama Kristen, misalnya mereka akan menganggap agama Kristen sebagai agama yang tidak serius, sehingga mereka akan ikut serta dalam menghina agama itu.

Dengan kemajuan teknologi yang sudah semakin instan ini mudah timbulnya isu kontroversi, yakni media sosial dapat digunakan untuk melakukan adu domba antar sesama. Contoh dari isu tersebut adalah penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk membuat salah satu politikus ataupun calon petinggi negara seperti berbicara akan sesuatu yang dapat menimbulkan konflik, meskipun sesungguhnya pembicaraan itu tidak pernah mereka ucapkan. Oleh sebab itu, masyarakat harus mencari informasi mengenai berita dari sumber yang terverifikasi, sehingga dapat menghindari konflik yang bias akan kebenaran informasinya. Selain itu, terdapat berita yang benar adanya namun hanya akan menimbulkan konflik. Salah satu contohnya adalah masalah peperangan antara Israel dengan Palestina yang mengakibatkan timbulnya berita mengenai pemboikotan produk. Pemboikotan produk merupakan hal yang baik, akan tetapi dampak yang dihasilkan dapat mengurangi lapangan pekerjaan. Kemiskinan dapat meningkat sebab perusahaan yang memiliki produk boikot tersebut dapat rugi dan berakhir tutup, sehingga para pekerja dilakukan pemberhentian kerja paksa oleh perusahaan itu (PHK). Oleh karena itu, masyarakat sangat diharapkan untuk dapat mencari sumber terverifikasi serta berpikir logis dan kritis dalam memahami dan menanggapi isi media, supaya tidak adanya sifat radikalisme terhadap objek atau subjek tertentu.

Kesimpulan dan Saran

Agama dan digitalisasi memanglah sangat erat hubungannya, dengan adanya digitalisasi agama dapat terbantu oleh perkembangan teknologi seperti khotbah di media sosial, memberikan ayat di media, serta hal lain sebagainya yang dapat membantu penyebaran agama tersebut tetapi bisa saja bertentangan karena dengan adanya digitalisasi semakin maju maka banyaknya pendapat dari berbagai pihak sehingga saling menolak akan keberadaannya. Melalui tumbuhnya teknologi ini kita harus bisa menggunakannya secara bijak dan beretika agar tidak timbulnya perpecahan yang diakibatkan oleh isu agama.

Kemajuan teknologi ini pun kita bisa untuk bertukar pikiran satu dengan yang lain melalui berinteraksi menggunakan media sosial sehingga dapat menimbulkan gagasan baru mengenai suatu hal sehingga bisa mendapatkan ilmu yang baru dari berbagai perspektif agama. Dalam konteks ini, agama digital dapat memberikan gagasan spiritual dan religius berbasiskan media elektronik dan ruang maya dalam menyikapi tantangan global dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kualitas relasi gender, menyalurkan fasilitas, dan demikian lain sebagainya. Oleh karena itu dunia digital dapat dipenuhi oleh konten yang positif serta membangun pemikiran tanpa menyinggung ataupun tidak bersifat kontroversial mengenai isu, ajaran serta simbol agama tertentu sehingga dapat menimbulkan masyarakat digital yang cerdas, damai, transformatif dan berkelanjutan (Maulana, 2022).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//