Demonstrasi Orang Tua di Gedung Sate, Mempertanyakan Mengapa Ijazah Anak Mereka Ditahan Sekolah
Kasus penahanan ijazah oleh pihak sekolah marak di Jawa Barat. Menahan ijazah berdampak negatif pada mental dan masa depan anak.
Penulis Emi La Palau17 Januari 2024
BandungBergerak.id - Sejumlah orang tua siswa dari berbagai jenjang pendidikan menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 17 Januari 2024. Mereka menuntut hak atas ijazah anak-anaknya yang ditahan oleh pihak sekolah.
Mereka membawa sejumlah spanduk yang berisi tuntutan. “Menahan ijazah anak, menghancurkan masa depan anak”, “Penahanan ijazah siswa menciptakan pengangguran”, demikian tuntutan mereka.
Tak hanya itu, orang tua yang berdemonstrasi itu mengenakan pakaian seragam sebagai simbol perlawanan terhadap sekolah yang menahan ijazah anak-anak mereka. Ada yang mengenakan seragam sekolah menengah pertama (SMP), ada yang mengenakan seragam sekolah menengah atas (SMA).
“Kami tergabung dalam kumpulan orang tua yang ijazahnya tertahan hingga saat ini. Kami memohon dengan sangat kepada khususnya gubernur, wali kota, kami mohon kami membutuhkan ijazah itu untuk anak-anak kami ingin melanjutkan sekolah,” ungkap Ajat, orang tua siswa yang mengenakan pakaian seragam SMP, dalam orasinya.
“Kami mohon dengan sangat, peduli dengan kami. Segera turunkan ijazah itu kami sangat membutuhkan,” tambahnya.
Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Furqan AMC memaparkan, hingga saat ini pihaknya telah menerima sebanyak 414 aduan masyarakat terkait penahanan ijazah. Mulai dari berbagai jenjang pendidikan tingkat TK hingga jenjang SMA/SMK, sekolah negeri maupun swasta.
Aduan itu berasal dari berbagai daerah dengan rincian: 41 kasus sekolah negeri dan 371 kasus dari sekolah swasta. Di Kota Bandung sendiri ada 281 laporan, Kota Cimahi 44 laporan, Kabupaten Bandung 54 laporan, Bandung Barat 20 kasus, Garut 3 kasus, Bogor 2 kasus, dan Subang, Kuningan, Tasik, Purwakarta, Bekasi masing-masing satu kasus.
Penahana ijazah ini sudah berlangsung cukup lama, ada yang sejak tahun 2002 hingga yang terbaru di tahun 2023. Menurut Furqan, kasus penahanan ijazah merupakan fenomena gunung es. Kasusnya banyak terjadi dan dialami oleh masyarakat. Pemerintah seharusnya menjamin kepastian pendidikan anak-anak.
“Menahan ijazah dengan alasan adanya tunggakan dengan berbagai alasan, hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang,” kata Furqan, dalam orasinya.
Penahanan ijazah dinilai berdampak pada mental dan masa depan anak. Anak-anak menjadi minder dan tidak percaya diri. Furqan mencatat, banyak di antara mereka yang tidak bisa bekerja atau melanjutkan pendidikan.
“Sebagian banyak diantara mereka tidak bisa mendapatkan fotokopian, padahal mau melamar kerja, tidak sedikit perusahaan meminta ijazah asli,” ungkap Furqan.
Dalam aksi ini, pemerintah dalam hal ini gubernur, wali kota, bupati diminta turun tangan untuk menyelesaikan kasus penahanan ijazah dengan mengeluarkan ijazah yang menjadi hak anak. Aksi ini juga menuntut pemerintah menindak tegas pihak penyelenggara pendidikan atau sekolah yang menahan ijazah anak.
“Dan kami juga minta bapak gubernur, wali kota, bupati untuk mengevaluasi dinas pendidikan terkait maupun para penyelenggara terkait agar penahanan ijazah tidak terulang kembali di masa akan datang,” kata Furqan.
Baca Juga: Pengaruh Pendidikan Modern Mesir pada Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia
Mengenal Penyebab Diskriminasi Gender di Dunia Pendidikan
Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat
Penahanan Ijazah Selama 5 Tahun
Santi Haidir (43 tahun), tak kuasa menahan tangisnya ketika ditanya oleh awak media. Warga Sukaluyu ini bersama orang tua siswa lainnya mengikuti aksi damai ini.
Santi menjelaskan, sudah selama lima tahun sejak 2018 hingga saat ini ijazah anaknya masih ditahan sekolah. Ia berulang kali mesti bolak balik ke salah satu SMA di seputaran Bandara Husein Sastra Negara, Kota Bandung. Namun usaha ini tak pernah mebuahkan hasil.
Ijazah anak Santi ditahan sebagai jaminan dari pihak sekolah agar mereka membayar tunggakan sebesar 1,6 juta rupiah. Kendala ekonomi membuat Santi belum mampu untuk melunasi tunggakan.
Terakhir kali, Santi mesti kembali ke sekolah untuk meminta ijazah karena sang anak akan wisudah sarjana, ada persyaratan yang mesti menyertakan ijazah. Ia diharuskan membayar 300 ribu rupiah untuk mendapat legalisir ijazah, tapi tidak bisa mendapat ijazah asli. Ironisnya, anak Santi lainnya juga mengalami penahanan ijazah sejak 2021.
“Saya mohon saya hanya bisa menyambung, jangan putuskan harapan anak kami,” ungkap Santi.
Orang tua siswa lainnya, Gina (47 tahun) datang dari Tanjung Sari, Sumedang untuk mengikuti aksi ini. Sejak 2019, dua anak Gina yang bersekolah di Kota Bandung tertahan ijazahnya. Anak pertama di SMA dan anak kedua di SMP. Masalah utamanya, sekolah menahan ijazah karena ia belum mampu membayar tunggakan.
Gina dan sang suami adalah warga Kota Bandung. Ia mesti pindah ke Sumedang ketika usaha mebel sang suami bangkrut. Karena tak lagi ada usaha, ia terpaksa pindah sekeluarga ke Sumedang. Akibat bangkrut, biaya sekolah anak-anaknya tak dapat dibayar.
Di Sumedang, ia hanya bertahan dengan menjual kerupuk. Sementara suami sudah tak lagi bisa melanjutkan bisnisnya dan terpaksa hanya menganggur dan berkebun.
Anak pertama Gina ijazahnya ditahan karena menunggak biaya SPP SMA sebesar 2,5 juta rupiah. Sementara anaknya yang di SMP memiliki tunggakan sebesar 1,5 juta rupiah.
“Belum bisa dibayar karena suami nggak kerja, hidup dari dagang kerupuk. Sudah jual semuanya (barang-barang), suami stres, dia apa adanya, usahanya tersalip online. Pesenan susah, suami paling bantu-bantu saya, cuma berkebun,” katanya, yang mengenakan seragam SMP.
Hal serupa dirasakan oleh Fitria (42 tahun). Ia datang dari Buah Batu untuk ikut dalam aksi ini, meninggalkan tiga anaknya di rumah.
Sehari-hari, ibu rumah tangga tersebut menggantungkan sumber penghasilan dari suami yang kerja serabutan. Keanyakan suami bekerja mengeruk sampah, membantu memindahkan sampah dari pasar ke kontainer. Kadang suaminya kerja sampingan sebagai pengangkut sayur dan tahu di Pasar Kordon.
Fitria memiliki 5 anak, anak pertamanya sudah lulus SMK, namun tidak bisa bekerja ke perusahan karena ijazahnya masih tertahan. Ia bersyukur saat ini sang anak sudah mendapat pekerjaan di kafe, dengan persyaratan pihak kafe menahan akta kelahiran asli.
Fitria dan keluarga masih mengontrak rumah yang biayanya sebulan 800 ribu rupiah. Sementara penghasilan sang suami tak menentu, kadang hanya membawa pulang uang 50 ribu rupiah per hari yang habis untuk mengganjal biaya dapur.
“Kesulitan biaya makan, untuk makan masih kurang apalagi buat itu (biaya SPP). Harapannya, bisa dikasih aja ijazahnya. Biar anaknya kerjanya lebih baik gitu,” kata Fitria.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Emi La Palau atau artikel-artikel lain tentang Pendidikan