Melukiskan Anonim

Melukiskan “Anonim” sebagai usaha untuk memaknai masa kini (dan masa depan) melalui arsip, memori, dan masa lalu dalam sejarah kolonialisme yang kita miliki.

Theo Frids Hutabarat

Perupa dan Staf Pengajar di Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Lukisan Anonim di Gedung Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

29 Februari 2024


BandungBergerak.id – Hari-hari ini kita menghadapi fenomena terbukanya akses terhadap arsip dan koleksi masa kolonial Indonesia di berbagai repositori arsip digital lembaga dan institusi di seluruh dunia, khususnya di Eropa. Digitalisasi arsip dan koleksi ini dilakukan oleh museum, pusat studi dan penelitian, serta berbagai lembaga dan usaha perseorangan lain yang memiliki peran dalam mengumpulkan rekam jejak kehidupan masa kolonial, baik sebagai usaha pembentukan pengetahuan, kontrol sosial, ataupun koleksi pribadi. Salah satu bagian dari koleksi ini adalah arsip-arsip fotografi, yang mulai banyak dibuat semenjak beredarnya teknologi fotografi di koloni Hindia Belanda sekitar abad-19. Penelitian seni monumental ini secara khusus menyoroti arsip fotografi masa kolonial Indonesia tersebut.

Merentangnya jarak waktu dan perubahan struktur ideologis semenjak foto masa kolonial itu dibuat hingga akhirnya masuk ke repositori arsip lembaga-lembaga memperlihatkan suatu kondisi khas: jumlah foto yang sangat banyak dan beragam belum diimbangi dengan ketersediaan informasi yang menjelaskan tiap-tiap foto. Ketidaklengkapan informasi ini bisa merujuk pada beberapa hal, seperti nama pembuat foto atau fotografer, lokasi dan tahun pembuatan foto, dan deskripsi gambar di dalam foto, khususnya nama-nama orang yang terekam di foto tersebut, terlebih lagi ketika menyangkut subjek-subjek lokal.

Penulis menggarisbawahi hal terakhir tersebut, menyoal identitas dari subjek lokal yang tidak tercatat dalam repositori arsip fotografi masa kolonial, secara khusus dalam repositori arsip KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies). KITLV adalah sebuah lembaga penelitian sejarah, antropologi, linguistik, dan ilmu sosial yang didirikan sejak 1851 di Leiden, Belanda. Sejak awal terbentuknya, KITLV terlibat dalam proses membentuk bangunan pengetahuan mengenai masyarakat jajahan Belanda di wilayah Asia Tenggara, Pasifik, dan Karibia.

Persoalan nama yang tercatat (dan yang tidak) dalam repositori arsip KITLV ini menggambarkan pengakuan pada subjektivitas dan agensi seseorang yang kemudian merefleksikan struktur sosial dan struktur ideologi yang hidup masa itu (dan mungkin hingga kini). Ketika masa kolonial di Indonesia berakhir pada awal abad-20 lalu dan dilanjutkan dengan perjalanan panjang proyek dekolonisasi, fenomena di seputar aspek informasi pada repositori arsip fotografi masa kolonial ini memperlihatkan ruang lembam yang seakan beku di masa lalu.

Foto grup yang, antara lain, terdiri dari bupati-bupati Priangan bersama istri masing-masingDifoto oleh Charles & Co. (Bandung). (Sumber: KITLV)
Foto grup yang, antara lain, terdiri dari bupati-bupati Priangan bersama istri masing-masingDifoto oleh Charles & Co. (Bandung). (Sumber: KITLV)

Pengaruh Fotografi di Hindia Belanda

Sebelum fotografi ditemukan pada tahun 1839, penggambaran realitas dilakukan melalui lukisan, gambar, litografi, dan berbagai teknik artistik lainnya yang mengandalkan kerja tangan. Penggambaran secara visual ini secara langsung dipengaruhi oleh keputusan dan kemampuan si pencipta dalam merekam realitas sebagaimana yang dia pahami. Dalam konteks kolonialisme yang berkembang sejak abad ke-17 di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, kehadiran representasi visual dalam bentuk lukisan dan gambar turut membentuk dan memperlihatkan persepsi masyarakat kala itu mengenai realitas sosial dan lingkungan di wilayah koloni.

Salah satu kenyataan di wilayah koloni yang kemudian disebut sebagai Hindia Belanda tersebut adalah struktur sosial yang dibentuk secara rasial: masyarakat Eropa menempati posisi paling atas, penduduk asal Timur Asing (Arab, Cina, India) di posisi menengah, dan masyarakat lokal atau bumiputra di posisi paling bawah. Interaksi kompleks dalam struktur sosial inilah yang membentuk kehidupan di koloni masa itu, yang ditandai salah satunya dengan superioritas kalangan Eropa dan pemikiran Eurosentris. Dilihat dari perspektif ini, penggambaran realitas dalam bentuk lukisan dan gambar tidak melulu bisa dilihat sebagai penggambaran yang objektif, melainkan turut menggambarkan posisi dan cara pandang si pembuat dalam struktur sosial kala itu.

Namun sejak fotografi ditemukan, teknologi tersebut dianggap sebagai teknik penggambaran realitas yang paling objektif. Dengan mengandalkan cahaya dan reaksi kimiawi, fotografi bisa menangkap dan membekukan realitas di depannya. Teknologi ini turut masuk ke wilayah Hindia Belanda dan sejak 1840 sudah mulai digunakan dalam kapasitasnya membantu penelitian saintifik, kerja arkeologis, dan kegiatan perdagangan. Fotografi juga turut terlibat dalam ekspedisi militer, kerja misionaris, maupun penelitian antropologi yang menjelajah masuk sampai ke kedalaman pulau-pulau di Hindia Belanda. Belakangan, dengan merebaknya akses terhadap kamera dan perlengkapan fotografi, teknologi ini mulai dipraktikkan secara komersial, membentuk industri pariwisata, serta digunakan secara luas oleh fotografer amatir.

Nama-nama seperti Isidore van Kinsbergen, Kessian Cephas, Thilly Weissenborn dan studio-studio foto seperti Woodbury & Page dan O. Kurkdjian mewarnai praktik fotografi yang semakin berkembang memasuki abad ke-20. Keragaman praktik fotografi di masa kolonial ini turut memperlihatkan beragam pesan ideologis yang terekam dalam foto-foto yang dihasilkan pada masa itu. Foto-foto pesanan yang memotret pabrik-pabrik dan perkebunan memperlihatkan keunggulan dan kemajuan kehidupan di koloni yang kemudian melegitimasi kehadiran bangsa Eropa di Hindia Belanda. Di sisi lain, foto potret kalangan atas bumiputra berusaha memperlihatkan posisi dan kekuasaan yang mereka miliki.

Tumbuh pula kecenderungan foto bentang alam dan fotografi “type” yang memperlihatkan subyek lokal sebagai kategori yang eksotik. Latar foto yang indah, penggunaan kostum dan properti, lengkap dengan pose-pose yang diarahkan fotografer menggambarkan masyarakat lokal yang masih “asli” dan liyan. Foto-foto seperti ini membentuk imajinasi Eurosentris akan masyarakat jajahan dan menguntungkan secara komersial.

Di kiri, foto studio dari perempuan sedang menyelisik rambut perempuan lainnya karya Ali S.Cohan (Yogyakarta). Kanan, foto tiga anak kecil bersama pengasuh mereka di Hindia Belanda. (Sumber: KITLV)
Di kiri, foto studio dari perempuan sedang menyelisik rambut perempuan lainnya karya Ali S.Cohan (Yogyakarta). Kanan, foto tiga anak kecil bersama pengasuh mereka di Hindia Belanda. (Sumber: KITLV)

Selain kecenderungan-kecenderungan tersebut, tumbuh pula praktik fotografi amatir yang banyak merekam kehidupan sehari-hari. Perkembangan kota dan teknologi yang semakin maju sejak 1910-an terekam dalam foto amatir yang memperlihatkan kehidupan nyaman dan tenang. Tidak jarang foto-foto ini menangkap momen pelesir dan waktu bersantai di teras depan rumah. Namun dalam foto-foto yang merekam sekelompok orang, tidak jarang tertangkap subjek-subjek lokal yang menyisip di antara wajah-wajah Eropa. Subjek-subjek ini cenderung tidak berada di tengah foto, bahkan berada dalam posisi yang lebih rendah. Selain itu, ketika diakses melalui repositori arsip seperti KITLV, subjek-subjek lokal ini biasanya tidak tercatat namanya, hanya dideskripsikan menurut profesi yang mereka ampu, seperti pesuruh, pengasuh, atau supir.

Foto-foto keluarga penulis setelah terendam banjir. (Foto: Theo Frids Hutabarat)
Foto-foto keluarga penulis setelah terendam banjir. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

Foto sebagai Arsip

Memasuki abad ke-21, kehidupan di wilayah yang disebut sebagai Indonesia semakin berkembang dan fotografi turut menyertai perkembangan tersebut. Kamera fotografi menjadi benda yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga penulis adalah salah satu keluarga yang sejak dulu tidak asing dengan proses memotret menggunakan kamera. Dalam momen-momen berkumpul keluarga, momen-momen perayaan, dan berbagai momen lain, kesadaran untuk menyimpan dan membekukannya dalam bentuk lembar-lembar foto menjadi kebiasaan yang berkembang sejak lama. Kumpulan foto-foto ini pada akhirnya membentuk semacam “arsip” keluarga yang bisa ditelusur dari masa ketika orang tua penulis masih kecil, masa remaja dan dewasa mereka, hingga terbentuknya keluarga kami dan kehadiran penulis sebagai keturunan selanjutnya. Pengalaman melihat kumpulan foto keluarga menjadi pengalaman melihat kaleidoskop yang berisi potongan-potongan momen dalam kehidupan.

Namun dalam satu banjir pada tahun 2020, banyak dari foto-foto tersebut yang rusak. Gambar-gambar pada foto yang awalnya memperlihatkan wajah-wajah dan tempat-tempat yang dikenali akhirnya luruh dan meninggalkan jejak luntur yang abstrak. Bahan kimia yang tercetak di atas kertas foto bercampur dengan air banjir serta menempel satu sama lain. Tidak banyak yang menyisakan potongan-potongan gambar yang masih bisa dikenali. Tidak sedikit pula yang hanya menyisakan kertas foto yang hampir putih.

Berlawanan dengan foto-foto arsip masa kolonial yang tersimpan secara digital di repositori arsip KITLV, foto-foto keluarga penulis yang berwujud fisik menjadi benda yang rentan pada kondisi eksternal. Momen masa lalu yang “dibekukan” dan terekam sebagai foto ternyata masih terbuka bagi berbagai kemungkinan. Dalam bentuk fisiknya, kertas foto bisa luntur terendam banjir. Namun di sisi lain, dalam bentuk digitalnya, file foto arsip masa kolonial juga membuka kemungkinan untuk dimanipulasi secara digital pula. Tidak jarang kita temui foto masa kolonial yang “diwarnai” menggunakan aplikasi manipulasi foto digital maupun kecerdasan buatan. Fenomena ini bisa dilihat sebagai usaha untuk mendekatkan jarak dan mengenali masa yang lampau dengan pemahaman kita di hari ini. Melalui manipulasi warna, foto-foto masa kolonial tidak lagi terasa seperti merekam dunia asing yang jauh dari kita. Dunia yang mereka tinggali juga merupakan dunia yang kita tinggali sekarang.

Namun penulis juga melihat kemungkinan lain yang terbuka ketika mengolah foto dari repositori arsip KITLV, khususnya melalui foto keluarga penulis yang mengalami “kehilangan”. Dalam repositori arsip KITLV, banyak deskripsi subjek lokal yang tidak terdeskripsikan dengan baik dan cenderung anonim. Wajah-wajah subjek lokal yang terekam kamera kehilangan identitasnya. Pada titik lain, arsip foto keluarga penulis mengalami kehilangan gambar-gambar yang pernah terekam akibat luruh oleh banjir. Dengan mengaitkan dua kondisi yang sebelumnya tidak terhubung sama sekali ini, penulis “melukiskan anonim” sebagai usaha untuk memaknai masa kini (dan masa depan) kita, melalui arsip, memori, dan masa lalu, khususnya yang berkaitan dengan sejarah kolonialisme yang kita miliki.

Foto keluarga yang terpilih dan setelah dilubangi secara digital. (Foto: Theo Frids Hutabarat)
Foto keluarga yang terpilih dan setelah dilubangi secara digital. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

Di Balik Proses Kreatif “Melukiskan Anonim”

Kemudian penulis memilih satu dari ratusan foto keluarga yang sudah terendam banjir. Bentuk-bentuk abstrak yang tertinggal menawarkan berbagai kualitas visual yang berbeda satu sama lain, berdasarkan komposisi, warna, maupun teksturnya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, terpilih satu foto dengan kontras yang kuat, di mana sisa gambar masih jelas terlihat di bagian tengah foto, sedangkan sekelilingnya berupa bidang yang nyaris putih dengan lapisan tipis dan bercak warna dari foto sebelumnya.

Kemudian penulis membuat file digital dari foto tersebut sehingga bisa dimanipulasi. Penulis memilih bagian-bagian gambar yang tersisa dan area-area lain yang masih menyisakan warna cukup kuat. Bagian-bagian tersebut kemudian dihapus dan dibuat menjadi “lubang” untuk melihat foto arsip KITLV yang akan diletakkan di belakang foto keluarga tersebut.

Proses dilanjutkan dengan pencarian dalam laman repositori arsip KITLV, yang berada di Perpustakaan Universitas Leiden, melalui tautan http://digitalcollections.universiteitleiden.nl/. Dalam kotak pencarian di bagian kanan atas, kita bisa menuliskan kata kunci. Penulis memasukkan berbagai kata kunci yang berhubungan dengan pekerja domestik, seperti baboe (pesuruh), kokkie (koki), dan chauffeur (supir). Pencarian kata kunci tersebut menampilkan berbagai foto yang merekam pekerja domestik di masa Hindia Belanda.

Pencarian kata kunci dalam laman http://digitalcollections.universiteitleiden.nl/. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

Pencarian kata kunci dalam laman http://digitalcollections.universiteitleiden.nl/. (Foto: Theo Frids Hutabarat)
Kiri, KITLV A451 - European women with child and servant in the garden of a house at Wajanglaan 31 in Bandoeng. Kanan, KITLV 67630 - Baboe, presumably in the house of H. ter Brugge,working for the Bataafse Petroleum Company in Pematang Siantar. (Sumber: KITLV)
Kiri, KITLV A451 - European women with child and servant in the garden of a house at Wajanglaan 31 in Bandoeng. Kanan, KITLV 67630 - Baboe, presumably in the house of H. ter Brugge,working for the Bataafse Petroleum Company in Pematang Siantar. (Sumber: KITLV)

Setelah memasukkan berbagai kata kunci, pencarian penulis tertambat pada satu foto. Foto tersebut adalah foto koki keluarga E.W. van Veghel (atau van Vegchel) yang tinggal di Semarang sekitar tahun 1922.

Hasil pencarian dengan kata kunci kokkie. (Foto: Doklumentasi Theo Frids Hutabarat)
Hasil pencarian dengan kata kunci kokkie. (Foto: Doklumentasi Theo Frids Hutabarat)
KITLV A346 - De kokkie van de heer en mevrouw E.W. van Veghel te Semarang (The cook of Mr. and Mrs. E.W. van Veghel in Semarang). (Sumber: KITLV)
KITLV A346 - De kokkie van de heer en mevrouw E.W. van Veghel te Semarang (The cook of Mr. and Mrs. E.W. van Veghel in Semarang). (Sumber: KITLV)
Laman foto KITLV A346 - De kokkie van de heer en mevrouw E.W. van Veghel te Semarang. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Laman foto KITLV A346 - De kokkie van de heer en mevrouw E.W. van Veghel te Semarang. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)

Dari laman foto tersebut bisa dilihat beberapa hal, seperti penamaan file foto berdasarkan nama ‘Tuan dan Nyonya E.W. van Veghel’ dan bukan nama koki yang bersangkutan, dalam kolom informasi, foto ini masuk dalam kategori domestic workers, dan foto tersebut merupakan bagian dari album ‘KITLV A346’ yang berisi kehidupan sehari-hari dari keluarga E.W. van Veghel/van Vegchel. Beberapa foto lain dari album tersebut, antara lain:

Kiri, KITLV A346 - Two Javanese women do the laundry for the EW van Vegchel family in Semarang. Kanan, KITLV A346 - The houseboy of the Van Vegchel family. (Sumber: KITLV)
Kiri, KITLV A346 - Two Javanese women do the laundry for the EW van Vegchel family in Semarang. Kanan, KITLV A346 - The houseboy of the Van Vegchel family. (Sumber: KITLV)
Kiri, KITLV A346 - Teacher 1st class EW van Vegchel and his wife Truus van Vegchel in the garden at their house in Semarang. Kanan, KITLV A346 - EW van Veghel paints a portrait of the cook in the garden at his home in Semarang. (Sumber: KITLV)
Kiri, KITLV A346 - Teacher 1st class EW van Vegchel and his wife Truus van Vegchel in the garden at their house in Semarang. Kanan, KITLV A346 - EW van Veghel paints a portrait of the cook in the garden at his home in Semarang. (Sumber: KITLV)

Melalui foto-foto lain dalam album tersebut, kita mendapatkan beberapa informasi seperti nama istri E.W van Veghel/van Vegchel adalah Truss van Vegchel, kemungkinan profesi E.W van Veghel/van Vegchel adalah guru, dan keluarga tersebut memiliki beberapa orang pekerja domestik yang bekerja untuk mereka.

Namun dari sini terlihat ketimpangan informasi dalam repositori arsip KITLV tersebut. Kelas sosial keluarga van Veghel/van Vegchel yang (kemungkinan) berkebangsaan Eropa merupakan kelas sosial dengan gaya hidup yang berkecukupan (terlihat dari pakaian yang dikenakan suami istri van Veghel/van Vegchel dan deskripsi salah satu foto yang menyebutkan profesi E.W. van Veghel/van Vegchel adalah guru). Namun empat subjek lokal lain yang turut terekam dalam album foto tersebut hanya dideskripsikan sebagai koki (cook), dua perempuan Jawa (two Javanese women), dan pelayan rumah (houseboy). Tidak ada nama atau informasi lain mengenai mereka, selain pekerjaan yang mereka lakukan untuk keluarga van Veghel/van Vegchel.

Proses penamaan file dan deskripsi sering kali mengandalkan informasi yang tertera pada fisik album dan kertas foto sebelum proses digitalisasi. Hal ini turut membatasi informasi yang bisa diterakan pada repositori arsip foto. Menurut Liesbeth Ouwehand, staf KITLV yang turut terlibat dalam proses digitalisasi tersebut, ketiadaan informasi mengenai deskripsi arsip foto merupakan hal yang wajar (sesi Wicara “Photograph as Object“ dalam Extension Course Integrated Arts (ECIA) “Merangkul Jarak“ pada 16 November 2022). Banyak foto amatir dibuat sebagai dokumentasi pribadi atau untuk keperluan keluarga. Maka dari itu, ketika foto-foto ini masuk ke repositori arsip lembaga seperti KITLV (antara lain melalui sumbangan keturunan keluarga yang bersangkutan) informasi yang tersedia cenderung minim, bahkan absen. Memang terdapat foto-foto dengan informasi yang cukup jelas berdasarkan catatan yang tertera di balik kertas foto. Bahkan terdapat juga foto-foto dengan informasi yang sangat detil karena album fotonya berisi catatan yang dituliskan pemiliknya. Namun di luar kasus-kasus khusus tersebut, foto-foto masa kolonial masuk ke repositori arsip dengan membawa informasi yang minim selain gambar pada foto itu sendiri. Di sinilah peran staf KITLV untuk melakukan penamaan dan deskripsi singkat pada tiap foto yang didigitalisasi, dengan bersandar pada informasi visual yang bisa didapatkan di dalam tiap foto.

Mengacu pada proses tersebut pula, penulis mencoba untuk mengenali arsip foto KITLV melalui informasi visual yang ada di dalam foto tersebut. Koki keluarga van Veghel/van Vegchel bisa dikenali bukan melalui deskripsi pada judul file, melainkan kualitas visual pada foto koki tersebut. Proses ini merupakan jarak terdekat yang bisa penulis dapatkan ketika berusaha mengenali kembali sosok yang dinamai ‘koki keluarga van Veghel/van Vegchel’ tersebut. Informasi visual inilah yang nampaknya turut ditangkap oleh E.W. van Veghel/van Vegchel ketika melukis koki-nya (seperti pada foto dengan judul ‘KITLV A346 - EW van Veghel paints a portrait of the cook in the garden at his home in Semarang’). Namun tidak seperti E.W. van Veghel/van Vegchel yang bisa melukiskan koki tersebut secara langsung, penulis melukiskannya melalui segala keterbatasan informasi tekstual, disertai keleluasaan manipulasi digital yang kita miliki sekarang.

Melanjutkan proses manipulasi digital yang sudah dilakukan pada foto keluarga yang terpilih, penulis menumpuk kedua foto tersebut secara digital. Proses ini dilakukan tanpa memanipulasi foto koki, selain menyesuaikan ukuran dan proporsi kedua foto.

Kiri, Skema penumpukan foto keluarga dan foto koki. Kanan, hasil penumpukan foto keluarga dan foto koki. (Foto: Theo Frids Hutabarat)
Kiri, Skema penumpukan foto keluarga dan foto koki. Kanan, hasil penumpukan foto keluarga dan foto koki. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

“Lubang” yang sudah dibuat sebelumnya pada foto keluarga memperlihatkan sebagian kecil foto koki yang ada di belakangnya. Hasilnya adalah foto koki yang kehilangan banyak informasi visual, namun meninggalkan sedikit jejak yang masih bisa dikenali (sebagaimana foto keluarga penulis).

Hasil dari manipulasi digital ini adalah foto yang sesungguhnya tidak ada di dunia ini. Seakan foto koki dari repositori arsip KITLV mengalami banjir dan sulit untuk dikenali lagi gambarnya. Secara tidak langsung kedua foto tersebut bertemu pada tataran metafor, di mana kehilangan informasi visual (pada foto keluarga) analogis dengan kehilangan informasi tekstual (pada foto koki di repositori arsip KITLV). Namun dengan menumpuk kedua foto secara digital, kedua foto tersebut membentuk “foto ketiga” yang mengalami kehilangan ganda. Sensasi kehilangan ganda inilah yang menjadi landasan penulis untuk “melukiskan anonim”.

Proses memindahkan sketsa menggunakan proyektor. (Foto: Theo Frids Hutabarat)
Proses memindahkan sketsa menggunakan proyektor. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

Memulai Melukis

Penulis memulai proses pengerjaan lukisan dengan memindahkan sketsa digital ke atas kanvas dengan menggunakan bantuan proyektor. Dengan menelusur outline dari bentuk yang ada pada sketsa digital dengan menggunakan pensil, penulis memiliki panduan yang sekarang tertera pada kanvas. Panduan ini membantu penulis untuk menyusun komposisi lukisan secara keseluruhan dan memberi struktur pada proses pengerjaan selanjutnya.

Tahap selanjutnya adalah membuat lapisan pada area foto koki dengan menggunakan campuran lem putih dan serbuk marmer. Proses ini dilakukan untuk memberikan tekstur yang membedakannya dengan area sekelilingnya, sekaligus menandai area yang akan dilukis dengan merujuk pada lapisan gambar yang tersisa pada foto keluarga.

Pengerjaan lapisan pada bagian foto koki dan detail lapisan. (Foto: Theo Frids Hutabarat)
Pengerjaan lapisan pada bagian foto koki dan detail lapisan. (Foto: Theo Frids Hutabarat)

Tahap selanjutnya adalah membuat lapisan pada area foto koki dengan menggunakan campuran lem putih dan serbuk marmer. Proses ini dilakukan untuk memberikan tekstur yang membedakannya dengan area sekelilingnya, sekaligus menandai area yang akan dilukis dengan merujuk pada lapisan gambar yang tersisa pada foto keluarga.

Pengerjaan bagian latar. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Pengerjaan bagian latar. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)

Sampai pada tahap ini, sensasi visual yang terbentuk mendekati foto keluarga yang menyerupai lukisan abstrak. Setelah bagian latar cukup kering, penulis mengerjakan bagian foto koki yang merupakan bagian krusial dari lukisan ini. Melalui informasi visual yang minim, bagian foto koki ini memberi sensasi yang terbangun dari bentuk kebaya, bahu, peniti, dan detil-detil lain yang menyiratkan ‘sosok perempuan’. Tanpa informasi mengenai wajah koki, terbatas pada leher dan sebagian kecil rahang, sosok perempuan yang terlihat tenang pada foto tersebut terwakili melalui sebagian torsonya saja.

Pengerjaan bagian koki dan detail hasilnya. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Pengerjaan bagian koki dan detail hasilnya. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Hasil pengerjaan bagian koki. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Hasil pengerjaan bagian koki. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)

Selanjutnya lukisan memasuki tahap akhir yang merupakan tahap pengerjaan detail-detail yang merujuk pada sensasi “rusak” yang ada pada foto keluarga. Dengan menggunakan berbagai teknik, proses ini dilakukan secara intuitif. Sebagai tahap yang merangkum seluruh proses pengerjaan, pada tahap ini pula dilakukan penilaian pada sensasi yang dihasilkan lukisan secara keseluruhan.

Pengerjaan detail tahap akhir. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Pengerjaan detail tahap akhir. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Lukisan dengan judul Anonim. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Lukisan dengan judul Anonim. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)

“Anonim”

Lukisan berjudul “Anonim” ini berukuran 200 x 150 cm dan dibuat dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas. Sekarang lukisan ini terpasang di Gedung Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, di bagian depan gedung, dekat pintu masuk.

Setelah melalui proses ini, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa koki yang terlukis bukan lagi koki yang ada pada arsip foto KITLV, melainkan sosok koki yang penulis kenali melalui proses melukis. Dalam proses tersebut, subjek penulis melebur dengan subjek koki. Melalui informasi visual yang disediakan oleh arsip fotografis dan kualitas visual yang bisa dicapai oleh teknik dan material cat minyak, penulis berusaha mencari resonansi antara persepsi penulis akan sosok koki (yang tidak tercatat namanya atau anonim) dengan sensasi visual yang terhampar di depan penulis saat melukis. Seperti fotografer yang merekam momen di hadapannya menggunakan kamera, penulis menggunakan medium seni lukis untuk merekam resonansi tersebut di atas kanvas.

Lukisan Anonim di Gedung Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)
Lukisan Anonim di Gedung Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. (Foto: Dokumentasi Theo Frids Hutabarat)

Namun alih-alih “membekukan” momen seperti kerja kamera, proses melukis dan karakter material cat minyak yang cair memberi ruang bagi gerak pemaknaan yang mewujud dalam tiap goresan cat. Tarik-menarik antara bagian lukisan yang masih jelas dan bagian latar yang tipis dan menerawang menggambarkan persepsi yang disusun ulang menggunakan sisa-sisa informasi visual yang ada. Dengan ukuran yang jauh lebih besar dari ukuran foto yang menjadi rujukan, pengalaman berdiri di depan lukisan ini adalah pengalaman memandang persepsi kita akan masa lalu dan sejarah. Persepsi yang terkekang struktur pengetahuan yang beku ini sesungguhnya tidak utuh dan menuntut kita untuk melengkapi bagian-bagian yang hilang.

Dilihat dari perspektif ini, “anonim” tidak lagi menjadi konsep yang negatif. “Anonim” justru menjadi pintu masuk bagi praktik artistik seperti seni lukis untuk mengenali arsip foto dan menjalin keterhubungan baru dengan masa lalu. Dalam proses ini, melukis bisa dilihat sebagai usaha terhubung kembali dengan masa lalu dan sejarah secara empatik dan intuitif. Melalui proses melukis, arsip foto masa kolonial bisa dilihat entitas organik yang tumbuh dan berkembang seiring imajinasi dan pemaknaan yang bisa kita hidupi di hari ini dan masa depan. Lukisan ini memperlihatkan satu dari berbagai kemungkinan yang tak terbatas untuk merespons arsip, masa lalu, dan sejarah, secara artistik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//