• Opini
  • Si Paling Nyunda, Absurditas Aksara Sunda Baku dan Jejak Nahas Gerak Politik Orang Sunda

Si Paling Nyunda, Absurditas Aksara Sunda Baku dan Jejak Nahas Gerak Politik Orang Sunda

Pembentukan, pengalihan, atau sekadar penyederhanaan aksara bukanlah hal yang main-main dampaknya secara sosial dan politis.

Hady Prastya

Peneliti independen naskah kuna dan folklor Sunda

Kesalahan fatal tidak memahami huruf Sunda terlihat dalam penulisan nama Jalan Ir Sukarno di Jalan Asia Afrika. Jika dibaca, tulisan Sunda di plang jalan tersebut berbunyi Jl Ri. Seekaarano. Kesalahan ini sudah lama dibiarkan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

23 November 2024


BandungBergerak.id – Di media sosial sering ditemukan para SJW atau pahlawan kesiangan yang nyinyir terhadap kekeliruan penggunaan aksara Sunda baku terutama yang digunakan pada plang nama jalan. Mereka tidak sadar bahwa itu merupakan tindakan jahlul murakkab. Jika benar-benar tahu tentang aksara Sunda atau sedikit saja ada usaha menelusuri referensi lebih jauh dan dibekali akal yang waras, dalam aksara yang dibakukan itu terdapat banyak keganjilan.

Mungkin di sini saya perlu membuat sebuah kilas balik. Sebelum adanya aksara Sunda baku yang dimaksud aksara Sunda adalah aksara cacarakan sebuah aksara yang konon berasal dari Jawa (Mataram). Walaupun secara paleografis –ilmu tentang sejarah aksara– belum jelas dari manakah tipe aksara ini berasal, karena pengguna tipe aksara ini cukup luas, melewati batas-batas suku bangsa, dari barat pulau Jawa (bahkan aksara ini terdapat juga di Palembang) sampai timur ke pulau Lombok. Serta di tiap daerah hampir semuanya menyebut bahwa ini aksara sukunya, di Bali disebut aksara Bali, di Jawa disebut aksara Jawa, di Sunda disebut aksara Sunda. Memang, meskipun secara tampilan sangat identik tiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing.

Sampai saat ini dalam Kamus Umum Bahasa Sunda yang dikeluarkan Lembaga Basa & Sastra Sunda, lema cacarakan masih diperikan aksara Sunda. Semoga saja tidak ada bukti paleografis terbaru yang membuktikan bahwa tipe carakan atau cacarakan ini bermula dari Sunda, kalau ada pastinya akan sangat memalukan.

Pewacanaan aksara yang murni Sunda muncul kurang lebih setengah abad lalu, orang yang menggulirkan isu itu adalah Rukasah dalam tulisannya yang berjudul “Naha Aya Aksara Sunda?” (Apakah Ada Aksara Sunda?) pada terbitan pertama majalah Kiwari Juni 1957, ia menekankan untuk digunakannya aksara yang lebih mencerminkan jati diri orang Sunda. Entah sebab apa ia menggunakan sandi asma Sungkawa –yang secara harfiah berarti prihatin– apa karena takut menyulut amarah orang-orang hasil didikan kolonial yang pada masa itu masih berkeliaran.

Baca Juga: Refleksi Budaya Politik Sunda dan Kegagalan Ridwan Kamil Menjadi CawapresMenemukan Wahyu Wibisana

Aksara Sunda

Jika kita melihat peristiwa beberapa bulan sebelumnya yaitu pada November 1956, di bulan itu diadakan Kongres Pemuda Sunda. Gaung emosional dari kongres ini sangat terasa pada tulisan Rukasah, terutama tentang pencarian jati diri orang Sunda dan sentimen anti Jawa. Cacarakan dianggap aksara penjajah, dibawa Sultan Agung ketika berekspansi ke Priangan. Rukasah menegaskan bahwa orang Sunda memiliki aksara sendiri dengan bukti yang dibawakan oleh C. M. Pleyte –seseorang dari golongan penjajah juga, namun dari arah barat dan berkulit putih– yaitu aksara dari teks Carita Waruga Guru.

Di kalangan ahli Sunda kuna, teks Carita Waruga Guru digolongkan dalam teks-teks Kai Raga, nama penulis yang kadang diterakan di bagian akhir teks-teks itu. Teks Kai Raga memiliki tipologi dan ortografi yang khas, bahkan ganjil, ada kemungkinan bahwa si penulis tidak memiliki ketersambungan langsung dengan ”tradisi” Sunda kuna, ditambah dalam tradisi teks Sunda kuna penyebutan nama penulis bisa dibilang hal yang jarang, apalagi ini ada dalam banyak teks. Tipe aksara yang disodorkan Rukasah ini yang beberapa dekade kemudian, tanpa kajian yang matang serta sedikit bumbu reduksi dan dekonstruksi, ditetapkan sebagai “Aksara Sunda Baku”.

Jika pun kita menggunakan aksara dari teks yang kita sebut naskah “Sunda kuno” sebagai aksara Sunda baku dan dengan metode yang waras, saya memiliki kecurigaan bahwa teks-teks Sunda kuna yang sampai kepada kita itu hanya dipergunakan pada lingkup agamawan saja. Mungkin sekali teks-teks itu seperti teks-teks Merapi-Merbabu yang hanya beredar di kalangan kamandalaan itu saja. Selain adanya bukti bahwa kalangan agamawan Sunda kuna berhubungan dengan agamawan Merapi-Merbabu, kesamaan dari kedua tradisi ini adalah tidak ditemukannya teks yang bersifat sekuler. Teks-teks Merapi-Merbabu juga memiliki aksara yang khas, secara tipografis sangat berbeda dengan aksara carakan Jawa.

Jika cacarakan adalah akibat ekspansi Mataram, bagaimana cara aksara ini bisa melekat dan disebut juga aksara Bali? Padahal jangankan Bali, ujung timur pulau Jawa saja tidak pernah dikuasai Mataram Islam sepenuhnya. Hal ini bisa jadi pertimbangan tambahan, bahwa ada kemungkinan lain selain ekspansi Sultan Agung yang menyebabkan cacarakan ada di Sunda. Aspek geohistoris seperti yang dibuktikan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, sepertinya perlu diperhitungkan.

Meskipun tidak bermaksud secara langsung untuk mengkritisi aksara Sunda baku dalam disertasinya The Sundanese Script: Visual Analysis of its Development into a Native Austronesian Script di Institut für Medienforschung Hochschule für Bildende Künste, Braunschweig, Eka Noviana membuktikan apa yang ”disederhanakan” dari aksara Sunda kuna kemudian menjadi aksara Sunda baku, justru membuat identitas karakter-karakter pada aksara Sunda berkurang, sehingga keterbacaannya menjadi semakin sulit. Apalagi jika kita melihat ke belahan dunia lain, apa yang dilakukan Khubilai Khan, Sejong, Mao Zedong, sampai Kemal Ataturk: pembentukan, pengalihan, atau sekadar penyederhanaan aksara bukanlah hal yang main-main dampaknya secara sosial dan politis.

Sebenarnya kita juga pernah mengalami, meskipun tampaknya sederhana perubahan ejaan dari Van Ophuysen ke Suwandi, dari Soewandi ke Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dampaknya cukup signifikan. Dari tulisan Joss Wibisono Maksud Politik Jahat yang berisi mukhtasar terhadap pemikiran Benedict Anderson perihal bahasa, terlihat dengan EYD orde Harto cukup efektif untuk pelupaan sejarah, dan jadi bukti kediktatoran rezim tersebut. Oleh karena itu orang-orang penyusun aksara Sunda baku juga termasuk yang mendiamkannya bisa disebut memiliki dosa besar. 

Palagan Orang Sunda

Sebagaimana dikisahkan Ajip Rosidi dalam autobiografinya Hidup Tanpa Ijazah, Kongres Pemuda Sunda merupakan implikasi dari keputusan pemerintah ‘pusat’ yang kurang bijak menyikapi mantan pejabat Negara Pasundan pasca dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS). Juga sikap labil perintah dalam menangani pemberontakan DI/TII yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo. Pada saat itu tanah Sunda menjadi palagan dan orang-orangnya menjadi bulan-bulanan, hingga muncul sebuah pemeo “Pa Karto perang jeung Pa Karno, nu jadi korban Mang Karta jeung Mang Karna.” (Pak Karto(suwiryo) berperang dengan Pak (Su) Karno yang menjadi korban Mang Karta jeung Mang Karna). Orang Jawa umumnya bernama dengan bunyi akhir vokal o sedangkan orang Sunda dengan vokal a.

Tapi memang jika pandangan kita alihkan pada waktu yang lebih belakang, tanah Sunda gemar menjadi gelanggang atau bulan-bulanan dari dua kekuatan politik di timur dan baratnya, Sriwijaya vs Medang, Portugis (Malaka) vs Demak, Belanda (Batavia) vs Mataram Islam. Dari pertikaian ini kadang terlahir badut-badut politik yang berasal dari penguasa lokal, yang mengemis perlindungan pada pihak yang lebih menguntungkan. Pertunjukan dari masa kolonial masih dapat kita lihat bagaimana para badut tersebut menjalankan sebuah Negara Teater seperti yang dituliskan Clifford Geertz “mendramatisir obsesi-obsesi kelas yang berkuasa” dan yang lebih buruk menggunakan “ketimpangan sosial dan kebanggaan status” bukan untuk keserakahan dirinya sendiri saja tapi juga diperas untuk menjilat orang “pusat”. Makanya tidak heran apabila saat ini kita melihat “ritual-ritual” dan “artefak-artefak” seperti, rebo nyunda, penggunaan pangsi dan iket, juga aksara Sunda baku terus dirayakan meskipun secara bukti historis dan etnografis bisa disebut artifisial. Ironisnya golongan terpelajar ikut-ikutan membeo dalam festival itu.

*

Bukannya tidak ada, contohnya Ali Sadikin keturunan menak Sumedang cukup sukses untuk berpolitik di lingkaran pusat. Tapi, mungkin untuk saat ini juga belahan barat pulau Jawa hanya menjadi gelanggang untuk banteng dan satwa lainnya beradu. Maraknya aktor dan aktris di Jawa Barat yang maju kancah politik bisa jadi cerminan dalam alam bawah sadar orang Sunda panggung politik hanya sebuah reality show, yang menjadi bumbu dalam berbual ketika ngadu bako. Isu primordialisme juga masih laku keras di bursa politik elektoral, kadang saham ini berubah jadi bom waktu yang merugikan segala pihak. Makanya, jangan dicoba ya, Bung! Perlu diingat famili Felidae memiliki penciuman yang tajam dan menggunakan urine untuk menandai zona mereka. Tentunya tukang sirkus yang pernah mengasuh maung Bandung akan sangat mencurigakan jika serta-merta menjinakkan macan Kemayoran, bila jadi pun kemungkinan hanya jadi tikus mainan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang budaya Sunda

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//