Menemukan Wahyu Wibisana
Mengenang satu dekade meninggalnya Wahyu Wibisana, seniman dan sastrawan yang besar jasanya pada kebudayaan Sunda.
Hady Prastya
Peneliti independen naskah kuna dan folklor Sunda
13 November 2024
BandungBergerak.id – Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa karésmén adat atau “upacara adat Sunda” ketika menjemput mempelai pria dalam pernikahan adat Sunda dibuat oleh seseorang pada dekade 60-an. Yang pada praktisnya upacara penyambutan ini tidak hanya untuk pengantin saja, kadang-kadang digunakan untuk seseorang yang dianggap mulia lainnya, seperti pegawai pemerintah. Saking melekatnya pada masyarakat, jika disebut “upacara adat” orang Sunda pasti akan langsung mengingat seremonial itu. Orang itu adalah Wahyu Wibisana, sebagaimana disebut dalam Ensiklopedi Sunda yang disusun oleh Ajip Rosidi dkk. “Tentu saja ‘upacara adat’ itu hanya rekaan belaka dan karena itu Wahyu menamakannya ‘upacara karesmén’, yakni bentuk upacara yang enak ditonton dengan memadukan berbagai unsur budaya Sunda.” di antara saksi hidup diciptakannya “upacara adat” ini adalah Lili Suparli yang sekarang menjabat sebagai wakil dekan di Fakultas Seni Pertunjukan ISBI, Bandung.
Wahyu Wibisana lahir di Cisayong, Tasikmalaya pada 19 Januari 1935, di kalangan sastra Sunda ia lebih dikenal dengan sajak-sajak dan cerpen-cerpennya. Meski baru sebagian kecil dari karya tulisnya yang sudah berbentuk buku, karya tulis Wahyu menjadi semacam buku wajib yang mesti dibaca bagi sastrawan Sunda terutama bagi pemula. Kepengarangan Wahyu Wibisana sangat besar pengaruhnya pada sastrawan Sunda setelahnya, termasuk Godi Suwarna. Yang pada akhirnya Godi Suwarna memiliki pengaruh yang sama seperti Wahyu Wibisana dalam sastra Sunda.
Saya sendiri hanya sedikit membaca karya sastra Wahyu Wibisana, saya lebih banyak kenal dengan karya Wahyu yang sudah berbentuk kawih (nyanyian), hasil kolaborasi antara Wahyu Wibisana dan komposer Sunda Koko Koswara, seniman yang lebih beken dengan sebutan Mang Koko itu. Kerja sama lintas bidang dengan intensitas yang panjang, hal yang mungkin tidak pernah ditiru oleh seniman-sastrawan Sunda yang lain. Apakah hal ini dipengaruhi oleh ikatan emosional karena Mang Koko juga berasal dari Tasik, tepatnya Indihiang?
Meskipun Wahyu lebih muda terpaut hampir dua puluh taun, dari kesaksian putri Mang Koko Ida Rosida, Mang Koko cukup menaruh respek pada Wahyu, dan tentunya Wahyu menaruh hormat pada Mang Koko. Dari beberapa penutur, Wahyu Wibisana sendiri yang mendatangi dan meminta kepada Koko Koswara agar sajaknya dijadikan lagu. Kadang ketika proses pembuatan lagu ada beberapa kata yang menurut selera Mang Koko kurang pas, Wahyu Wibisana tidak jumawa dan merasa keberatan jika kata-kata tersebut diubah. Dari lirik-lirik yang dibuat Mang Koko sendiri serta beberapa tulisannya, kita tahu bahwa Mang Koko cukup mahir dalam berbahasa. Dari kesaksian Ida Rosida, meski Wahyu tidak terampil, ia cukup memiliki sensitivitas musik.
Di luar masyarakat sastra mungkin karya Wahyu lebih banyak dinikmati lewat lantunan yang dirangkai Mang Koko ini. Bahkan di kalangan pangrawit Sunda karya Koko Koswara yang menggunakan sajak Wahyu merupakan puncak dari karya Mang Koko, lagu tersebut adalah Reumis Beureum dina Eurih dan Kembang Tanjung Panineungan.
Baca Juga: Kategorisasi Puisi Sunda di Masa Hindia Belanda
Bahasa Sunda dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan
Refleksi atas Kebudayaan Sunda dalam Era Digital
Skripsi Wahyu Wibisana
Ketika menjadi relawan untuk mendigitalkan buku-buku tua di Perpustakaan Ajip Rosidi sekitar tahun 2018, tidak sengaja saya melihat skripsi Wahyu Wibisana waktu menempuh sarjana muda di IKIP (sekarang UPI) Bandung yang ia rampungkan tahun 1970. Skripsi itu berjudul Sawangan Kana Tjarita Pantun. Seingat saya, kajian ilmiah ini tidak pernah disinggung oleh peneliti lain. Mengingat sosok Wahyu dan analisanya yang cukup baik (untuk saat ini mungkin bobotnya setara dengan tesis bahkan disertasi) saya mengabari pada seorang teman yang bekerja di penerbit yang cukup intens menerbitkan buku berbahasa Sunda. Mungkin teman saya itu lupa, usulan saya itu baru terwujud ketika disampaikan kepada ketua Lembaga Budaya Sunda (LBS) Universitas Pasundan (UNPAS), Hawe Setiawan. Atas kerja sama LBS UNPAS dan Penerbit Layung, buku ini terbit 2022 dengan judul yang sama seperti skripsi Wahyu Sawangan Kana Carita Pantun. Saya sendiri diberi kesempatan untuk sekedar memberi pengantar, bersama dengan Hawe Setiawan, dan rektor UNPAS kala itu, almarhum Eddy Jusuf.
Dalam buku itu Wahyu menganalisis sepuluh carita pantun. Sastrawan Sunda senior Abdullah Mustappa pernah menuturkan kekagumannya pada Jakob Sumardjo yang bertahan untuk membaca carita pantun-carita pantun Sunda. Memang carita pantun Sunda memiliki kerumitan bahasa yang cukup tinggi, mungkin oleh sebab itu sampai sekarang baru ada satu terjemah carita pantun Sunda, yaitu carita pantun Lutung Kasarung yang dilakukan oleh F. S. Eringa, itu pun tak sampai khatam. Jadi upaya Wahyu membaca dan membuat sintesa sepuluh cerita pantun secara sekaligus merupakan upaya yang luar biasa, dan saya kira sampai sekarang belum ada yang menyamai dengan bobot yang sama seperti yang pernah Wahyu lakukan.
Kebanyakan carita-carita pantun yang digunakan oleh Wahyu adalah hasil dari dokumentasi yang dilakukan oleh C. M. Pleyte. Sayang pantun Baduy yang dipublikasikan C. M. Pleyte tidak termasuk dalam analisis, Wahyu tidak berhasil memperoleh naskah tersebut. Padahal jika saja Wahyu mendapatkannya apa-apa yang disimpulkan Wahyu dalam buku itu kemungkinan besar akan berbeda.
Dari kedua orang yang sering disebutkan ketika membahas carita pantun Sunda yaitu Jakob Soemardjo dan Ajip Rosidi, tapi jika dibandingkan dengan hasil dari kedua orang tersebut kajian Wahyu memiliki keunggulan. Wahyu lebih mengedepankan bukti-bukti yang logis dan argumen yang kuat, walaupun tidak terlepas dari upaya ngawawaas (romantisisme, hal yang tampaknya umum dalam kajian Sunda). Sedangkan analisa Jakob Sumardjo tampaknya seperti hasil dari bebatu split yang ia pungut kemudian dibuatlah sebuah bangunan yang menyenangkan hatinya. Seperti biasa, Ajip Rosidi selalu bersemangat lebih mengedepankan retorika daripada bukti-bukti. Seperti yang pernah dikatakan Hawe Setiawan pada suatu kesempatan, memang Ajip Rosidi selalu memperhatikan aspek “politis” dari apa yang ia tulis, bisa dibilang dalam kritik sastranya Ajip lebih senang untuk memancing atau bahkan mengonfrontasi pembacanya. Ajip menyadari hanya dengan itu orang Sunda akan angkat bicara dan berdialektika. Bahkan di suatu forum Ajip sampai sesumbar “diskusi hayu, gelut hayu!” (diskusi siap, berantem siap!) sesudah menggampar salah seorang sastrawan senior di masa itu.
Di antara rival Ajip Rosidi yang paling fenomenal, tiada lain adalah Wahyu Wibisana. Ketika Ajip akan menerbitkan tiga jilid besar antologi puisi Sunda berdasarkan tiga fase sejarah, Wahyu dan kawan-kawan menerbitkan buku Lima Abad Sastra Sunda yang tidak kalah tebalnya. Entah sejak kapan persaingan ini terjadi. Pada waktu Wahyu menyiapkan skripsinya ini, Ajip juga sedang menggarap Proyek Penelitian Pantun & Folklor Sunda, kurang lebih ada enam belas carita pantun yang berhasil didokumentasikan dari rentang waktu tahun 1969 sampai 1973. Sebenarnya Ajip dan Wahyu saling melengkapi, Ajip bergerak di ranah nasional dan internasional sedang Wahyu di ranah lokal. Kadang-kadang kedua orang ini ingin menggarap yang dilakukan yang lain, dan tidak berhasil, dan dari bisik-bisik tetangga pada dasarnya kedua tokoh ini saling mengagumi.
Wakaf Budaya
Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa perhelatan seniman-sastrawan-budayawan-intelektual pada masa 60-70an ini yang membentuk wajah kebudayaan sekarang. Tidak hanya sastra dan musik, seperti yang sudah disebutkan, termasuk tari jaipong yang diciptakan Gugum Gumbira, juga pewacaan aksara Sunda baku. Cukup mengherankan “puncak kejayaan” ini justru ketika orang Sunda ada dalam represi politik pemerintahan “pusat”, atau mungkin dipicu oleh hal ini sehingga memicu gerak kreatif, kongsi-kongsi dan konflik-konflik produktif. Namun apabila kita sebut proses kreatif dari dekade itu merupakan puncak, bisa jadi kebudayaan Sunda belakangan ini ada dalam keadaan stagnasi bahkan kemunduran.
Sabilulungan lagu sederhana yang mendunia karya Mang Koko ini nyaris menyerupai lukisan Monalisa yang terus direduplikasi dan dimaknai ulang. “Upacara adat” buatan Wahyu tidak hanya menyambung nafas kebudayaan Sunda, tapi juga menyambung hidup para praktisi kesenian Sunda. Entah berapa banyak seniman, yang mendapat keuntungan dari karya-karya tersebut.
Wakaf budaya yang semoga pahalanya terus mengalir kepada para pembuatnya terutama pada Mang Koko yang meninggal pada 4 Oktober 1985, dan Wahyu Wibisana yang pada 13 Oktober kemarin genap sepuluh tahun ia berpulang.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang budaya Sunda