Bahasa Sunda dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan
Di samping fenomena campur kode, ada juga fenomena dalam pemakaian bahasa Sunda masyarakat kota yakni terkait dengan etika dalam berbahasa.
Alifia Syahrani
Pemerhati Bahasa dan Budaya Sunda. Mahasiswa Program Studi Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
9 Januari 2024
BandungBergerak.id – Sebagai salah satu sarana komunikasi antar masyarakat, bahasa merupakan elemen terpenting dalam kehidupan. Suatu kelompok masyarakat bisa dikenali dengan penggunaan bahasanya itu sendiri, tak terkecuali masyarakat Sunda.
Tipologi masyarakat Sunda bisa dikenali dengan berbagai variasi bahasanya, atau yang lebih dikenal dengan istilah dialek dalam ilmu bahasa; linguistik. Variasi bahasa atau dialek ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor geografis, jenis kelamin, interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Masyarakat Sunda daerah pesisir akan berbeda dengan yang di pegunungan. Perbedaan tersebut bisa dikenali dalam beberapa aspek dalam dialek, di antaranya adalah aspek fonologis (lentong, intonasi, perubahan huruf dalam satu kata, nada dalam pelafalan; segmental dan suprasegmental), morfologis (perbedaan suku kata) dan leksikal (perbedaan kata).
Dari beberapa perbedaan dalam aspek tersebut, ada yang tidak mengubah makna dari kata tersebut, ada pula yang mengubah makna dari kata tersebut. Contohnya, antara kata “ladu” dan “dalu”, sebuah kata yang merujuk kepada buah-buahan yang telah lama matang, dan masih banyak lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa Sunda itu kaya dengan “pernak-pernik” keilmuannya.
Baca Juga: Fenomena Merek Bahasa Sunda pada Produk Buatan Kaum Milenial
Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua
Bahasa Sunda di Perkotaan
Terkait dengan pemakaian bahasa Sunda di perkotaan, itu lebih menarik lagi. Bagaimana bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakat kota yang notabene adalah masyarakat yang heterogenik. Eksistensi bahasa Sunda di perkotaan bisa dikatakan masih digunakan. Akan tetapi ada permasalahan-permasalahan dalam pemakaian bahasa Sunda di perkotaan, khususnya dalam etika berbahasa.
Permasalahan tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat di perkotaan menganggap bahasa Sunda itu kuno, kampungan, dan lain sebagainya. Anggapan ini muncul dikarenakan masyarakat di perkotaan (Kota Bandung) bukan hanya orang Sunda saja, akan tetapi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa masyarakat di perkotaan adalah masyarakat heterogen.
Memang pelik jika kita melihat permasalahan tersebut. Belum ditambah dengan permasalahan yang lain, seperti arus globalisasi, kedudukan mata pelajaran bahasa Sunda di sekolah, dan pemakaian bahasa Sunda di dalam keluarga. Terkhusus yang akhir, pemakaian bahasa Sunda di keluarga merupakan “benteng terakhir” dalam terjaganya eksistensi bahasa Sunda.
Bahasa Sunda dalam masyarakat kota itu sangat menarik. Baik itu dalam pemakaiannya ataupun dalam kerangka penambah variasi-variasi dalam bahasa Sunda itu sendiri. Variasi tersebut banyak sekali, terutama campur kode antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Sering sekali terdengar, ketika orang Sunda dalam menggunakan bahasa Indonesia ada satu atau dua unsur dalam bahasa Sunda terbawa dalam penggunaan bahasa Indonesia, terutama dalam hal idiomatik bahasa Sunda yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti kata-kata penegas (kecap panganteb) di bahasa Sunda.
Kata-kata penegas tersebut hanya ada di bahasa Sunda dan menjadi idiomatik khas bahasa Sunda, seperti kata “téh”, “mah”, “atuh” dan lain-lain. Contohnya: “tadi téh aku beli seblak sama si Dian”, “kamu mah gitu”, dan “jangan gitu, atuh! Harusnya gini!”. Fenomena tersebut menjadikan bahasa Sunda terutama idiomatiknya tidak bisa digantikan. Istilah atau julukan untuk seseorang yang menggunakan bahasa Sunda seperti itu oleh masyarakat disebut dengan “létah Sundaeun”.
Di samping fenomena campur kode, ada juga fenomena dalam pemakaian bahasa Sunda masyarakat kota, yakni terkait dengan etika dalam berbahasa. Dalam bahasa Sunda, ada yang disebut dengan undak-usuk. Undak-usuk ini merupakan sebuah aturan, etika, dan tingkatan dalam penggunaan bahasa Sunda. Berlakunya undak-usuk tersebut digunakan tergantung kepada lawan bicara, apakah lawan bicara kita lebih tua, lebih muda, dan sebaya dengan kita. Undak-usuk ini telah menjadi tolak ukur bagaimana kita berbahasa khususnya berbahasa Sunda baik atau buruk dalam pemakaiannya.
Pada masyarakat pedesaan, kiranya masih terjaga dan masih dipergunakan dengan baik undak-usuk tersebut. Tertata dengan baik, karena bahasa Sunda sering kali dipergunakan baik itu di dalam kegiatan formal seperti sekolah, rapat instansi, dan kegiatan non-formal seperti pengajian, komunikasi sehari-hari, dan lain sebagainya.
Eksistensi Bahasa Sunda
Di masyarakat perkotaan, terkait dengan penggunaan undak-usuk dalam bahasa Sunda ini sudah luntur; jarang sekali digunakan. Sering terjadi, terutama di kalangan anak-anak dan remaja ketika menggunakan bahasa Sunda terselip kata-kata kasar, seperti menyebut binatang (anjing, bagong, monyét) dan bahasa garihal seperti goblog, sia, aing dan masih banyak lagi. Kata-kata tersebut seolah-olah telah menjadi tanda baca dalam penggunaan bahasa Sunda dalam pemakaian secara verbal (ucapan; perkataan). Hal ini merupakan salah satu fenomena bahasa Sunda yang terjadi di masyarakat perkotaan pada umumnya. Terlebih, ketika pergaulannya sangat dekat dengan lingkungan premanisme. Ini juga yang sangat besar pengaruhnya terhadap eksistensi bahasa Sunda di masyarakat perkotaan. Para orang tua asli Sunda enggan menuturkan dan berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa Sunda, karena berkaca pada anak-anak dan remaja yang menggunakan bahasa Sunda yang kasar.
Masalah pendidikan di keluarga juga menjadi polemik tersendiri bersamaan dengan pendidikan formal; sekolah. Bagaimana tidak, karena keluarga adalah “tempat pertama” dan “intensitas pendidikan” paling vital dan intens, terkhusus pendidikan dalam aspek bahasa. Masyarakat Sunda dikenal dengan masyarakat yang adaptif terhadap hal-hal yang baru, begitu pun dengan bahasa.
Pembentuk masyarakat kota tidak hanya satu etnis saja; Sunda, akan tetapi arus mobilitas yang tinggi, eskalasi mobilitas masyarakat di kota sangat masif, mau tidak mau masyarakat asli di kota harus adaptif dengan keadaan. Salah satu hal yang “diadaptifkan” itu adalah bahasa. Masyarakat asli dituntut harus bilingual; memakai dua bahasa sekaligus, yakni bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi antar sesama Sunda, serta bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di luar komunitas Sunda. Di satu sisi, kemampuan bilingual ini menjadi nilai lebih bagi masyarakat kota, di satu sisi juga menjadi nilai kurang bagi masyarakat kota, di lihat dari pasifnya masyarakat kota memakai bahasa Sunda.
Kiranya, selain keluarga, lembaga formal terutama sekolah menjadi “benteng terakhir” untuk terjaganya eksistensi bahasa Sunda di masyarakat perkotaan. Terkait dengan pembelajaran bahasa Sunda di sekolah, dibuat dengan sedemikian rupa sehingga memunculkan generasi Sunda yang “hadé gogog hadé tagog” dan “hadé tata hadé basa”.