• Opini
  • Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua

Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua

Pertemuan antar budaya menghasilkan akulturasi dan asimilasi budaya, begitu juga dengan suku Sunda dalam kaitan historisnya dengan Jawa.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Pementasan wayang golek Rahwana Gugur oleh unit Kesenian Daerah Sunda (KDS) Lisma Unpas di Plaza Kampus II, Tamansari, Bandung, Sabtu (24/6/2023). (Sumber: Unpas)*

29 November 2023


BandungBergerak.id – Setiap suku dan bangsa memiliki corak budayanya masing-masing. Corak budaya yang melingkupinya merupakan penanda atas identitas, simbol yang menjadikannya unik. Republik Indonesia sendiri adalah negara yang dianugerahi suku bangsa yang banyak yaitu mencapai 1.340 suku bangsa, dan di antara semua itu Suku Sunda menjadi suku yang memiliki populasi terbanyak di Indonesia. Dalam artikel bertajuk “10 Suku dengan Populasi Terbanyak di Indonesia, Jawa dan Sunda Mendominasi”, sebagaimana dikutip dari laman Goodstats.id (2022), menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Suku Sunda memiliki populasi sebanyak 36.701.670 jiwa atau mewakili 15% dari total penduduk Indonesia.

Namun, lunturnya nilai-nilai kearifan lokal, yang diikuti dengan fenomena lepasnya masyarakat dari akar budayanya sedang umum terjadi. Pancasila sendiri sebagai rumusan akumulatif dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia, philosophische grondslag, yang nilainya bersumber dari nilai-nilai di masyarakat turut dihadapkan dengan ancaman serius terhadap aktualisasi dan eksistensinya. Maftuh (2008) menyebutkan bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan terhadap penerapan dan implementasi nilai-nilai Pancasila. Hal ini menimbulkan kegelisahan, karena nyatanya budaya bukan sekadar simbol-simbol dan produk kebudayaan semata, namun nilai intrinsiknya berkenaan dengan the root of culture. Maka dari itu, dengan sedikit memahami, setidaknya corak budaya, maka secara tidak langsung turut andil dalam melestarikan dan mengembangkan budaya dalam menghadapi hegemoni. Salah satu poin penting dalam corak budaya tersebut dapat dilihat dari bahasa berikut penuturnya.

Raymond G. Gordon Jr. (2005) dalam karyanya berjudul “Ethnologue: Languages of the World”, menyebutkan bahwa Indonesia terdapat 742 bahasa, dan 737 di antaranya masih hidup dan digunakan penuturnya. Seiring berkembangnya zaman, kepunahan bahasa tidak bisa dihindari, entah disebabkan oleh berkurangnya populasi penutur, desakan budaya luar, maupun sistem yang turut melemahkan penuturan bahasa setempat. Namun, dengan fakta bahwa Suku Sunda adalah suku dengan populasi kedua terbanyak di Indonesia, bukanlah menjadi suatu alasan untuk abai terhadap sejarah, filosofi, dan nilai-nilai kebudayaan.

Baca Juga: Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Refleksi Budaya Politik Sunda dan Kegagalan Ridwan Kamil Menjadi Cawapres
Pasang Surut Gerakan Literasi di Bandung, dari Rumah Baca Buku Sunda hingga Pohon Buku

Dari Salakanagara Hingga Mataram Jawa

Suku Sunda merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah yang umumnya membentang dari Provinsi Banten hingga Jawa Barat, juga sebagian kecil Jakarta. Umumnya, wilayah ini dikenal juga sebagai Tatar Sunda atau Tatar Pasundan (Dataran Sunda). Nama “Sunda” sendiri, menurut ahli ilmu bumi Yunani, Ptolemaus, sudah dikenal sejak abad pertama masehi. Nama Sunda di sini merujuk ke suatu wilayah geografis yang dikenal sebagai Javan Dwipa atau Yawadwipa (Pulau Jawa). Katanya, terdapat kerajaan Argyre, yang dalam bahasa Yunani diartikan “perak”, yang mengingatkan kita pada kerajaan Salakanagara. Menurut Ekadjadi (2014), Sunda merupakan istilah yang digunakan untuk menamai daratan yang mencakup bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul.

Dalam beberapa kajian, akar sejarah dari masyarakat Sunda sendiri sudah ada sejak era kerajaan Salakanagara pada abad ke-2 Masehi. Salaka sendiri dalam bahasa Sunda artinya “perak” dan nagara diartikan dengan “negara” atau “pemerintahan”. Kerajaan ini konon merupakan kerajaan tertua di Indonesia (Nusantara) dengan pendirinya Dewawarman I bergelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara. Meskipun, Salakanagara diragukan sebagai kerajaan tertua di nusantara, karena kurangnya bukti arkeologis maupun catatan sejarah, hanya didasarkan pada catatan perjalanan dari Cina dan naskah Wangsakerta. Namun, setidaknya jejak orang Sunda bisa ditemukan di ujung Pulau Jawa ini sejak abad ke-2 sampai ke-5 M.

Masyarakat Sunda diyakini mulai berkembang pada masa kerajaan Tarumanegara, dan disinyalir sebagai akar budaya dari urang Sunda. Menurut Ajip Rosidi (2010), zaman masyarakat Sunda paling tidak sudah dimulai sejak abad ke-5 yaitu masa kekuasaan Purnawarman yaitu 395-434 M, dan tidak mustahil lebih awal lagi. Bila dihitung sejak saat itu hingga masa kini, tentunya kita yakin bahwa momen akulturasi dan simulasi, juga singgungan antar budaya kerap terjadi dan tidak dapat dihindari.

Hal yang menarik adalah selama persinggungan budaya-budaya antar suku-bangsa, menghasilkan keragaman dan keunikan. Misalnya, terkait ­undak-usuk basa dalam bahasa Sunda hari ini terkait pengimplementasian bahasa (pragmatik) yang didalamnya mengandung tatakrama dalam bertutur. Sejarah undak-usuk basa bisa ditarik sejak masa Mataram Jawa melakukan invasi di bawah Sultan Agung ke wilayah Priangan (Sunda) pertengahan abad-17. Menurut Juanda (2018), ketika masyarakat tatar Sunda datang ke Mataram untuk membayar upeti, mereka mempelajari budaya salah satunya bahasa yang ada tingkatannya, sehingga ketika mereka kembali ke tatar Sunda penggunaaan undak-usuk basa berbahasa tersebut diterapkan dalam bahasa Sunda. Sehingga, kita bisa melihat, terutama masyarakat Sunda yang semakin menuju ke Timur mendekati Mataram Jawa, melahirkan tradisi berbahasa Sunda dengan sistem undak-usuk basa, sedangkan masyarakat Sunda di barat atau Sunda Buhun tidak banyak terpengaruh kesultanan Mataram Jawa sehingga tidak begitu kuat dampaknya yang berakibat pada tidak begitu kentalnya strata masyarakat, termasuk dalam berbahasa, bahkan tidak dikenal undak-usuk basa.

Bila di Jawa ada unggah-ungguh basa, maka di Sunda ada undak-usuk basa. Pengaruh bertutur ini mempengaruhi hal lainnya, selain kehidupan sosial sehari-hari, misalnya berladang/tani. Menurut Kulsum (2020), kemunculan undak-usuk basa dalam kebudayaan Sunda terkait erat dengan perubahan mode produksi dari ngahuma (berladang) kepada bersawah menetap dimana pola semacam ini dibutuhkan adanya stratifikasi sosial yang tegas dalam hubungan sosial produksinya. Misal, antara pemilik tanah (lord atau tuan tanah) dengan penggarap, yang baik secara ekonomi dan sosial, memiliki perbandingan yang jelas.

Wujud Kebudayaan

Pertemuan antar budaya menghasilkan akulturasi dan asimilasi budaya, begitu juga dengan suku Sunda yang erat kaitan historisnya dengan pengaruh Jawa. Budaya kesundaan dikenal dengan kesopan-santunannya. Secara kepribadian, masyarakat Sunda punya kecenderungan ramah-tamah, murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orang tua. Bahkan, filosofi hidup dalam slogan “someah hade ka semah” yaitu ramah, baik, menjaga, melayani, dan menjamu, serta menyenangkan bagi semua orang adalah nilai yang menjadi pola kehidupan masyarakat Sunda pada umumnya. Pengimplementasian perilaku ini berdampak besar dalam pola interaksi dan komunikasi, dan (kembali) bahasa juga gerak tubuh memegang peranan penting dalam hubungan sosial masyarakat Sunda. Prinsip hidup ini adalah wujud dari kebudayaan yang lahir dari suatu peradaban.

Wujud kebudayaan sendiri dapat mewujud ke dalam beberapa bentuk. Menurut Koentjaraningrat (1990), wujud kebudayaan itu dapat berbentuk sistem gagasan, hasil karya manusia, dan tindakan (aktivitas) yang dilakukan dalam upaya kehidupan bermasyarakat untuk dijadikan sebagai milik sendiri dengan cara belajar. Contohnya, dalam sistem gagasan atau konsep, masyarakat Sunda mengenal namanya Sunda Wiwitan, yaitu bentuk kepercayaan atau agama lokal yang berkembang pada umumnya di tatar Sunda. Sistem kepercayaan leluhur ini melekat pada pandangan hidup, juga praktik keagamaan pada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan tradisi leluhur. Dalam sistem kepercayaan ini, dikenal sosok adikuasa yang dikenal dengan sebutan Sang Hyang Kersa atau Gusti Sikang Sawiji-Wiji (Tuhan yang Esa). Walaupun masyarakat Sunda saat ini didominasi oleh pemeluk Islam, namun setidaknya konsep keagamaannya, terutama terkait keesaan tuhan, memiliki nafas yang sama.

Sistem gagasan dan ide lainnya adalah tentang larangan-larangan, yaitu sesuatu yang menjadi pantangan atau tidak boleh dilakukan dan mengandung nilai-nilai penting dalam menjadi sikap dan etika masyarakat Sunda dalam interaksinya dengan alam, sesama manusia, bahkan kepada hewan sekalipun. Adapula Indung Beurang, yaitu gagasan tentang penghormatan pada kaum perempuan. Gagasan lainnya dalam filosofi hidup orang Sunda ialah etos budaya Sunda yang meliputi cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (wawas diri), dan pinter (pintar/cerdas). Nilai-nilai filosofi yang muncul dari etos budaya ini diharapkan terimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Wujud kebudayaan berupa hasil karya, umumnya berkenaan dengan sastra, kesenian, arsitektur, pakaian, alat musik, tarian, dan lainnya. Sastra, misalnya, terdapat Babad Cirebon, Cariosan Prabu Siliwangi, Carita Ratu Galuh, Carita Purwaka Caruban, Nagari, Carita Waruga Guru, Kitab Pramayoga, dll. Atau, bila kesenian ada Sisingaan, Wayang, Kuda Lumping, dll. Juga masih banyak lagi wujud kebudayaan dari hasil karya peradaban Sunda.

Wujud kebudayaan terakhir berwujud ke dalam tindakan atau aktivitas, misalnya adat pernikahan, lahiran, ruwatan atau tolak bala, dan aktivitas lainnya, termasuk dalam bahasa atau bertutur. Dalam bahasa Sunda sendiri, banyak melahirkan ragam dialek di tiap daerah. Hal ini tidak terlepas dari dampak pengaruh kekuasaan Mataram di beberapa wilayah Sunda kala itu hingga melahirkan undak-usuk basa (tingkatan bahasa) dalam bahasa Sunda. Adapun bahasa Sunda yang tidak terpengaruh dan masih “murni” kebanyakan dapat dijumpai di wilayah barat Pulau Jawa. Undak-usuk basa atau tingkatan ini terbagi ke dalam beberapa tingkatan, diantaranya kasar pisan (sangat kasar), kasar, sedeng (sedang), lemes (halus), dan lemes pisan (sangat halus). Ragam bahasa yang nampak dari undak-usuk basa merupakan kelompok bahasa yang dibagi atas sikap penutur. Tidak hanya soal tingkatan (undak-usuk basa), bahasa Sunda memiliki dialek yang cukup variatif. Menurut Heryadi (2014), ragam variasi dalam bahasa Sunda meliputi waktu, sosial, dan geografis (lokalitas).

Dalam perspektif geografis—perspektif yang luas dan tertata—atau dikenal juga sebagai wewengkon yaitu berdasarkan tempat-kawasan tempat bahasa itu berkembang, maka diketahui dialek yang berkembang ialah: 1) Dialek Barat, meliputi: Banten umumnya, khususnya Lebak dan Pandeglang, barat Kabupaten Bogor dan Sukabumi, dan beberapa wilayah di Provinsi Lampung yang kebetulan terdapat sekelompok masyarakat dari suku Sunda; 2) Dialek Utara, meliputi: penutur Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, tenggara Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok, Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang; 3) Dialek Tenggara, mencakup: Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Provinsi Jawa Tengah bagian barat daya seperti Cilacap; 4) Dialek Tengah Timur atau Dialek Jawareh (dialek Sunda Majalengka), mencakup: Kabupaten Majalengka dan Indramayu bagian selatan; 5) Dialek Sunda Timur Laut, meliputi: eks keresidenan Cirebon atau Provinsi Jawa Barat bagian timur laut. Secara garis besar terdiri dari bahasa Sunda Cirebon, Sunda Kuningan, dan Sunda Brebes; dan, 6) Dialek Sunda Selatan (Sunda Priangan), meliputi: eks-Keresidenan Parahyangan (Jawa Barat Selatan) yaitu Kota Bandung, yang juga turut menyebar ke Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Sumedang, Ciamis, dan Purwakarta.

Ragam bahasa lainnya muncul dari perspektif pendidikan formal, seperti bahasa nyakola dan teu nyakola, yaitu bahasa yang nampak dari kualitas dan keberhasilan pendidikan penutur sebagai efek dari pendidikan. Ragam bahasa berikutnya didasarkan pada jejer omongan, yaitu penerapannya dalam kehidupan keseharian (urang rea) dan bahasa akademis, sastra, jurnalistik, keagamaan, dan lainnya (urang are). Adapun pembedaan dari media, umumnya, dari lisan dan tulisan, lalu asal-usulnya hadir dari diksi yang timbul dari internal Sunda itu sendiri dan bahasa serapan dari bahasa asing (teu nyunda).

Budaya dan Pembudayaan

Sejauh pembahasan yang telah diuraikan di atas terkait corak budaya dari masyarakat Sunda, meyakinkan kita untuk senantiasa membudayakan warisan peradaban, dalam hal ini khususnya bagi orang Sunda dan budaya pada umumnya. Upaya ini tidak hanya digambarkan sebagai tindakan pelestarian, namun perlu juga dikembangkan. Sejauh ini, pembelajaran-pembelajaran budaya di sekolah yang terprogram dalam kurikulum sejatinya diperuntukkan dalam rangka pelestarian budaya semata. Hal itu cukup baik dan mumpuni, meskipun tidak sepenuhnya dapat menyelesaikan pertumbuhan dan perkembangan. Bagaimana pun, budaya tidak boleh stagnan bila ingin terus eksis bahkan menghegemoni. Hegemoni yang dimaksud bukan ditujukan untuk mendominasi, melainkan untuk bisa terus dinamis bersama tumbuhnya negara dan zaman.

Kita meyakini bahwa setiap kebudayaan dan peradaban memiliki coraknya masing-masing, kekayaan yang khas dari kelompok masyarakat yang menandakan identitas penting bagi kelompok itu sendiri. Itulah mengapa, dengan mengenal budayanya, apalagi hingga mengimplementasikannya, paling tidak membuka pintu bagi terwujudnya keabadian. Wajar bila semua orang, apalagi tumbuh dan berkembang di lingkungan yang cukup kental dengan nuansa budaya, memiliki rasa kepemilikan yang teguh pada budaya yang telah hidup membersamainya. Sebagai tindak lanjut, maka pembudayaan dipastikan hidup pada lingkup daerah tersebut. Meskipun, fenomena lunturnya pengimplementasian budaya terjadi secara masif, terutama di perkotaan, identitas awal tidak akan bisa dihilangkan begitu saja.

Oleh karena itu, memahami kebudayaannya, menjalankan prinsip dan praktik hidup berdasarkan norma-norma yang berkembang dalam budayanya secara konsisten, tidak sebatas ada pada tataran menghafal namun aksiologis. Tetapi, dasar dari semua prinsip itu pun tidak juga dibenarkan untuk diabaikan dan hanya berfokus pada tataran praktik. Sepertinya halnya dalam berbahasa, kita mengenal berbagai ragam dan corak dalam berbahasa Sunda yang didasarkan pada wewengkong (tempat), waktu, tingkatan, dan lainnya. Tentunya, kita mesti dapat menempati diri dan memahami lebih baik posisi kita pada waktu dan tempat saat itu juga. Hal ini merupakan bentuk apresiasi kita pada perkembangan budaya yang sedang terjadi pada kawasan dan masanya, karena “di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Dengan begitu, tidak hanya bahasa yang dapat terus eksis di tengah tergerusnya nilai-nilai tersebut dalam struktur globalisasi—apalagi persoalan dialek—tetapi juga dapat secara komprehensif mampu mempertahankan akar budaya itu sendiri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//