Pasang Surut Gerakan Literasi di Bandung, dari Rumah Baca Buku Sunda hingga Pohon Buku
Diskusi Ngadu Buku Bandung memotret pertumbuhan rumah baca dan toko-toko buku komunitas. Beberapa bertahan, tak sedikit yang tumbang.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah20 November 2023
BandungBergerak.id - Kota Bandung tak terpisahkan dari geliat literasi yang digerakkan komunitas-komunitas orang muda. Potret perkembangan literasi di Kota Kembang dapat dilihat dari tumbuhnya berbagai toko buku, komunitas, gelaran diskusi, kelas-kelas hingga rumah baca. Ada yang masih bertahan, tak sedikit yang tumbang.
Di antara menjamurnya komunitas literasi di Bandung, hadir Rumah Baca Buku Sunda (RBBS) yang didirikan Mamat Sasmita atau akrab disapa Uwa Sas pada Februari 2004. Beralamat di Jalan Margawangi VII no.5, kehadiran Rumah Baca Buku Sunda dan Uwa Sas memiliki tapak sejarah, ingatan kolektif, dan kenangan bagi siapa saja yang pernah singgah.
Hal tersebut dituturkan juga oleh penggiat buku dan penulis Fikri Gholasahma. Bagi Fikri, Rumah Baca Buku Sunda tak hanya tempat untuk meminjam dan membaca buku. RBBS menjadi tempat ia bertanya pelbagai hal terkait literasi kepada sang pemilik, Uwa Sas.
“Saya pertama kali meminjam buku-buku pengarang Sunda seperti Ki Umbara dalam karya-karyanya sering membahas cerita surealis tapi dipadukan dengan dakwah Islam. Waktu itu pertama kali pinjam buku Ki Umbara yang judulnya Pahlawan-Pahlawan Ti Pasantren,” cerita Fikri pada acara Ngadu Buku ke-4, di Kedai Jante Perpustaakaan Ajip Rosidi Jalan Garut No.2 Bandung, Jumat, 17 November 2023.
Menurut Fikri, Uwa Sas dan rumah bacanya adalah penjaga ingatan kolektif. Di sana disediakan buku bahasa Sunda dan umum.
Pengalaman yang sama dituturkan penulis dan pegiat Odesa Indonesia Abdul Hamid. Dia termasuk orang yang belakangan berkunjung ke Rumah Baca Buku Sunda,
Menurut Hamid, di tempat Uwa Sas ini tak hanya disajikan buku-buku bacaan bermutu bertema kebudayaan, filsafat, sejarah, bahka keagamaan, tetapi juga tempat berlangsungnya percakapan lintas generasi dan diskusi lintas displin ilmu.
“Karena seringnya diucapkan nama Uwa Was itu jadi penasaran dan kemudian berkunjung. Diskusi-diskusi seperti itu memunculkan inspirasi, banyak teman-teman yang menulis. Dengan sedemikian rupa virus-virus kebaikan tertularkan. Bisa kenal, lintas generasi dan displin. Membuka wawasan. Sedemikian luas kajian tentang kebudayaan ini,” jelas Hamid.
Selain dikenal dengan Rumah Baca Buku Sunda, lanjut Hamid, sosok Uwa Sas juga terlibat aktif di masyarakat. Uwa Sas juga meneliti dan menerbitkan buku mengenai perkakas di kebudayaan Sunda.
Eksistensi Rumah Baca Buku Sunda sudah akrab di kalangan komunitas maupun akademik. Bahkan di ranah pendidikan kebudayaan Sunda muncul ungkapan, kurang afdal bila kampus dan pengkaji kebudayaan Sunda tak berkunjung ke rumah baca tersebut.
Sosok Inspiratif
Diskusi Ngadu Buku ke-4 ini diadakan oleh BandungBergerak.id berkolaborasi dengan Toko Buku Bandung dan Panitia Jumahan. Ada dua buku yang didiskusikan, yaitu Pijar Aksara Dua Windu Rumah Baca Buku Sunda (2020) dan buku Pohon Buku di Bandung: Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009 (2018) yang ditulis oleh Deni Rachman.
Dalam diskusi yang ditengahi Salma dari BandungBergerak.id ini, penulis dan pegiat buku Bandung Deni Rachman menyampaikan pengalamannya selama terlibat aktif dalam penulisan buku yang dipersembahkan untuk dua windu Rumah Baca Buku Sunda. Buku yang terbit tahun 2020 ini tak sempat didiskusikan dan dibedah di berbagai ruang diskusi, hampir terlupakan.
“Ini kerja dari tahun 2019 bersama Atep Kurnia sudah menyusun antologi buku ini, dari proses penerbitan buku ini cukup memakan waktu, Kerja kolektif. Memunculkan satu pertanyaan introspeksi kerja kolektif kok menjadi lama,” tutur Deni.
Dalam penulisan buku tentang Rumah Baca Buku Sunda ini, Deni menjelaskan hal ihwal sejarah berdiri Rumah Baca Buku Sunda. Buku ini memotret warga sekitar dengan gaya penulisan laporan sejarah yang sangat sederhana.
Penulisan buku ini bersifat antologis sehingga penulis yang terlibat bebas menuangkan tulisannya dengan gaya dan sudut pandangnya sendiri.
“Saya menuliskan sejarah Rumah Baca Buku Sunda. Respons warga sekitar, interaksi pengunjung, dan Uwa Sas sendiri,” ungkap Deni.
Pemilik Lawang Buku dan Toko Buku Bandung ini mengatakan, Uwa Sas menjadi sosok yang menginspirasi warga sekitar. Masuknya Uwa Sas ke rubrik sosok di harian Kompas menjadikan warga sekitar bangga atas Uwa Sas dan Rumah Baca Buku Sunda.
“Ini satu kebanggaan untuk RW di situ,” jelas Deni.
Saat ini, Rumah Baca Buku Sunda (RBBS) menyimpan sebanyak 7.405 koleksi pustaka cetak buku dan majalah dan 419 koleksi digital yang semuanya tersimpan di 14 rak buku.
Uwa Sas tidak bisa hadir dalam diskusi karena baru saja selesai operasi mata karena katarak. Menurut Deni, Uwa Sas membawa semangat zaman dalam mendirikan Rumah Baca Buku Sunda. Pendirian rumah baca ini berbarengan dengan tumbuhnya toko buku dan komunitas literasi.
“Uwa Sas terinspirasi oleh toko buku komunitas. Di 2004 berbarengan dengan berdirinya beberapa toko buku komunitas. Jadi semangat zaman terpengaruhi juga toko buku komunitas,” beber Deni.
Baca Juga: Membincangkan Sejarah Penghancuran Buku di Toko Buku Bandung
Membicarakan Andreas De Wilde dan Kolonialisme di Priangan
Mendiskusikan Sidik Kertapati di Kedai Jante
Pohon Buku di Bandung
Buku yang ditulis Deni Rachman berjudul Pohon Buku di Bandung. Buku ini memotret geliat aktivisme literasi dan seni termasuk peran toko buku komunitas seperti toko buku yang didirikan Uwa Sas.
“Ketika banyak hadirnya toko buku itu, saya melihat dua akar seniman dan aktivis mahasiswa prodemokrasi di zaman reformasi di Universitas Langlang Buana ada Lestari di sana ada Jaringan Buku Alternatif (JBA) Indra Prayana. Dan, di akar seninya ada Tobucil, terus Rani dari seniman film itu mendirikan Kineruku. Iit dari Band Koil Omonium,” tutur Deni.
Deni menulis buku Pohon Buku di Bandung sebagai upaya melawan lupa selama bergiat di perbukuan Kota Bandung. Buku tersebut sebagian reportase yang dilkukan olehnya semasih menjadi kontributor di majalah Matabaca.
“Alasan utama saya melawan lupa, Lawangbuku mulai beraktivitas tidak ingin terlupakan. Di tahun 2007-2009 sempat menjadi kontributor matabaca itu masih satu group dengan Kompas Gramedia. Nah, di situ saya banyak menuliskan reportase, saya masih menyimpan file-file itu,” jelas Deni.
Ibarat pohon yang berbuah dan memiliki akar, tanah sebagai tempat pohon itu tumbuh telah memiliki benih perbukuan sejak zaman kolonial Belanda. Namun fenomena pohon buku di Bandung dalam perkembangannya terus menurun.
“Sejak zaman kolonial Hindia Belanda di Braga bertebaran toko buku. Di tahun 2004 di pekan buku Indonesia ada arsip yang menyebut ada 70 toko buku di Bandung, tahun 2005 menyurun menjadi 30 (toko buku). Dan kehilangan sumber informasi,” bebernya.
Di tahun 2000 hingga 2010-an toko buku komunitas di Bandung bermunculan, sementara penerbit indie di Yogyakarta menjamur. Di Bandung buku-buku terbitan Yogyakarta didiskusikan dan dibedah.
Geliat buku di Kota Bandung mengalami pasang surut. Sekarang, Deni melihat acara-acara literasi seperti bedah buku maupun nonton film kembali bersemi walaupun ada kencerungan nantinya berguguran kembali.
“Nah, sekarang terbalik pohon bukunya. Batangnya tumbuh banyak, bedah buku, bedah film, dan akhirnya tumbang juga,” jelas Deni.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang buku