Membicarakan Andreas De Wilde dan Kolonialisme di Priangan
Buku Andreas de Wilde tentang Priangan abad ke-19 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Priangan diteliti dan dipelajari untuk kepentingan kolonialisme.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah23 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Orang-orang Eropa di abad ke-19 datang ke Hindia Belanda tidak dengan tangan hampa. Mereka membawa seperangkat metodelogi ilmiah untuk memahami geografi dan kebudayaan warga lokal. Hasil penelitian mereka menjadi bahan pertimbangan kolonialisme.
Salah satu buku hasil penelitian antropolohis orang Eropa di Hindia Belanda ditulis Andreas de Wilde, tuan tanah zaman kolonial Belanda. Pemilik tanah yang luasnya mencakup wilayah Bandung Raya ini menulis buku De Preanger Regentschappen op Java Gelegen. Buku ini terbit perama kali tahun 1829.
Sekarang, hampir dua abad kemudian, buku tersebut diterjemahkan Karguna Purnama Harya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Priangan. Buku ini dibedah Panitia Jumaahan di Kedai Jante Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Bandung, Jumat, 20 Oktober 2023.
Karguna menuturkan, penerjemahan buku Priangan ini diharapkan bisa memantik agar banyak naskah-naskah orang Eropa yang pernah datang ke Hindia Belanda, seperti Andreas de Wilde, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
“Saya ingin memantik saja, banyak naskah-naskah orang Eropa yang memuat mengenai tanah yang kita tempati ini. Kalau gak bisa bahasanya itu bisa disambil. Naskah-naskah itu meminta, ayo-ayo terjemahkan saya, jangan dibaca dicomot sekalimat kemudian dijadikan kronologis saja,” kata Karguna.
Orang-orang Eropa seperti Wilde datang ke Hindia Belanda pasti memiliki maksud dan tujuan, di antaranya yang bersifat antropologis.
“Waktu abad 19 itu banyak buku-buku yang membahas secara geografis Hindia Belanda dan lebih banyak di pulau Jawa. Mereka membuat buku dengan suatu alasan, tujuan utama untuk survey dan mengetahui wilayahnya, bahkan nanti menyarankan ke pemerintah seperti (yang dilakukan) Andreas de Wilde,” ucap dosen bahasa Prancis tersebut.
Orang-orang Eropa yang datang ke nusantara memiliki kemampuan polimatik, menguasai pelbagai ilmu pengetahuan. Andreas de Wilde sendiri adalah seorang dokter bedah yang kemudian menjadi tuan tanah. Ia memiliki perkebunan yang diberi nama Sukabumi.
Melalui penerjemahan buku Priangan ini, Karguna menjelaskan ada tiga hal yang akan didapatkan pembaca, di antaranya rasa peduli terhadap masa lalu.
“Rasa peduli ke masa lalu dan berpetualang. Ketika kita membaca buku abad 19 apa yang muncul dari kepala kita, romantisme masa lalu, dan seolah-olah kita masuk ke mesin waktu,” tutur Karguna.
Diskusi Panitia Jumaahan tersebut juga menghadirkan budayawan Hawe Setiawan, dan dipandu Fikri Gholassahma dari Putaka Jaya.
Priangan di Mata Orang Eropa dan Orang Sunda
Hawe Setiawan menjelaskan, bagi orang-orang Eropa abad ke-19 Priangan adalah tempat memproduksi pengetahuan, seperti yang dilakukan oleh Andreas de Wilde.
“Karena waktu itu produksi pengetahuan eropasentris, paling tidak paruh pertama abad-19, orang Eropa yang semangat memproduksi tulisan dan gambar. Andreas De Wilde di antara orang-orang Eropa yang menulis mengenai itu. Setahu saya semula dimuat secara serial dan terpisah dalam majalah Belanda, De Nederlandche Hermes,” jelas Hawe.
Selain menjadikan Priangan atau Preanger sebagai produksi pengetahuan, orang-orang Eropa juga sering memerkan temuan-temuan mereka di negara-negara mereka. Di negerinya yang jauh, mereka misalnya memamerkan bagaimana kehidupan orang-orang Sunda abad ke-19.
Menurut Hawe setidaknya ada 3 hal yang dibicarakan oleh orang-orang Eropa mengenai Priangan. Pertama, disebut Priangan sebagai lanskap atau bentang alam. Kedua, Priangan disebut sebagai adminstrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan ketiga, Priangan sebagai tempat eksploitasi alam serta budidaya kopi, teh, karet, dan kina.
Sebagai adminstrasi pemerintah, Priangan terbagi 5 kabupaten, yaitu Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan (Garut), dan Sukapura (Tasikmalaya). Kelima kabupaten ini yang menjadi pusat adminstrasi pemerintahan zaman Hindia Belanda.
”(Lima kabupaten tersebut) dikelola juga menjadi tempat paling penting di Jawa untuk mengeksploitasi lahan. Proyek budidaya di sini. Orang-orang Eropa datang ke sini mengelola lahan untuk kepentingan manusia. Karena kepentingan kita kebudaya itu di sini. Menumbuhkan kopi, teh, karet, dan kina itu di Preanger,” sambung Hawe.
Di kemudian hari, lanjut dosen sastra Unpas tersebut, orang-orang Sunda menjadikan Priangan sebagai tempat bebetah, lumampah, dan ziarah.
“Bebetah, mereka yang lahir di Priangan, dan bahkan oleh penyair-penyair tahun 50-an sebagai tempat kubur terhormat bagi dirinya. Salah satunya Ajip Rosidi dulu pernah menulis puisi tentang Priangan. Atau Ramadan KH yang menulis Priangan si Jelita,” ungkap Hawe.
Baca Juga: Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19
Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19
PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Dari Bogor ke Bandung
Proses Kreatif Penerjemahan
Proses pengalihbahasaan dari bahasa Belanda abad ke-19 ke dalam bahasa Indonesia abad ke-21 merupakan kerja kebudayaan yang berdarah-darah serta banyak mengorbankan waktu dan biaya. Meski kini, menurut Karguna Purnama Harya, sudah banyak alat-alat terjemahan yang canggih dan mumpuni.
Kendati demikian, sarjana bahasa Prancis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini menceritakan bahwa keberadaan alat dan teknik penerjemahan tidak akan melahirkan karya terjemahan jika tidak didorong motivasi yang kuat.
“Alat sudah banyak, alat sederhana itu kamus dan kamus yang baik ada tabel tata bahasa. Dan banyak kamus-kamus yang bisa di download playstore dan google translate,” ungkap Karguna.
Alat-alat canggih lain, kata Karguna, tersedia software dan aplikasi mulai dari yang bisa diakses secara online bahkan yang berbayar. “Segi alat sudah mempuni, kalau kita mau kita bisa menerjemahkan,” sebutnya.
Karguna juga membagikan teknik penerjemahan, di antaranya teknik secara literek dan teknik transposisi, mengubah kalimat agar bisa mendapatkan terjemahan yang betul.
“Ketika tata bahasa dirasa sama dengan bahasa Indonesia, kita bisa menerjemahkan secara literek. Itu juga tidak cukup,” tutup Karguna.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau esai-esai Karguna Purnama Harya