Ngadu Buku Bandung, Ruang Temu Pegiat Literasi di Bandung
Ngadu Buku Bandung digelar perdana dalam diskusi Jumaahan di Kedai Jante membahas dua buku tentang Bandung . Menambah satu lagi kegiatan literasi.
Penulis Emi La Palau15 Maret 2023
BandungBergerak.id – Pagi hari, kala cahaya matahari menembus celah rumah. Kabut masih menyelimuti kampung Ciumbuleit. Tak ada suara bising kendaraan yang lalu lalang. Keasrian kebun teh, suara ayam berkokok, daerah Arjasari masih menjadi kebun. Kala itu di tahun 1957, Ciumbuleit belum dipenuhi beton-beton bangunan seperti saat ini. Lanskap kawasan Bandung Utara yang asri.
Begitu suasana Ciumbuleuit yang digambarkan dalam buku Tjiumbuleuit Lanskap Sejarah di Bandung Tempo Doeloe yang terbit pada 2021 karya Masrierie, yang disunting oleh Andrias Arifin. Petikan isi buku tersebut diceritakan kembali dalam diskusi Jumaahan dan Ngadu Buku Bandung, di Kedai Jante Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Kota Bandung, Jumat (10/3/2023) malam.
Dalam diskusi Jumaahan edisi ke delapan tersebut digelar Ngadu Buku dengan mendiskusikan dua buku. Yakni Oh Ledeng, Oh Bandung sejauh Mata Memandang adalah Tembok tahun 2022 karya Adew Habtsa, dan Tjiumbuleuit Lanskap Sejarah di Bandung Tempo Doeloe karya Masrierie yang disunting oleh Andrias Arifin. Dalam diskusi tersebut diselang dengan membacakan petikan buku Oh Ledeng Oh Bandung, oleh Shafira Maharani dan Gadis Noer Hadianty sebagai pencerita dari Ceritabandung.id. Diskusi dipandu Indra Prayana.
“Masih ada asap mengepul dari sela-sela rumah. Suasana seperti itu yang tidak mengira Cimbuleuit yang saat ini penuh hiruk pikuk, kemacetan ke arah Punclut patahan Lembang,” ujar Andrias Arifin, mengisahkan kondisi Cimbuleuit.
Ia menceritakan suasana Bandung di tahun 70an dari detil cerita yang dituliskan oleh Masrierie. Cimbuleuit yang masih asri. Masyarakat desanya hidup dengan mengambil air dari Sungai Cikapundung.
Kemudian, Shafira Maharani menceritakan pengalamannya membaca karya Oh Ledeng, Oh Bandung. Ia tak menyangka dulu kawasan Ledeng begitu asri, memiliki banyak sawah dan bangunan tua. Ia merasakan betul bagaimana Adew kecil tumbuh dan besar di Ledeng yang dikenal keras saat ini, namun dulu menyimpan cerita yang indah.
“Buku ini seperti rasa sakit kang Adew dan kerinduan kang Adew dengan Ledeng dahulu kala, dibungkus dengan romantis dengan menceritakan yang memorable,” ujar Shafira.
Baca Juga: Menggugat Ruang Ramah Disabilitas di Kota Bandung
Menyusuri Lorong Waktu Perjalanan Gedung Merdeka dan Diplomasi KAA 1955
Pertunjukan Kecil dari Rumah Petik yang Menginspirasi
Membakar Semangat Clara Zetkin di Bandung #1: Api Kartini Menyuarakan Perlawanan Perempuan
Awal Mula Perjalanan Kedua Buku
Oh Bandung Oh Ledeng merupakan karya pertama Adew yang lahir dengan proses panjang. Naskahnya sudah disusun sejak tahun 2019. Catatan-catatan dalam buku tersebut sempat hanya tersimpan di blog Adew. Awalnya diberi judul Celupan Bandung. Sampai ketika ada seorang kawan Adew, Maldi Gunawan memintanya untuk membuat naskah tentang Ledeng.
Sempat merasa catatan-catatannya terlalu personal, Adew urung menerbitkan naskah tersebut. Tahun 2022 akhirnya Adew memutuskan menerbitkan naskah tersebut menjadi buku lewat dorongan karibnya, Deni Rachman dari Lawang Buku.
“Yang emosional tidak akan menyesatkan malah akan menerangkan,” ujar Adew mengingat kata temannya tentang bukunya yang dianggap terlalu emosional dan personal.
Akhirnya lahirlah Oh Ledeng Oh Bandung. Buku tersebut mengisahkan perjalanan Adew kecil, tumbuh, dan besar di kawasan kampung Ledeng. Dari buku tersebut, pembaca dapat menyelami kondisi Ledeng di era 1970an yang saat ini sudah jauh berbeda.
Tjiumbuleuit Lanskap Sejarah di Bandung Tempo Doeloe karya Masrierie yang disunting oleh Andrias Arifin punya kisah berbeda. Buku tersebut terbit pertama kali tahun 2017. Buku tersebut sudah dua kali naik cetak. Cetakan pertama 100 eksemplar, dan cetakan kedua 50 eksemplar.
Lahirnya buku tersebut bermula sekitar tahun 2015-2016, Andrias kala itu sedang menelusuri sejarah Bandung. Referensi yang diperoleh dari buku-buku dirasanya masih kurang, ia akhirnya berselancar di internet untuk menambah referensi. Hingga ia mengemuka blog Masrierie di laman Kompasiana. Dari 44 artikel di blog tersebut, ia menemukan 10 artikel tentang Bandung yang dituliskan dengan gaya bercerita feature.
Di dalam blog Masrierie yang ternyata adalah penulis perempuan bernama Sri, banyak menuliskan tentang tumbuhan dengan begitu detail. Di antara tulisannya tersebut terselip memorabilia tentang Cimbuleuit.
Masrierie adalah nama pena yang digunakan penulis Sri. Andrias sempat kesulitan menemukan Sri, sampai pada suatu waktu ia menemukan dalam komentar postingan instagramnya yang menyebut nama akun Masrierie. Setelah itu ia meminta izin untuk bisa menerbitkan tulisan-tulisan Masrierie menjadi sebuah buku.
“Terbit tahun pertama 2017, Tjimbuleuit, karena terinspirasi sebuah buku bahasa Belanda tentang Bandung fun and build, Bandung citra sebuah kawasan, orang Belanda menulis tentang Bandung sebagai kawasan,” ujar Andrias.
Ruang Temu Pegiat Literasi di Bandung
Jumaahan lahir dari kerinduan akan ruang-ruang diskusi di Bandung. Zulkifli Songyanan, inisiator kegiatan diskusi tersebut menceritakan asal mula kegiatan tersebut. Sejak masih kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ia rutin menggelar Reboan, diskusi buku yang digelar di setiap hari Rabu. Hingga di masa pandemi tahun 2020 ia pulang dari Jakarta ke Tasikmalaya, namun masih sering beraktivitas di Bandung. Suatu waktu seorang kawan dari Yogyakarta ingin mencari tempat diskusi di Bandung. Jika harus menjangkau kawan semasa kuliahnya sudah tidak memungkinkan, akhirnya ia menginisiasi untuk kembali menghadirkan ruang diskusi. Sempat kesulitan mencari tempat diskusi sampai akhirnya ia menemukan Kedai Jante di perpustakaan Ajip Rosidi. Diskusi yang dihadirkan berbagai macam, tak hanya soal sejarah Bandung, tentang puisi dan beragam literasi lainnya. Diskusi tersebut juga menjadi ruang temu karya-karya penulis Bandung.
Jumaahan sendiri lahir ketika itu pada hari Jumat ada diskusi Zaki Amani. Spontan saja Zulkifli Songyanan yang akrab dengan sapaan Zul, menyampaikan ke Kang Awe dan Kang Jawot untuk dibuat rutin diskusi Jumaahan.
“Karena dulu saya di UPI diskusi tiap Rabu, Reboan, terus kan ada Kamisan, ini Jumaahan, enak secara bunyi familiar, ya udah dirutinin, terus karena namanya enak gitu Jumahaan, orang ngagapnya Jumaahan itu Salat Jumat, makanya format diskusinya gimiknya dibikin nama pembicaranya khatib,” ujar Zul pada Bandungbergerak.id.
Tujuan lainnya disebutkan Zul, hadirnya Jumaahan dan Ngadu Buku Bandung ini sebagai cara menghidupkan kembali ruang-ruang diskusi yang sudah semakin jarang di Bandung, terutama karena pandemi. Dulu ia sering menemukan diskusi di Gedung Indonesia Mengugat (GIM), lalu di Ultimus Bandung, namun kini sudah jarang.
Lalu, setelah terlibat dengan Patjar Merah pada Desember 2022 lalu ia jadi tahu bahwa Bandung punya banyak penulis, namun karya-karyanya jarang dibicarakan.
“Mungkin dengan adanya ruang seperti ini bisa memfasilitasi teman penulis, jadi sebelum mereka di launching di mana-mana, gitu kan ya dirayakan di Bandung sendiri dulu juga menarik, dan tempat ini memungkinkan begitu, untuk memfasilitasi itu.”
Sementara itu, inisiator Ngadu Buku, Deni Rachman dari Lawang Buku menyebutkan bahwa tadinya kegiatan itu dijadwalkan menjadi acara bulanan dengan Bandungbergerak.id, sementara panitia Jumaahan ini membuatnya acara diskusi mingguan. Ketemulah dan berkolaborasi bersama untuk membahas diskusi pada Jumat malam tersebut yang digawangi oleh Jumaahan, Ngadu Buku Bandung, dan Bandungbergerak.id.
Deni berharap, kegiatan tersebut dapat mengapresiasi penulis-penulis Bandung dengan tema beragam. Di Perpustakaan Ajip Rosidi sendiri terdapat berbagai diskusi buku, mulai dari Reboan yang digelar Klub Buku Laswi di Biblio forum kolaborasi, Kamisan oleh TMB Jabar, lalu Jumaahan oleh Zul.
“Ketiga even ini mencoba membuka ruang di gedung perpus Ajib dihangat lagi literasinya. Pertemuan, wadah temu muka antar penulis komunitas penikmat kopi, pas banget punya kedai, terus pembaca buku, pas buat ruang temu,” ujar Deni.
“Karena setelah pandemi kita rindu akan suasana ketemu kayak gini.”