• Cerita
  • Menyusuri Lorong Waktu Perjalanan Gedung Merdeka dan Diplomasi KAA 1955

Menyusuri Lorong Waktu Perjalanan Gedung Merdeka dan Diplomasi KAA 1955

Pameran foto sejarah “Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia” digelar di Gedung Merdeka, Bandung, mulai 11-19 Maret 2023. Rangkaian Peringatan 68 Tahun KAA.

Tamu yang hadir menyimak sambutan dari Dahlia Kusuma Dewi, kepala Museum KAA dalam pembukaan pemeran foto sejarah “Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia” digelar di Gedung Merdeka, Bandung, pada Sabtu (11/3/2023). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya13 Maret 2023


BandungBergerak.di – Sejak Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955, Gedung Merdeka identik sebagai simbol perdamaian dunia. Sebagaimana diceritakan dalam buku-buku sejarah di sekolah, Gedung Merdeka adalah saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia, juga bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk lepas dari genggaman kolonialis.

Sayangnya, segudang kisah Gedung Merdeka sebelum perhelatan KAA 1955 tidak banyak diceritakan. Padahal, kisah-kisah tersebut dapat menjadi cara untuk memperkuat citra Gedung Merdeka sebagai aset sejarah, wisata, dan soft power diplomacy bagi Indonesia di dunia internasional.

Sejak dibentuk pada tahun 1980, Museum KAA selalu berupaya menjaga api semangat KAA juga pelestarian Gedung Merdeka. Untuk menularkan kedua hal tersebut, Museum KAA bersama Bandung Heritage menggelar pameran foto sejarah bertajuk “Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia” pada Sabtu (11/3/2023).

“Kami ingin mengajak masyarakat semuanya, khususnya di Kota Bandung ini dan juga masyarakat Indonesia pada umumnya, untuk turut serta melestarikan gedung ini sebagai salah satu gedung cagar budaya, yang tidak hanya bangunannya saja tapi juga pemanfaatannya untuk pelestarian sejarah, dan tentunya di bidang pendidikan, dan pariwisata khususnya,” ucap Dahlia Kusuma Dewi, kepala Museum KAA, ketika ditemui selepas kegiatan.

Bertempat di Gedung Merdeka, sejak pukul 08.30 WIB, para tamu yang terdiri dari jurnalis, pegiat sejarah, akademisi, dan pejabat pemerintahan telah duduk menanti dimulainya acara. Di area belakang, nampak foto-foto dan informasi sejarah yang telah dikurasi oleh Christoforus H. Katon B., Ummi A. Khoirunnisa, Tubagus Adhi, Koko Qomara, Ivan Arsiandi, Yudi Hamzah, Bambang Muhamad Fasya A, Zukhrufa Ken Satya Den sudah terpajang apik.

Menjelang pukul 09.00 WIB, kegiatan dimulai dengan sambutan Kepala Museum KAA, Perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, dan Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Sekitar pukul 09.30 WIB, agenda dilanjutkan dengan pemukulan gong sebanyak 3 kali dan pemotongan pita sebagai simbol dibukanya pameran foto ini untuk publik.

“Kami menjaga gedung merdeka bukanlah dengan uang dan kekuasaan, melainkan dengan semangat mencintai setulus hati. Mari bersama kita berbagi peran untuk menjaga Gedung Merdeka agar tetap lestari,” ucap Dahlia dalam sambutannya.

Selepas dibuka, Christoforus H. Katon B. mengajak semua tamu undangan untuk masuk ke dalam lorong waktu perjalanan Gedung Merdeka.

Katon memandu tamu yang hadir dalam pameran foto sejarah bertajuk “Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia” pada Sabtu (11/3/2023) di Gedung Merdeka. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Katon memandu tamu yang hadir dalam pameran foto sejarah bertajuk “Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia” pada Sabtu (11/3/2023) di Gedung Merdeka. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Pertunjukan Kecil dari Rumah Petik yang Menginspirasi
Membakar Semangat Clara Zetkin di Bandung #1: Api Kartini Menyuarakan Perlawanan Perempuan
Kisah Eva, ODHA yang Melawan Stigma
Ketika Rapat Partai Politik Diselenggarakan di Gedung Merdeka

Dari Preanger Planters hingga Perubahan Fungsi Gedung Merdeka Selepas KAA

Melihat kondisi Bandung yang dilingkupi oleh pegunungan-pegunungan, sejak abad ke-18, melalui kebijakan preangerstelsel, masyarakat pribumi diwajibkan untuk menanam kopi. Tepatnya pada tahun 1789, Pieter Engelhard membuka perkebunan kopi di wilayah Tangkuban Perahu. Selain kopi, komoditi lain yang dimiliki Bandung adalah kina dan teh. Melalui tiga komoditas pertanian ini, kemudian muncul sebutan Preanger Planters.

“Nah di pegunungan-pegunungan inilah para Preanger Planters yang pada dasarnya adalah komunitas kecil warga Eropa tapi kekayaannya sangat besar karena mereka memiliki perkebunan-perkebunan di Kota Bandung,” jelas Katon sambil menunjukkan peta Hoogvlakte van Bandoeng (Dataran Tinggi Bandung).

Untuk meningkatkan mobilitas hasil perkebunan di Bandung, Herman Willem Daendels, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda kala itu, membelokan de Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Dari Anyer, selepas melalui Batavia, jalan dibelokan ke arah selatan menuju Bogor, Cianjur, dan Bandung, kemudian kembali mendekati pantai utara hingga Panarukan.

Dampak dari pembangunan Jalan Raya Pos adalah berpindahnya ibu kota Bandung dari Dayeuhkolot ke daerah alun-alun saat ini. Meski awalnya ditujukan untuk kepentingan militer Hindia-Belanda, pembuatan de Groote Postweg berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan sosial di Bandung. Sebab, di sekitar Jalan Raya Pos dibangun hotel, pusat perbelanjaan, dan pusat perkumpulan Bangsa Eropa.

Potongan peta Jalan Raya Pos atau de Groote Postweg (Foto: Booklet Pameran Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia)
Potongan peta Jalan Raya Pos atau de Groote Postweg (Foto: Booklet Pameran Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia)

Pada 29 Juni 1879, para Preanger Planters yang senang berkumpul untuk berpesta kemudian mendirikan Societeit Concordia, sebuah komunitas masyarakat Eropa kelas atas. Komunitas ini diiniasi oleh Frederick Shenk, seorang pemilik perkebunan di wilayah Jampang Selatan, Kabupaten Cianjur.

“Sejak 1879, mereka (Societeit Concordia) menggunakan gedung ini (menunjuk ke arah selatan), bukan gedung yang sekarang. Nah, gedung ini posisinya ada di sebrang gedung kita sekarang, yaitu di daerah de Vries, itu adalah gedung pertamanya Societeit Concordia,” kata Katon.

Pasca peresmiannya, semakin banyak Preanger Planters yang bergabung dalam perkumpulan ini. Akhirnya, pada tahun 1895, Societeit Concordia pindah ke gedung yang lebih besar, yakni yang sekarang menjadi area Museum KAA.

Sebagai perkumpulan paling elit pada masanya, anggota Societeit Concordia kian masif. Hingga pada tahun 1921 dilakukan renovasi pertama untuk pembangunan Schouwburg (yang kini menjadi Ruang Utama Gedung Merdeka) oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker dengan gaya bangunan Art Deco.

Untuk membuat tampilan gedung milik Societeit Concordia ini menjadi lebih menarik, dilakukan renovasi kedua pada tahun 1940 oleh Albert Frederik Aalbers. Renovasi dilakukan pada sayap kiri gedung dengan gaya arsitektur curva linear international style dengan langgam nieuwe bouwen.

Beberapa aktivitas rutin digelar di sini. Umumnya, Gedung Societeit Concordia difungsikan sebagai tempat hiburan bagi bangsa Eropa. Namun tidak hanya pesta, gedung ini juga mulai dijadikan ruang pameran dan pertunjukan yang dikelola oleh de Bandoengsche Kunskring (kelompok seni Bandung).

“Salah satunya yang menarik adalah Rabindranath Tagore. Kalau temen-temen tau, beliau adalah sastrawan yang juga merupakan peraih nobel juga pernah melakukan seminar di gedung ini,” jelas Katon ketika menjelaskan aktivitas di gedung ini yang berkaitan dengan kesenian, baik secara akademik maupun nonakademik.

Tak hanya digunakan oleh bangsa Eropa, Gedung Societeit Concordia juga sempat digunakan sebagai tempat Kongres Sarekat Islam pada 17-24 Juni 1916. Dalam laporan koran Bataviaasch Nieuwsblad tertanggal 22 Juni 1916, pertemuan tingkat nasional itu dihadiri oleh 368.374 orang delegasi dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, Bali, dan Borneo. Kala itu H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, menekankan pentingnya bangsa pribumi untuk bangkit melawan kolonialisme dan penindasan serta memerdekakannya sendiri.

Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Societeit Concordia berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan (angka 9 kecil di atas) yang digunakan sebagai pusat kebudayaan. Sementara itu, pada sayap kiri gedung dinamai Yamato yang digunakan sebagai tempat untuk minum-minum.

“Pada masa pendudukan Jepang, beberapa catatan menyatakan bahwa pada waktu itu gedung bagian sayap timur sempat terbakar,” tutur Katon sambil menujukan potret sisa terbakarnya Gedung Merdeka kala itu.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, gedung ini digunakan sebagai markas Tentara Republik Indonesia untuk melawan tentara jepang. Selain itu, gedung ini juga sempat menjadi tempat kegiatan Pemerintah Kota Bandung.

Pada 1955, Kota Bandung dipilih sebagai penyelenggara KAA. Konferensi pertama yang diselenggarakan oleh bangsa kulit berwarna itu membuat Gedung Societeit Concordia direnovasi dan diganti namanya menjadi Gedung Merdeka oleh Ir. Soekarno. Selama konferensi berlangsung, Gedung Merdeka menjadi saksi kegigihan bangsa Asia dan Afrika untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme.

Selepas gelaran KAA, Gedung Merdeka sempat dimiliki oleh beberapa instansi dan beralih fungsi menyesuaikan dengan instansi tersebut. Instansi-instansi tersebut di antaranya Gedung Kontituante (1955), Dewan Perancang Nasional (Depernas) (1959), dan Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) (1960-1971).

Hingga kemudian, pada 24 April 1960, tepat 25 tahun setelah KAA, presiden kala itu meresmikan Museum KAA. Sebagai upaya mengenalkan dan menjaga semangat KAA kepada generasi muda, Sahabat Museum KAA dibentuk pada 11 Februari 2011.

Katon memberi tahu tamu yang hadir tentang spot terbaik dalam melihat Gedung Merdeka. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Katon memberi tahu tamu yang hadir tentang spot terbaik dalam melihat Gedung Merdeka. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Rangkaian Peringatan 68 Tahun KAA

Pameran Foto Sejarah: Gedung Merdeka dan Diplomasi Perdamaian Dunia adalah kegiatan ke dua dalam rangkaian Peringatan 68 Tahun KAA. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Utama Gedung Merdeka, Jl. Asia Afrika No. 65, Kel. Braga, Kota Bandung. Dari tanggal 11 sampai 19 Maret 2023, siapapun dapat mengunjungi pameran foto sejarah ini, sejak pukul 09.00-15.00 WIB.

Di hari terakhir pameran foto sejarah ini akan diselenggarakan Seminar Nasional dengan tema yang sama. Seminar nasional tersebut akan dibagi ke dalam dua sesi, yakni pukul 10.00-12.00 WIB dan pukul 13.00-15.00 WIB.

Di sesi pertama, akan ada pembahasan terkait “Preanger Planters dan Societeit Concordia” oleh Dr. Miftahul Falah, M.Hum. dan “Gedung Merdeka dari Masa ke Masa” oleh Aji Bimarsono, S.T, M.Sc.. Di sesi kedua, Prof. Reiza D. Dienaputra akan membahas “Gedung Merdeka dan Bandung sebagai Ibu Kota Asia Afrika” dan Dahlia Kusuma Dewi akan membahas “Gedung Merdeka Kini dan yang Akan Datang”.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//