Kisah Eva, ODHA yang Melawan Stigma
Eva Dewi Rahmadiani membagikan pengalamannya saat membuka diri sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Membalikkan stigma bukan pekerjaan yang mudah.
Penulis Tofan Aditya6 Maret 2023
BandungBergerak.id – Di mata tetangganya, Eva bukan sosok perempuan baik-baik. Rokok, minuman keras, narkoba, jarum suntik, dan obat-obatan adalah sahabat Eva sejak SMA. Hampir tiap hari Eva menjadi bahan perbincangan tetangga. Apalagi, Eva adalah anak dari seorang tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, anak dari seorang Ketua RT.
Apa yang dikonsumsi Eva mulai mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari. Sering kali, Eva datang ke sekolah dalam keadaan teler. Eva mengaku, apa yang lakukan kala itu adalah akibat dari pergaulan yang dia pilih.
“Tapi yang paling parah tuh biasanya obat gitu, dan itu gak bisa sedikit, gak bisa satu dua. Pasti selalu banyak. Dan itu skip-nya bisa sampai 3-4 hari,” terang perempuan bernama lengkap Eva Dewi Rahmadiani ketika menjadi pembicara dalam Pameran Foto Manisfesto pada Rabu (1/3/2023).
Diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran pada 2001 tak serta merta membuat nama Eva menjadi harum. Stigma masih saja melekat pada dirinya. Padahal, tak lama setelah diterima, tepatnya tahun 2002, Eva berhenti mengonsumsi narkoba dan obat-obatan.
Namun, dampak dari apa yang dia lakukan kala itu baru terasa pada tahun 2010. Gara-gara jarum suntik yang dulu pernah ia gunakan, Eva dinyatakan positif HIV. Kabar tersebut dengan cepat menyebar ke satu kampung. Sontak, komentar orang tentang dirinya kian pedas. Bagi Eva, mengetahui dirinya adalah penderita HIV/AIDS merupakan titik terendah dalam hidupnya.
“Nangis? Enya lah, tiap hari,” Eva berhenti sejenak, menghela napas, kemudian menghembuskannya sambil tertawa kecil.
Setiap pengunjung yang hadir dalam diskusi bertajuk Menghapus Stigma Kelompok Minoritas di Tengah Masyarakat menyimak cerita demi cerita yang disampaikan Eva selaku orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Tak hanya menyoal keterpurukannya, bincang-bincang ini juga menghadirkan berbagai diskriminasi yang dialami Eva dan perjuangan melawan stigma.
Baca Juga: ESAI TERPILIH FEBRUARI 2023: Menagih Keberpihakan NU, Menyoal Cita-cita Menjadi Youtuber
Ketika Rapat Partai Politik Diselenggarakan di Gedung Merdeka
CERITA ORANG BANDUNG #64: Empat Puluh Tahun Aah Asia Berjualan Tahu Tempe
Menyusuri Gunung Coang di Bandung Timur yang Belum Banyak Dilirik
Eva dan Upaya Membalikkan Stigma
Setelah kabar Eva yang terkena HIV tersebar luas, Eva mulai dipandang berbeda. Tak hanya cibiran, tetangga-tetangga mulai memilih untuk menjauh. Tak hanya tetangga, bahkan keluarga Eva pun mengucilkannya.
Kehidupan Eva dengan cepat berubah. Kala itu, Eva lebih banyak untuk menutup diri dan mengurung di kamar. Bagi Eva, itu lebih baik daripada mendengar perkataan yang tidak enak dari orang-orang terdekatnya.
“Sebenernya itu salah, jadinya stigma muncul saya yang buat. Saya menstigma diri saya sendiri, karena saya tidak mau berinteraksi di luar,” terang Eva yang membuat seisi ruangan tertegun.
Eva, yang telah aktif di Rumah Cemara sejak tahun 2010, mulai mencoba bangkit melawan keterpurukan. Sekali waktu, Eva mendapat kesempatan untuk membagikan pengalamannya di salah satu universitas islam yang ada di Bandung.
Meski mengaku senang dapat membagikan pengalamannya, di lain sisi Eva masih dihantui rasa takut. Eva tak ingin ada keluarga atau tetangganya yang melihat. Selepas acara, Eva kembali menangis. Eva kemudian mempertanyakan apakah membuka status HIV-nya adalah pilihan yang tepat.
“Karena orang tua, keluarga, taunya saya kerja di Rumah Cemara, udah, ngelatih bola, udah aja. Padahal saya kayak begini, masuk ke kampus-kampus, ke sekolah-sekolah. Ngomongin kayak gini,” tutur Eva.
Eva sadar, membalikkan stigma bukan pekerjaan yang mudah. Orang-orang butuh pembuktian, bukan sekadar penjelasan, begitu menurut Eva.
Pada tahun 2016, Eva dipercaya menjadi leader untuk mendampingi anak-anak usia 15 tahun dalam penutupan Euro di Prancis. Selepas bertemu dengan 52 negara dan membawa pulang gelar juara, nama Eva kembali disebut oleh tetangga. Namun kali ini, perkataan positif yang dia dengar.
“Ya karena selama ini kan aku teh jelek terus gitu kan. Rek kumaha oge, rek kuliah alus, rek nikah punya anak oge, angger we da masih tetep dipandang ‘ah geus moal baleg’ gitu kan,” kata Eva sambil menirukan gaya bicara orang-orang yang selama ini mencibirnya.
Tak sampai di situ, Eva terus mencoba berbagai upaya untuk membalikkan stigma yang melekat dalam diri penderita HIV. Boxing, maraton, dan sepak bola adalah alat yang digunakan oleh Eva. Puncaknya pada 2018, Eva menjadi satu-satunya perempuan dari perwakilan Indonesia dalam ajang Homeless World Cup di Mexico.
Selama bertanding dalam ajang tersebut, Eva sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari lawan bertandingnya yang semuanya adalah laki-laki. Eva disikut dan didorong, sampai asmanya kembali kambuh. Tapi meski demikian Eva tetap gigih berjuang.
“Sakitu geus ripuh, sakitu geus capek, saya ingin menunjukkan kalau saya bisa,” terang Eva dengan sangat yakin.
Meski tak mendapat gelar juara utama, duduk di peringkat 10 dari 47 negara menjadi kebanggaan tersendiri bagi Eva. Apalagi Eva sempat diberi peluit oleh wasit senior asal Australia, Harry Millas. Peluit tersebut adalah apresiasi dari Harry karena melihat kegigihan Eva dalam menginspirasi kawan-kawannya.
Lagi-lagi, nama Eva kembali diperbincangkan. Bukan hanya oleh keluarga dan tetangga, tapi se-Indonesia. Satu bulan lebih nama Eva menjadi headline di surat kabar lokal hingga nasional. Eva senang akhirnya dapat membuktikan bahwa menjadi penderita HIV bukan penghalang bagi seseorang untuk berprestasi.
“Itu salah satu cara saya untuk menunjukkan kepada orang-orang, kepada teman-teman atau siapa pun yang mereka menganggap bahwa, mungkin, saya sampah, saya udah tak berguna, saya gak bisa apa-apa, HIV teu bisa nanaon,” tutup Eva.
Menggemakan Kembali Suara Minoritas Lewat Pameran Foto dan Diskusi
Cerita Eva dalam menghancurkan stigma yang melekat pada kelompok minoritas adalah salah satu rangkaian dalam Pameran Fotografi Manifesto “Photography for Humanity”. Pameran yang digelar pada 28 Februari sampai 1 Maret 2023 ini mencoba menggiring audiens untuk memahami posisi kelompok minoritas yang tidak selalu diuntungkan, kerap mendapat diskriminasi, dan dipandang sebelah mata.
Bertempat di Student Center Universitas Islam Bandung, sebanyak 41 karya dari 11 pameris dipamerkan dalam gelaran kali ini. Berbagai kelompok minoritas seperti pekerjaan, identitas, agama, dan gender disoroti dalam pameran yang dikurasi oleh Andri Gurnita ini.
“Setidaknya cerita-cerita mereka (kelompok minoritas) tuh bisa dipahami oleh pembaca,” ucap Fikrazamy Ghifary, Ketua Pelaksana Pameran Foto Manifesto, ketika ditemui selepas kegiatan.
Fikra dan kawan-kawan melihat bagaimana kelompok minoritas kerap memiliki ruang yang lebih sempit untuk bergerak dan bersuara dibandingkan kelompok sosial lain. Selain itu, mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Jurnalistik ini mendapati bahwa kelompok minoritas rentan menjadi korban diskriminasi HAM akibat stigma yang melekat pada diri mereka.
Bagi Fikra, kelompok minoritas punya hak yang sama untuk menyampaikan suara mereka ke publik. Selain itu, hadirnya pameran ini juga sebagai cara dari Keluarga Mahasiswa Jurnalistik untuk berpihak ke kelompok minoritas dan menjaga eksistensi mereka.
“At least, setidaknya pandangan terhadap mereka tuh ga dipandang sebelah mata aja gitu. Terutama stigma yang kita, pengennya setidaknya dikikis sedikit demi sedikit,” pungkas Fikra.