CERITA ORANG BANDUNG #64: Empat Puluh Tahun Aah Asia Berjualan Tahu Tempe
Kini Aah Asia harus memaksa berjualan tahu tempe lebih lama. Harga yang serba naik membuat dagangannya sulit laku. Pandemi memang reda, tapi ekonomi makin sulit.
Penulis Emi La Palau2 Maret 2023
BandungBergerak.id – Jarum jam menunjuk di angka 15.20 WIB, tahu kuning terbungkus plastik putih, tempe terbungkus daun pisang, dan juga oncom masih tertata dengan rapi di atas meja. Sudah sejak pukul lima subuh, Aah Asia (53 tahun) bersama sang suami Olik (57 tahun) bersiap menjajakan dagangan mereka. Sayangnya, hingga sore hari dagangan mereka tak banyak terjual seperti hari-hari sebelumnya.
Aah bersama sang suami sudah 40 tahun berjualan di tepi jalan sebelah timur Pasar Kosambi. Sejak awal ia menjajakan tahu, tempe dan oncom. Sambil sesekali ia pernah berjualan telur, dan ubi cilembu. Namun, akhir-akhir ini ia sudah tak bisa lagi berjualan ubi cilembu, barangnya sulit didapat. Kini, ia hanya menggantungkan pendapatan keluarga pada jualan tahu tempe.
Ia mengeluhkan setelah pandemi mereda, penjualan malah semakin sulit. Dagangannya tak selaris biasanya. Mencari uang semakin sulit. Biasanya ia tutup jualan pada pukul 14.30 WIB, namun sore itu ia masih memaksa buka.
“Masih banyak dagangan, (jualan) sepi, kalau kemarin tahu nyampe habis, setengah tiga (sore) sudah di rumah. Sekarang sepi pisan,” ujar Aah pada Bandungbergerak.id pada Senin (6/2/2023) sore.
Kini berjualan tahu tempe tak seperti tahun-tahun awal ia berjualan di Pasar Kosambi. Kala itu baru satu dua pedagang yang berjualan. Saat ini, ia mesti bersaing dengan puluhan pedagang tahu tempe lainnya. Pedagang semakin banyak, namun pembeli semakin sedikit.
Dagangan yang mulai sepi berpengaruh besar pada pendapatan dan biaya dapur sehari-hari. Yang paling memberatkan adalah modal. Sampai dengan menjelang sore itu, dagangannya baru laku sekitar Rp 500 ribu, masih jauh dari modal yang seharusnya sampai Rp 1 juta lebih. Dari hasil jualan ia hanya mengambil untung sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu, jika jualannya dengan modal Rp 1 juta lebih habis terjual.
“Kalau kayak gini modal (dagangan) masih banyak. Jualannya masih banyak. Namanya jualan ada ramai ada sepi,” keluhnya.
Aah menjual tempe seharga Rp 12 ribu, yang ukuran besar seharga Rp 15 ribu, sementara tahu dari mulai harga Rp 7 ribuan sampai Rp 10 ribu.
“Ambil tahu tempe ada langganan (penjual) yang ngirim, tahu tempe juga. Oncom. Langsung dibayar, gak bisa ngutang, makanya kalau gak punya modal susah. Gak boleh ngutang.”
Saat ini harga-harga di pasar serba mengalami kenaikan. Akibatnya dagangannya tak banyak terjual. Pembeli hanya satu dua orang. Saat pandemi mulai mereda dagangannya justru tak selaris ketika masih ada pandemi.
Aah juga mengalami kesulitan karena naiknya harga kedelai di pasaran. Dulu satu kuintal kedelai seharga Rp 800 ribu namun sekarang seharga Rp 1,4 juta. Cukup mahal, sehingga modal yang dikeluarkannya juga ikut naik.
“Jadi kena yang dagang mah sepi. Padahal sekarang gak ada korona. Tapi masih lebih bagus ada korona,” ungkapnya.
Berjualan saat ini mesti mengandalkan langganan. Jika tak ada langganan, maka jualan akan tersisa banyak. Namun karena harga-harga naik, langganannya tak banyak membeli. Ia mesti bersabar menunggu satu dua pembeli yang datang.
Aah mengeluhkan tempe yang paling susah untuk dijual. Sampai sore itu tempe jualannya tampak masih banyak.
“Dari jam lima subuh laku satu (tempe). Meni edan edan teuing. Kalau lagi laris, laris. Kalau lagi nggak, nggak. Suka susah di jual. Gak ada langganan tetap.”
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #63: Kisah Pak Ogah yang Bertahan di Belantara Kemacetan Bandung
CERITA ORANG BANDUNG #62: Elis dan Berasnya
CERITA ORANG BANDUNG #61: Kisah Yadi Menjelajahi Ribuan Kilometer dengan Sepeda Ontel
CERITA ORANG BANDUNG #60: Imas dan Warung Kecilnya, Seorang Diri Menghidupi Keluarga
Dari Tasikmalaya ke Bandung
Aah berasal dari Tasikmalaya. Ia hijrah ke Bandung sejak tahun 1980an. Di Bandung ia langsung berjualan tahu tempe. Ia bertemu sang suami setelah setahun berjualan, pada 1981 lalu. Beberapa bulan kemudian keduanya menikah. Aah dan sang suami sama-sama berasal dari Tasikmalaya, dari daerah yang sama Singaparna. Pasangan itu kini memiliki tiga anak. Dua di antaranya telah menikah. Sementara yang bungsu baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Aah merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara, orang tuanya dulu berjualan nasi di Jakarta. ia lahir dan tumbuh di Jakarta, bersama keenam saudara lainnya. Beberapa adiknya kini masih bertahan di Jakarta. Satu orang di Tangerang, satu di Grogol, satu orang di Jawa, dan tiga orang di Bandung dengan dirinya.
“Gak ada yang di Tasik, rumahnya dijual. Pada senang di kota gak mau di kampung neng,” ungkap Aah yang lahir pada 1965 silam.
Ketika ditanya tentang cita-cita, perempuan paruh baya itu menjawab dengan ragu-ragu. Ia tak memiliki cita-cita. Aah mengenyam bangku pendidikan hanya sampai tingkat Sekolah Dasar. Dahulu, di kampung untuk mengakses pendidikan masih sulit. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Saat ini Aah bersama keluarganya tinggal di belakang Pasar Kosambi, tak jauh dari rel kereta api. Satu harapan besarnya hingga kini adalah ingin pindah dari rumah tersebut, karena ia sendiri tak begitu nyaman tinggal dekat dengan rel.
Tapi ia mengaku sudah memiliki rumah juga di Tasikmalaya, ia sengaja membangun agar sewaktu-waktu mudik ada rumah untuk beristirahat.
Dari hasil penjualan tahu tempenya, Aah berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga SMA. Kini kedua anaknya telah menikah, sementara si bungsu baru saja menyelesaikan sekolahnya.
“Nyekolahin anak dari hasil jual tahu tempe, nyekolahin anak, bikin rumah juga.”