CERITA ORANG BANDUNG #60: Imas dan Warung Kecilnya, Seorang Diri Menghidupi Keluarga
Imas ditinggal pergi suami untuk selama-lamanya. Kini ia bertahan hidup dengan usaha warung, menanggung kehidupan anak-anaknya.
Penulis Emi La Palau1 Februari 2023
BandungBergerak.id - Jemari Imas Sumiati terampil menuangkan gula ke dalam gelas plastik, menaruh kantong teh di dalamnya, dan menuangkan air panas dari termos. Asap mengepul membawa aroma teh dan gula ke udara. Segelas teh manis panas siap dihidangkan kepada pelanggan.
Imas mengelola warung kaki lima di pinggir Jalan Jamika, Kota Bandung. Warung itu sangat kecil sehingga tak bisa dipakai orang untuk berbaring. Panjangnya hanya satu meter dengan lebar 50 centimeter saja. Di dalam warung tubuh Imas tenggelam dalam berbagai jenis kebutuhan seperti cemilan dan minuman saset.
Sudah hampir 18 tahun Imas menghidupkan keluarga dari hasil warung itu. Salah satu layanan yang banyak diminati pelanggan Imas adalah minuman seduh, di antaranya teh manis tadi.
Tadinya Imas berjualan bersama suaminya. Namun, sejak tahun 2016 sang suami pergi untuk selamanya. Kini Imas melanjutkan usaha seorang diri untuk menghidupi anak-anaknya.
Sepeninggal sang suami, Imas menjadi ibu tunggal sekaligus tulang punggung keluarga. Dua anak perempuannya telah menikah, sementara dua anak lelakinya masih menjadi tanggung jawabnya karena mereka belum bekerja.
Menggantung penghasilan pada warung kecil tentu tak bisa berharap untung banyak. Namanya jualan, jika sedang bagus hasil yang bisa dibawa pulang bisa lumayan. Namun, jika sedang sepi, segalanya jadi serba sulit. Bagaimana untuk makan dan bagiamana agar dagangannya tak berkurang.
“Sekarang pada naik harga-harganya. Kan modal pas-pasan, ya alhamdulillah lebihnya buat makan. Kadang kan anak minta tolong minta isi bensin, minta isi pulsa kadang,” kata Imas, kepada Bandungbergerak.id, Kamis (26/1/2023).
Sambil menanti pembeli, setiap harinya Imas sibuk mengatur keuangan agar bisa buat modal maupun dibawa pulang ke rumah. Pada siang hari ia biasa menuliskan daftar dagangan yang berkurang dan harus segera diisi kembali.
Jika sedang beruntung, laba yang bisa ia raih bisa mencapai 500-700 ribu rupiah dalam sehari. Namun dari laba ini ia hanya bisa menyisihkan 10 persen untuk dibawa pulang ke rumah. Artinya uang yang didapat dari hasil berjualan sejak pagi hingga pukul 9 malam hanya dapat 50-70 ribu rupiah.
Keuntungan bersih tersebut selain dipakai untuk makan keluarga, juga harus disisihkan untuk membayar listrik dan cicilan sepeda motor anaknya.
Menurut Imas, sejak pandemi hasil penjualannya semakin hari terus menurun. Dari satu barang ia tak banyak mengambil untung lebih. Misalnya dari kopi saset, ia hanya mengambil untuk 1.500 rupiah.
“Sekarang juga sama. Itu buat modal juga. Kadang gini, pengeluaran besar pemasukan kadang kurang. Kan rokok mah ga seberapa lebihnya. Sebungkus kadang hanya 1.500 lebihnya (keuntungannya),” tutur Imas.
Belum lagi ia kadang-kadang menghadapi pembeli yang tidak bisa membayar. Itu ia anggap itu sebagai keuntungan yang hilang saja. Ia tak mau ambil pusing.
“Ada yang ngambil bon ga bisa bayar. Ibu yang nombokin. Itu lebihnya untungnya. Orangnya mah ada tapi dia gak bayar. Ya gitulah, jualan capek, untungnya dimakan orang lain,” kata perempuan yang lahir pada 20 Agustus 1972 silam.
Mimpi tak Kesampaian
Imas tumbuh dan lahir bersama enam bersaudara. Ia anak yang paling bontot. Kedua orang tuanya telah lama meninggal. Sang ayah meninggal pada tahun 1986, sementara sang ibu meninggal pada 2019.
Imas hanya bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar. Ekonomi keluarga tak mampu membiayai sekolah anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi saat itu ayah Imas telah meninggal dunia.
Tadinya Imas bercita-cita ingin sekolah di sekolah agama Pajagalan. Namun mimpi itu harus terkubur karena tidak ada biaya.
“Di sekolah Pajagalan, mau kayak gitu tadinya tapi orang tua gak bisa, bapak gak ada. Gak bisa memaksakan, saudara beda lagi kalau sudah rumah tangga masing-masing punya kebutuhan sendiri,” cerita perempuan 50 tahun tersebut.
Begitu lulus SD, Imas mulai bekerja di pabrik di daerah Cibuntu. Selama dua tahun ia menjalani pekerjaan di perusahaan baju tidur itu. Ia mulai menikah di usia 17 tahun.
Sejak menikah itulah ia dan suami memulai jualan. Dari hasil pernikahannya Imas dikaruani empat orang anak. Dua anak perempuannya hanya bersekolah hingga tamat sekolah menengah pertama. Alasannya bukan karena tak mampu menyekolahkan, namun kedua anaknya tak mau melanjutkan pendidikan. Mereka tidak ingin memaksakan kondisi kedua orang tuanya.
Sementara dua anak lainnya, anak ketiga laki-laki hanya lulusan sekolah dasar, dan si bungsu berhasil lulus sekolah menengah atas. Namun, mereka belum mendapat kerja di tengah sulitnya mencari pekerjaan di kota ini. Ia berharap kedua anaknya segera bisa mandiri.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #56: Mak Ayit Penjaga Makam Marhaen
CERITA ORANG BANDUNG #57: Pelik Hidup Hardiman, Tukang Sampah Tanpa Upah
CERITA ORANG BANDUNG #58: Tek, Tek, Tek, Mengadu Nasib dengan Lato-lato
Mencicil Utang Anak
Di tengah himpitan ekonomi keluarga, Imas mesti memutar akal untuk tetap bisa mendapat penghasilan. Tugasnya bukan hanya memenuhi biaya makan sehari-hari keluarga, tapi juga mesti melunasi utang sepeda motor anaknya.
Anak ketiganya yang laki-laki mencicil sepeda motor untuk dipakai ojek daring. Namun anaknya itu tidak melanjutkan pekerjaannya dengan alasan tak jelas. Sementara cicilan motor masih lama dan kini Imas yang harus melanjutkannya.
“Ambil motor belum beres, beberapa bulan anak keluar kerja. Sama leasing terus dikejar-kejar. Sampai ngutang ke sana kemari. Motornya ada. Dari sana (leasing) sudah nelpon terus,” ungkapnya.
Imas menyesalkan keputusan anaknya yang tidak melanjutkan usaha ojek online, keputusan yang menjadi beban tambahan baginya.
Selain menghadapi urusan keluarga, risiko Imas berjualan di pinggir jalan tidaklah kecil. Ia khawatir warungnya yang kecil dibobol maling. Apalagi sekarang rawan begal.
Ia juga pernah berurusan dengan Satpol PP. Beberapa kali ia pernah ditegur oleh Satpol PP agar tidak berjualan di pinggir jalan. Mereka tak mau tahu betapa beban hidup yang harus ditanggung Imas sangat berat.
Siang itu, Imas masih duduk di dalam toko kecilnya, setia menunggu pembeli.