CERITA ORANG BANDUNG #57: Pelik Hidup Hardiman, Tukang Sampah Tanpa Upah
Hardiman sudah 15 tahun bekerja sebagai tukang sampah TPS Cijambe, Bandung. Ia tidak pernah mendapatkan upah tetap. Pekerjaan ini membuatnya merasa tenang.
Penulis Mawaddah Daniah7 Oktober 2022
BandungBergerak.id – Bandung kota metropolitan ketiga terpadat di Indonesia. Masyarakat pendatang melihat Kota Kembang ini sebagai tempat terbaik untuk memanjakan diri sekaligus peluang mencari penghidupan.
Namun di balik itu, terdapat permasalahan utama Kota Bandung yang masih menjadi sorotan dari berbagai pihak, yaitu sampah. Dinas Perumahan dan Permukiman yang dipublikasikan Open Data Jabar mencatat, pada 2021 angka produksi sampah di Kota Bandung mencapai 1.529 ton per hari.
Sampah hadir karena adanya aktivitas manusia. Pola konsumsi masyarakat yang semakin tinggi membuat volume sampah juga semakin besar. Hal tersebut diperparah dengan ledakan jumlah penduduk dan meningkatnya gaya hidup masyarakat.
Maka, tidak bisa terbayang jika aktivitas manusia disandingkan dengan kegiatan sehari-hari tanpa adanya tukang sampah. Pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang malah menjadi profesi terpenting dalam segi kehidupan.
Itulah pekerjaan yang sedang digeluti oleh Hardiman (55 tahun), tukang sampah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Cijambe, Kota Bandung.
Sudah belasan tahun kegiatan pergi pagi pulang sore dilakukan Hardiman. Ia menjalankan tugas berupa memilah sampah, ditemani lalat dan belatung yang menguar di balik tumpukan limbah pangan. Hewan yang umumnya dianggap kotor itu menjadi pemandangan biasa di tempat kerjanya.
Pada Rabu (5/10/2022) di siang hari yang terik, Hardiman bercerita bahwa pekerjaan yang sudah ditekuni selama belasan tahun ini tidak pernah digaji. Bahkan pekerjaannya sama sekali belum pernah dilihat oleh dinas kebersihan atau RT sekalipun. Ia bekerja seperti sukarela.
Untuk mendapatkan penghasilan, ia harus mengumpulkan dan menjual kembali sampah yang masih bisa didaur ulang. Artinya ia harus menunggu sampah terkumpul sebelum bisa menjualnya. Penghasilannya tentu tidak tetap setiap harinya. Namun, jika dikalkulasikan, ia bisa mendapatkan 2 juta rupiah per bulannya dari menjual sampah.
Risiko pekerjaan yang tinggi berbanding terbalik dengan upah yang didapatkan. Itulah yang dirasakan oleh Hardiman selama bekerja. Sebagai kepala keluarga yang memiliki istri dan 5 anak, ia bersyukur dengan penghasilannya itu. Saat ini 4 anaknya sudah memiliki penghasilan sendiri.
“Kalau dinikmati, kalau disyukuri, berapa pun cukup saya yakin,” kata Hardiman, kepada BandungBergerak.id.
Hardiman sebenarnya sudah dilarang bekerja oleh anak-anaknya. Mereka menilai sang bapak sudah cukup tua. Mereka juga sudah cukup sanggup untuk membalas budi jasa orang tua. Namun, Hardiman merasa masih kuat untuk bekerja dan tidak mau membebani anak-anaknya. Bahkan ia dan istri akan menolak mentah-mentah jika anaknya memberikan uang.
“Sebenarnya saya juga dilarang sama anak suruh berhenti, tapi saya masih kuat insya allah. Saya juga ga mau ngebebanin anak, biarpun maaf ya anak saya juga manager, penghasilannya ya mungkin berani memberhentikan saya juga, sanggup membiayai saya, tapi saya gak mau dikasih (uang oleh) anak,” ucap Hardiman.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #54: Arianja Menambal Ban demi Kehidupan
CERITA ORANG BANDUNG #55: Nanawati, Tulang Punggung Keluarga di Usia Senja
CERITA ORANG BANDUNG #56: Mak Ayit Penjaga Makam Marhaen
Sampah Berbahaya
Walaupun TPS memang kotor dan berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, tidak membuat Hardiman ingin berhenti dari pekerjaannya. Menurutnya, tubuhnya malah menjadi lebih kebal karena sudah terbiasa di tempat seperti ini. Kalau sakit ia merasa cepat sembuh. Dan jika teman sepekerjaannya sakit, maka ia akan memberikan bantuan dengan teman-teman lain untuk membawakan makanan ke rumahnya.
Menjadi tukang sampah tidak mengenal waktu dan juga cuaca. Tidak ada istilah jika hujan akan berhenti, karena berhenti 1 sampai 3 jam saja, maka sampah akan membludak. Setiap waktu selalu ada orang yang membuang sampah langsung ke TPS. Begitu juga tiap RT yang mengkolektifkan sampah akan membuangnya ke TPS.
“Kalau saya santai dari pagi sampai jam 10, jam 11, jam 12, jam 1. Nanti kalau bagian saya sore sampai jam 11 malam. Karena kalau gak dijaga sampai jam 11 malam, sampah tuh di jalan (buangnya). Jadi gak berhenti, nanti jam 11 ada yang nunggu lagi, ada sif-sifnya,” cerita Hardiman.
Perilaku masyarakat berbeda-beda dalam memperlakukan sampah. Masih banyak masyarakat yang menaruh sampah di sembarang tempat. Hal ini yang membuat pekerjaan Hardiman berdambah panjang. Hardiman dan kawan-kawan harus terjaga sepanjang malam agar tidak ada lagi masyarakat nakal yang melakukan hal tersebut.
Sebagian besar sampah yang dihasilkan di TPS Cijambe ialah sampah organik sisa makanan dan juga sampah dapur. Pernah sesekali ia kedapatan melihat aparat yang sewenang-wenang membuang sampah yang bukan sampah dapur, terlebih aparat tersebut bukanlah berasal dari lingkungan Cijambe.
“Pelat mobil merah itu kan pemerintah, buang seenaknya. ‘Pak ini sampah dapur ditambah ini sampah bukan di daerah sini, ini untuk sampah daerah Pasir Endah, bapak darimana?’” tutur Hardiman.
Hardiman juga mengeluhkan mengenai jenis sampah yang dibuang tanpa memperhatikan apakah sampah tersebut berdampak pada tukang sampah atau tidak. Banyak orang yang sembarangan membuang alat praktik rumah sakit, bahkan bahan kimia. Sering kali kejadian tidak mengenakkan dialami oleh Hardiman dan temannya. Ia melihat sendiri bagaimana temannya kejang karena menghirup dan menyentuh barang berbahan dasar kimia itu.
Meski demikian, Hardiman senang karena masih banyak masyarakat yang peduli dengan menuliskan jenis sampah apa yang dibuang, yaitu beberapa barang yang dapat membahayakan jika disentuh langsung seperti paku dan kaca pecah.
“Ada yang sadar ‘pecahan kaca’, terus ada tulisan ‘ini sampah pampers’, baik itu. ‘Ini dari rumah sakit’, itu bagus,” ujarnya.
Bagaimanapun risiko pekerjaan yang didapat oleh Hardiman, ia tetap senang dengan pekerjaannya. Ia juga tidak terpikirkan untuk bekerja di tempat lain. Selain merasa dirinya sudah tua dan tidak mudah mendapat kerjaan baru, ia juga merasa tenang berada di lingkungan TPS tempat ia bekerja.
“Saya hidup ini bukan mencari kesenangan tetapi ketenangan. Untuk apa senang kalau tidak tenang,” ungkap Hardiman.