CERITA ORANG BANDUNG #54: Arianja Menambal Ban demi Kehidupan
Arianja bersama suaminya merantau dari Medan, Sumatera, ke Bandung, dengan harapan bisa membangun kehidupan yang lebih baik.
Penulis Luqy Lukman Anugrah18 Juli 2022
BandungBergerak.id - Bandung telah menjadi kota metropolitan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat seakan menjadi magnet bagi para pendatang untuk mengadu nasib dan menggantungkan mimpinya. Berharap merubah keadaan ekonomi menjadi baik namun nyatanya harus terjebak dalam kerasnya hidup.
Segala pekerjaan ada di kota urban dengan jumlah penduduk 2.452.943 jiwa (BPS pada 2021) ini. Di sisi lain, beragam pekerjaan tersebut tak mudah didapatkan. BPS mencatat pada 2021 angka pengangguran terbuka mencapai 11,46 persen. Maka pekerjaan di sektor nonformal menjadi andalan, antara lain tambal ban yang tersebar di setiap sudut kota.
Bagi para pengendara kendaraan bermotor kehadiran tukang tambal ban sangat dibutuhkan, apalagi laju pertumbuhan kendaraan di Bandung melesat setiap tahunnya. BPS Kota Bandung pada 2005 mencatatat jumlah kendaraan bukan umum [kendaraan pribadi dan dinas] sebanyak 255.492 unit.
Satu dasawarsa berselang atau tahun 2015, jumlah kendaraan bukan umum meroket ke angka 1.062.207 unit. Pada 2018, terakhir kali BPS mencatat data jumlah kendaraan di Kota Bandung, jumlah kendaraan bukan umum menjadi 1.724.494 unit.
Maka dengan sendirinya keberadaan para tukang tambal ban dibutuhkan. Salah satu tukang tambal ban terdapat di sudut jalanan berdebu Gedebage. Pekerjaan ini lazimnya digeluti oleh kaum pria. Namun di Gedebage, pekerjaan tambal ban dikerjakan seorang ibu, Arianja (50 tahun) dengan 3 anaknya.
Arianja menempati kios sangat minimalis, 1×2 meter, yang dipenuhi ban-ban bekas dan perkakas. Kios tambal ban di Bandung timur ini sehari-hari tidak terlalu ramai, kecuali hanya dituju pengendara sepeda motor yang mengalami ban bocor atau kekurangan angin.
Pada Rabu (13/7/2022) sore yang cuku cerah, di sela-sela kecekatannya dalam memperbaiki ban motor yang bocor, Arianja bercerita bahwa ia dan suaminya Manulang mulai merantau dari Medan, Sumatera, ke Bandung pada 1998.
Kira-kira, kedaadaan waktu itu Indonesia sedang penuh gejolak politik dan ekonomi. Tahun tersebut adalah periode suksesi kepemimpinan nasional dari Suharto yang sudah 32 tahun berkuasa secara otoriter ke BJ Habibie. Rakyat terjepit dalam pancaroba yang disebu era reformasi ini.
Tujuan Arianja ke Bandung tidak lain untuk mencari peruntungan hidup yang lebih baik di tengah krisis ekonomi yang melanda. Bermodalkan keyakinan bahwa Bandung merupakan kota yang mudah untuk mereka dalam mencari uang.
Maka, Arianja bersama suaminya membuka kios tambal ban. Sekali tambal 10 ribu Rupiah, juga menjual bensin eceran seharga 14 ribu Rupiah per liternya. Tak terasa 24 tahun berlalu sejak ia bersama suaminya mulai membuka jasa tambal ban.
Sehari-hari, mereka biasa buka hingga pukul 8 malam. Arianja sering membawa pulang hasil jasa tambal ban dan jualan bensin eceran sebesar 100 hingga 150 ribu Rupiah per harinya.
“Ah 100 ribu sahari ayeuna mah ges irit eta mah, belum gas, minyak, ah sagala we, 100 mah ges beak, can jang kontrakan,” kata Arianja, kepada BandungBergerak.id, mengeluhkan kondisi ekonomi saat ini yang sulit, dengan bahasa Sunda logat Batak yang khas.
Selain kecekatan dalam membetulkan masalah ban, pekerjaan ini memerlukan pemilihan tempat yang strategis. Semakin strategis tempat tambal ban maka penghasilan bisa semakin meningkat.
Arianja bersama suami sudah beberapa kali berpindah tempat usaha. Bermula dari komplek perumahan Sindangsari hingga memutuskan menetap di pinggiran jalan Gedebage sejak 3 tahun lalu.
Baginya, tempat yang kini ia tempati sangat membantu dalam usahanya. Ia hanya perlu membayar biaya listrik dan tak harus membayar sewa.
“Saya mah kan sekalian menjaga gerbang juga bagi yang punya tempat, jadi saya ngikut ke gudang rosokan. Yang penting asal jangan mengganggu jalan, cuma listrik saja paling ngisi token,” kata Arianja.
Arianja lantas bercerita mengapa ia dulu memilih meninggalkan kampung halamannya di Medan. Dalam benaknya ia menganggap bahwa Bandung dapat merubah nasib ia dan suaminya.
“Katanya di Bandung gampang nyari duit, ternyata bagi orang yang punya pendidikan tinggi saja, kalau yang ga sekolah kayak saya kan tetap susah,” keluh Arianja yang lulusan Sekolah Menengah Pertama.
Meski demikian, ia tetap giat bekerja demi bisa menyekolahkan anak-anaknya. Ketiga anaknya masih sekolah. Si sulung sudah masuk SMK, adik-adiknya yang satu kelas 5 SD dan satu lagi siap-siap tahun ini masuk SD. Arianja bingung menghadapi biaya sekolah yang kini sangat mahal.
“Sekarang biaya sekolah cukup mahal ga kaya dulu, apalagi zaman sekarang mah sekolah harus pakai HP, perlu ada kuota juga,” keluhnya.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (51): Impian Aat Maslahat di Kantin SDN 166 Ciateul
CERITA ORANG BANDUNG #52: Nevi Aryani, Pengabdian Seorang Guru Honorer
CERITA ORANG BANDUNG #53: Imas dan Hendra Menabur Harapan Baru di Pasar Bunga Karanganyar
Berawal dari Mencoba
Arianja tidak langsung bisa melakukan pekerjaan tambal-menambal ban. Awalnya ia fokus sebagai ibu rumah tangga dan hanya menemani sang suami di kiosnya. Keterampilan Arianja dalam memperbaiki ban motor tumbuh secara alamiah ketika sang suami sedang tak berada di tempat usahanya.
“Tadinya kalau Abang (suami) ga ada karena ada juga yang ngajarin tambal ban, ah daripada ga ada buat beras ya saya coba, eh bisa. Jadi kalau ga ada abang semisal ngurusin sekolah anak saya bisa, sekarang juga lagi belajar ganti kanpas rem,” tambahnya.
Arianja berharap agar kehidupan keluarganya terus berlanjut di Kota Bandung. Meski secara administrasi Arianja bersama keluarga menjadi warga Bandung, namun selama ini ia belum pernah sama sekali mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Kalau bantuan (dari pemerintah) ga pernah dapat, ah yang penting ibu mah bisa buat makan saja istilahnya mah,” ujarnya.
Kini, Arianja dan keluarga makin merasa nyaman tinggal Kota Bandung, walaupun dengan penghasilan yang pas-pasan. Baginya, Bandung ibarat kampung halaman yang kedua, meski pada awal-awal menginjakan kaki pernah beberapa kali mereka mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan di kota urban ini.