• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (51): Impian Aat Maslahat di Kantin SDN 166 Ciateul

CERITA ORANG BANDUNG (51): Impian Aat Maslahat di Kantin SDN 166 Ciateul

Aat Maslahat anak petani dari Garut. Datang ke Bandung untuk mencari suaminya yang lama tak berkabar. Dari sinilah perjuangannya menemui babak baru.

Aat Maslahat di warugnya, Warung Bu Aat, di depan SDN 166 Ciateul, Jalan Inggit Garnasih, Kota Bandung, Sabtu (21/5/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau22 Mei 2022


BandungBergerak.idJemari Aat Maslahat (42) cekatan menyeduh minuman dingin untuk para pengemudi ojek online yang mampir ke gerobak dagangannya. Ada pula pembeli yang pesan kopi sasetan. Minuman dingin dan kopi ia jual dengan harga yang sama, Rp 3.000.

Aat tak bisa menjual minumannya dengan harga lebih mahal karena sasaran pembeli sebenarnya anak-anak sekolah. Jika harganya dibedakan dengan orang dewasa, ia tak sampai hati.

Aat membuka gerobak Warung Bu Aat di depan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 166 Ciateul, Jalan Ibu Inggit Garnasih, Kota Bandung. Tak hanya menjual minuman, Aat juga menjual gorengan bikinan sendiri, seperti combro, tahu dan tempe. Lalu, ada tambahan lontong yang ia beli di pasar. Ia juga menjual nasi ayam seharga Rp 10.000. Jika ditambah dengan tahu dan tempe maka seporsi nasi ayam menjadi Rp 12.000.

Gak bisa jual mahal di sini mah. Misalnya minuman Rp 5.000 (per gelas), masalahnya jualnya ke anak sekolah gak bisa dimahalin. Kalau misal ada yang belanja orang dewasa, gak enak kalau beda harga, ya sudahlah Rp 3.000 yang penting mah berkah saja,” ungkap Aat saat ditemui BandungBergerak.id, Sabtu (21/5/2022).

Sudah 2 tahun ini Aat menjajakan dagangannya bersama gerobak yang dilindungi tenda sederhana, tepat di depan SDN 166 Ciateul. Mulanya ia menjajakan dagangannya di kantin sekolah. Namun pandemi Covid-19 menghentikan jualannya. Hingga kini ia belum bisa lagi berjualan di kantin karena sekolah tatap muka belum begitu normal, ditambah saat ini para murid sekolah masih musim ujian dan tidak lama lagi musim libur.

Aat bisa berjualan setelah mendapatkan gerobak dari suatu organisasi. Selama beberapa waktu, ia harus membayar harga gerobak yang per bulannya Rp 50.000. Kini cicilan itu sudah lunas.

Setiap hari ia harus bekerja keras menjalankan usahanya. Pagi-pagi sekali pukul 3.30, ia sudah bangun dan bergegas ke Pasar Ancol untuk membeli bahan-bahan jualannya. Jarak Pasar Ancol dari sekolah – yang menjadi tempat tinggal Aat beserta suami dan anak-anaknya – hanya beberapa kilometer yang ia tempuh dengan berjalan kaki.

Setelah semua siap, pukul 6 pagi, ia mulai membuka dagangannya. Hingga siang hari itu, pukul 14.00, baru beberapa dagangan yang terjual. Uang yang berhasil ia kumpulkan baru Rp 70.000. Pendapatan ini sangat jauh berbeda dengan dulu, sebelum pandemi melanda, ketika ia masih berjualan di kantin sekolah. Waktu itu dalam setengah hari saja ia pernah mengumpulkan Rp 1 hingga 1,2 juta.

Pandemi benar-benar menghantam ekonomi Aat, sampai kini dampaknya masih terasa. Kini jumlah barang dagangannya jauh berkurang karena kurangnya pembeli.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (48): Lia Sang Pengemudi Online, Gigih Bekerja demi Menguliahkan Anak
CERITA ORANG BANDUNG (49): Bi Mimin, Kuli Perawat Makam di TPU Pandu
CERITA ORANG BANDUNG (50): Bu Indawati, Pedagang Minuman di Alun-alun Bandung yang Terjebak PPKM

Warung Bu Aat di depan SDN 166 Ciateul, Jalan Inggit Garnasih, Kota Bandung, Sabtu (21/5/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Warung Bu Aat di depan SDN 166 Ciateul, Jalan Inggit Garnasih, Kota Bandung, Sabtu (21/5/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Sempat Tak Punya Uang Untuk Makan

Aat tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di SDN 166 Ciateul sejak 2013. Ia bisa bernaung di SD karena sang suami bekerja sebaga penjaga sekolah. Dulunya sebelum berjualan di kantin sekolah, ia menjadi pencuci pakaian di rumah orang-orang yang membutuhkan jasanya.

Semenjak tahun 2015 ia mulai diizinkan berjualan di kantin sekolah. Hal ini sangat membantu keuangan keluarga yang terbilang serba kekurangan. Sebagai penjaga sekolah, suaminya mendapatkan honor ketika dana BOS cair yang jaraknya bisa berbulan-bulan. Jika Aat mengandalkan penghasilan suami, tentu sulit untuk memenuhi biaya dapur.

Banyak pekerjaan yang Aat lakoni untuk membantu ekonomi keluarga. Ia pernah kerja di konveksi hingga di pencucian gorden-gorden pesta.

Aat dan suamiya bisa bernaung di SDN 166 Ciateul berkat informasi dari ibunya yang bekerja di rumah kepala sekolah. Setelah itu, ia dan suami mendapat kesempatan yang sama.

Selama pandemi, ia merakan betul keterpurukan ekonomi keluarganya. Sampai pernah suatu hari ia tak punya uang sama sekali. Tidak ada penghasilan sama sekali karena kantin sekolah yang ia andalkan tutup. Sementara kebutuhan makan anak-anak tak bisa ditunda. Dan gaji suami sebagai penjaga sekolah belum cair.

Pada awal-awal pandemi ia juga tak mendapat bantuan dari pemerintah. Bantuan itu baru ia dapatkan setelah pandemi lama berselang.

 “Ibu pernah ga punya uang sama sekali. Bingung mau jualan kan sepi banget, jadi ibu teh bantuan gak ada baru dapet bantuan juga baru kemaren beras, uang Rp 600 ribu baru sekarang-sekarang dapat bantuan (2022). Sejak pandemi gak dapat bantuan dari pemerintah,” ungkapnya.

Dalam kondisi tidak ada uang itu, meski malu, ia akhirnya terpaksa meminta bantuan kepada ibu kepala sekolah. Ibu kepala sekolah mengerti dengan kondisi sulit yang dihadapi Aat.

“Ya ibu cerita ke ibu kepala sekolah, gimana lagi malu-malu juga, biasanya ibu kalau ga ada buat makan suka diem aja, sampai parah banget. Biarlah malu juga ngomong ke ibu kepala. Dikasih pakai urang pribadi,” tuturnya.

Memperjuangkan Anak agar Bisa Kuliah

Aat tumbuh dan besar di Garut. Perempuan kelahiran 42 tahun silam ini lahir dari keluarga petani yang tak berkecukupan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Pendidikannya terhenti hanya sampai sekolah dasar. Karena kondisi ekonomi. orang tua Aat tak mampu menyekolahkannya ke jenjang pendidikan berikutnya.

Aat mengaku dulu sebenanya semangat kuliah. Tapi apa daya ia harus menerima kemampuan ekonomi keluarga yang terbatas. Aat kemudian membantu orang tuanya bertani. Ia giat menanam padi, jagung dan lain-lain.

Aat nikah di usia yang masih terbilang muda pada usia 19 tahun. Ia memiliki tiga orang anak, semuanya perempuan. Satu orang anaknya sudah berhasil lulus sekolah menengah atas. Sementara anak keduanya masih duduk di bangku kelas 3 SMK, dan si bungsu masih duduk di bangku kelas 5 SD.

Ia sendiri memiliki harapan besar agar anak-anaknya dapat disekolahkan setinggi-tingginya. Ia tak ingin nasib serupa yang ia alami menimpa anak-anaknya. Namun, harapan itu harus ia tahan karena kondisi yang tak memungkinkan. Pendidikan si sulung yang sudah tamat SMA tampaknya belum bisa dilanjutkan ke perguruan tinggi.

“Maunya anak-anak kuliah kalau ada biaya, (ingin disekolahin) setinggi tingginya,” harap Aat.

Mencari Suami

Cerita Aat bisa bekerja dan tingga di Bandung rupanya penuh liku. Awalnya, suaminya yang lebih dulu merantau ke Ibu Kota Jawa Barat ini, dengan harapan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih dibandingkan bekerja di kampung. Aat sendiri ditinggal di kampung. Ia sedang mengandung anak kedua.

Setahun lamanya sang suami tak memberi kabar maupun mengirimkan uang. Hal ini membuat Aat berpikir bahwa rumah tangganya akan hancur.

Aat memutuskan mencari suaminya di Bandung, bermodalkan Rp 40.000 hasil penjualan perhiasan miliknya. Dengan bekal pas-pasan itulah ia tiba di Bandung untuk pertama kalinya. Ia berhasil menemui suami yang ternyata kondisinya menyedihkan.

“Ternyata dia (suami) juga sulit, jangankan ngirim, untuk makan dia juga sulit,” ceritanya.

Aat pun memutuskan untuk bahu membahu bersama suami agar bisa bertahan dan bangkit. Ia memilih menetap dan bekerja di Bandung, melakukan pekerjaan apa saja hingga bisa menetap di sekolah. Salah satu impian yang membuatnya terjaga adalah menyekolahkan putri-putrinya sampai tinggi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//