CERITA ORANG BANDUNG #55: Nanawati, Tulang Punggung Keluarga di Usia Senja
Usianya sudah 60 tahun. Nanawati setia pada suaminya yang sakit-sakitan. Separuh hidup Nanawati dihabiskan dengan berjualan dari pasar ke pasar.
Penulis Sherani Soraya Putri5 September 2022
BandungBergerak.id - Menjelang siang hari, di balik lalu-lalang para pejalan kaki dan kendaraan yang melintasi Jalan Mohamad Ramdan, para pedagang mulai membuka lapak di bagian trotoar jalan sekitar Pasar Ancol, Karapitan, Kota Bandung. Namun jumlah pengunjung tampak lengang, berbeda dengan di area dagang utama pasar.
Dalam suasana lengang itu, Nanawati, 60 tahun, adalah satu dari enam pedagang lainnya yang memilih berjualan di pinggir trotoar jalan Pasar Ancol. Ia menggelar terpal dan karung sebagai alas pelbagai macam jenis sayuran dan buah-buahan yang dijualnya. Di atas kursi kecil, ia duduk sembari menawarkan barang dagangannya pada setiap orang yang lewat.
Nanawati sebenarnya tinggal di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Perjalanan dari rumahnya ke Pasar Ancol membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam dengan menempuh sekitar 40 kilometer jalur Bandung-Garut.
“Saya setiap hari pulang pergi jualan. Kadang ngontrak sebentar tiga atau empat hari di Melong, ada kontrakan yang 300.000-500.000 rupiah sebulan,” ujar Nanawati, Sabtu (3/9/2022).
Biasanya ia berangkat dari kawasan Bandung timur itu pukul 3 subuh. Setiap tiga minggu sekali, ia harus belanja bahan jualan di Pasar Induk Caringin. Tepat pukul enam, barulah ia sampai di Pasar Ancol. Ada ketakutan setiap kali ia harus menempuh perjalanan di hari masih gelap, namun ia yakin bisa melaluinya.
Sesampainya di Pasar Ancol, situasi lapaknya masih sangat sangat sepi, karena banyak dari pembeli memilih untuk mendatangi penjual langganannya. Mereka yang di dalam bisa ramai di datangi oleh pengunjung hingga pukul 05.00 sore. “Ibu mah ngarah orang-orang lewat-lewat ke sini saja,” tuturnya.
Lama jualan di atas trotoar Pasal Ancol tidak menentu. Dulu, selagi sering pelaksanaan penertiban dari Satpol PP Kota Bandung, jam 09.00 jualannya harus sudah beres-beres. Padahal lama jualannya biasanya tidak lebih dari pukul 11.00 siang. Namun hal itu hanya bersifat sementara, karena sekarang sudah tidak ada lagi upaya penertiban itu.
Separuh hidup Nanawati dibabiskan dengan bekerja, yaitu jualan dari pasar ke pasar. Sebelumnya ia pernah berjualan di Pasar Cicalengka, Pasar Limbangan, Gugunungan, Kiaracondong. Namun usahanya itu selalu sepi. Pernah modalnya sampai habis hingga gulung tikar.
Nanawati mulai berjualan di Bandung sejak 1987. Tapi rupanya berjualan di Ibu Kota tak semudah yang dibayangkan, kendala utamanya adalah terlalu banyak aturan alias tidak bebas.
Di Bandung, ia pernah jualan di Pasar Dulatif, tepatnya di belakang Pasar Baru. Nahas, lagi-lagi ia menghadapi momok yang selama ini menghantuinya: sepi pembeli. Kemudian ia memulai harapan baru dengan berjualan di Pasar Ancol, terhitung hingga saat ini sudah 25 tahun ia bertahan di sana. Total sudah 30 tahunan ia hidup mengandalkan penghasilan sehari-hari dari berdagang.
Apabila dibandingkan, terdapat perbedaan ketika berjualan di kampung dan di kota. Hal tersebut menjadi indikator pertimbangannya memutuskan untuk mempertahankan mata pencahariannya di kota.
“Aku pernah jualan di kampung, nggak laku, banyak yang ngutang, di sana susah banget cari penghasilannya, sedangkan di kota peminatnya jauh lebih banyak,” terang ibu 9 anak ini.
Sepi setelah Pasar Ancol Direnovasi
Semenjak memulai berjualan di Pasar Ancol, Nanawati pernah membuka lapaknya di dalam pasar, namun ternyata masih sama saja, tidak terlalu laku, terlebih setelah pasar itu di renovasi. Memang benar jika kondisi pasar jadi lebih bersih, rapi, dan tertib. Tapi hal tersebut tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap penghasilannya.
Harapan yang ia pupuk dari kampung ketika memilih untuk berjualan di kota akan merubah nasib dirinya dan keluarga, malangnya tidak berjalan demikian. Namun tidak berselang lama, ia pindah berdagang di luar, yakni di pinggir trotoar. Tetapi terdapat kondisi yang membuatnya berpikir, bahwa berjualan di dalam atau di luar sama saja, kurangnya pembeli tidak berdasarkan pada tempat berdagang.
“Kalau pas ibu di dalam pun juga nggak terlalu laku, tapi penjual-penjual yang lain, sekarang pada laku, tapi mungkin rezekinya ibu saja nggak laku. Mungkin karena ibu kelihatan tua, pembelinya nggak ada yang mau beli ke ibu,” ungkap Nanawati.
Di balik semua itu, ia menerima kondisi yang dilalui selama berjualan di luar, setidaknya tidak sampai mengalami kerugian besar seperti sebelumnya.
Selama ini ia mengumpulkan modal 1.000.000 rupiah untuk digunakan kebutuhan dagang selama tiga hari, dengan pendapatan per harinya 500.000 rupiah. Walaupun demikian, jika ditarik ke belakang ia juga pernah mendapatkan 800.000-1.000.000 rupiah, namun sekarang sudah sangat jarang terjadi.
Contohnya ketika masa pandemi, di kala perekonomian semakin merosot, ia mengalami kondisi terbalik dari kehidupan normal sebelumnya. “Ketika lagi pandemi malah laris, bisa dapat satu juta per hari,” ucapnya. Ia menyangka setelah pandemi mereda, jualannya akan lebih laris terjual lagi, namun nyatanya semakin mundur.
Menurutnya, di masa pandemi, faktor kesadaran masyarakat terhadap kesehatan semakin meningkat, mereka sadar tentang pentingnya asupan gizi yang sehat dan beralih ke pengobatan tradisional. Sehingga banyak dari mereka yang membeli sayuran dan buah-buahan. “Banyak yang cari buat obat,” tuturnya.
Berbagai komoditas jualan ia dapatkan dengan berbelanja di Pasar Induk Caringin pada dini hari. Sayuran dan buah-buahan yang dibeli paling lama bisa bertahan kurang lebih satu minggu. Lewat seminggu, dagangan yang sisa harus dibuang karena mulai membusuk. Karena memang pada dasarnya sayuran tidak tahan lama.
Selama ini terdapat dua perbedaan pandangan pembeli terhadapnya, yakni yang apatis dan memiliki empati tinggi. “Pelanggan yang beli itu biasanya ada yang bengkeng (mudah tersinggung), kasihan, terus pernah ada juga yang ngasih beras, sekali-kalinya pas hari ibu,” ucapnya, sembari sedikit tertawa.
Selanjutnya, dinilai dari keamanan tempat, menurutnya pasar ini dapat dikatakan aman. Contohnya jika harus pergi sebentar, pedagang di luar biasanya menutupi meja-meja dagangannya dengan kain atau plastik, dan tidak ada yang pernah dicuri. Sedangkan ketika selesai berjualan, bahan jualan yang disimpan di gudang khusus yang di sewa tidak pernah mengalami pencurian juga.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #52: Nevi Aryani, Pengabdian Seorang Guru Honorer
CERITA ORANG BANDUNG #53: Imas dan Hendra Menabur Harapan Baru di Pasar Bunga Karanganyar
CERITA ORANG BANDUNG #54: Arianja Menambal Ban demi Kehidupan
Mandiri hingga Akhir
Kemandirian menjadi hal menonjol dalam diri Nanawati. Tidak dapat dinafikan karakter tersebut dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya sedari belia. Nanawati lahir dari keluarga atau lingkungan yang berkekurangan secara materi. Bahkan sejak usia dini orangtuanya sudah lepas tangan untuk menanggung kebutuhan hidupnya.
Jenjang pendidikan yang ditempuh juga hanya sampai Sekolah Dasar (SD), karena jika ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, pada akhirnya juga tidak akan diurusi. Jalan yang ia ambil saat itu adalah menjadikan situasi tersebut sebagai peluang untuk mandiri, yakni dengan dengan bekerja untuk menghidupi kehidupannya.
Nanawati kecil mengalami masa-masa kecil yang berbeda dengan anak kecil umumnya. Ketika anak-anak lainnya bermain bersama secara bebas mencari kesenangan, tidak begitu dengannya. Pesantren atau tempat pengajian menjadi rumah baginya, di mana ia bisa bermain, belajar sekaligus tinggal di dalamnya.
“Ibu bukan pesantren yang kaya anak sekarang dibiayain betul-betul, ibu kayak terlantar gitu,” tegarnya.
Dengan nada suara yang cukup emosional, ia mengatakan bahwa kesengsaraan sudah dirasakan olehnya dari dulu, namun rasa syukur selalu berarti untuk menenangkan hati. “Alhamdulillah ibu masih dikasih rezeki, karena kalau kita nyari pasti dikasih jalan,” ujarnya.
Selama ini, ia memenuhi semua kebutuhan hidupnya secara mandiri, begitu pun dalam mempersiapkan segala peralatan yang dapat menunjang kebutuhannya untuk berjualan.
“Ibu siapin semua ini sendiri, biasanya dinaikkan ke roda, di dorong ke atas, disimpan di belakang BRI (Bank Rakyat Indonesia), ngontrak tempat,” katanya.
Lebih lanjut di kalangan lingkungan pertemanannya, terdapat kawan pengajian yang berbaik hati menawarkan kamar kontrakan yang lebih terjangkau dibandingkan dengan kontrakan yang saat ini ia tempati.
Nanawati sangat bersyukur dengan kebaikan dari orang-orang di lingkungan sekitarnya. Karena dengan demikian, jika ia merasakan lelah, ia dapat tidur di kontrakan tersebut sembari mengikuti kegiatan pengajian warga di sekitar tempat tinggalnya.
“Boleh tidur di sini, tapi harus ada manfaatnya yang besar, karena kan keluarga juga ditinggalin,” tegasnya.
Berkaitan dengan hal itu, dari sisi suami juga memberikan izin apabila ia harus menginap di Bandung. Bagaimana pun suaminya juga sudah sadar dengan sendirinya. Karena berdasarkan pada latar belakang keluarganya, sebagai seorang ibu dari sembilan anak, dengan kondisi rumah tangga, di mana suaminya mengalami sakit sejak lama. Sehingga tanggung jawab untuk mencari pendapatan bagi kebutuhan keluarganya sudah sejak lama diemban olehnya.
Pun setiap anaknya sudah berada pada kondisi yang berbeda-beda, ada yang sudah menikah atau masih di bangku sekolah. Melalui ketekunan dan kerja kerasnya menjadi seorang pedagang selama berpuluh-puluh tahun, terbukti ia dapat menyekolahkan semua anaknya.
“Kalau bukan kita yang nyari, siapa lagi, kalau anak, juga sudah punya tanggung jawab masing-masing, punya keperluan sendiri, masa mau diandelin buat kita kan,” ujarnya. Dari pernyataan tersebut dapat terasa bagaimana sosok ibu yang tidak ingin membebani suami maupun anak-anaknya di saat usia senja.
Apabila ditarik ke belakang, kondisi suaminya yang sudah tidak bisa usaha selama bertahun-tahun, menurutnya dipengaruhi oleh pada masa mudanya yang terlalu bekerja mengandalkan fisik, seperti memikul kayu dan mencari rumput. Karena memang demikian beratnya pekerjaan di kampung. Oleh karena itu, dampaknya walaupun suaminya belum mencapai usia yang terbilang renta, namun kondisi fisiknya mudah terserang penyakit.
“Sekarang posisi ibu yang ngurus sendiri, padahal harusnya kita bisa memanfaatkan penghasilan dari suami, nanti kita yang kelola. Cuma ibu nggak bisa kaya gitu, apa pun harus cari sendiri,” jelasnya. Menurutnya pengalaman hidupnya yang meurih sejak dahulu, menjadikan dirinya pribadi yang lebih tawakal.
“Alhamdulillah, kalau dipikir suamiku mah dapat untung dapetin istri yang begini, kan kalau yang sudah bisa ngurus ekonomi keluarga, itu sudah jagoan, perempuan juga bisa ngurus,” tuturnya dengan penuh keyakinan.
Terlepas dari semua itu, kekhawatiran yang ia rasakan saat ini yakni keberlangsungan jualan ke depannya. Ia menyayangkan dengan situasi di mana para pembeli yang membeli barang dagangannya kebanyakan hanya membeli dengan motif dasar kasihan. Karena itu, agar para pembeli tidak hanya terpaku oleh kecondongan pada unsur moralitas semata, ia berusaha untuk menjual komoditas dagangannya dengan kualitas atau mutu terbaik.
Namun cahaya juga tidak selamanya terang, terdapat masanya sedang redup, seperti halnya ia rasakan ketika tidak laku. Cara untuk mengatasinya yakni dengan memberikan asupan rohani untuk menjaga ketenangan batinnya agar tidak stres.
“Dopping saja dari pengajian-pengajian, dari ceramah-ceramah yang bikin nenangin hati, cara tawakalnya gimana,” ungkapnya. Dengan demikian jika tidak laku, ia tidak terlalu mengambil pusing, bahkan hingga mengharuskannya putus asa.
Ia berbahagia dengan pekerjaannya sebagai pedagang, karena jika diam saja di rumah, menurutnya tidak akan ada jalur uang yang masuk kepada dirinya dan keluarga. “Kalau gini, moyan-moyan juga alhamdulillah ada yang beli ke sini,” terangnya.
Intinya dalam menjalani setiap peristiwa dalam hidup, kunci utama menurutnya agar tetap kuat adalah dengan tawakal kepada Tuhan, “Jalan di depan, harus ada buat bekal ibadah buat dibawa ke alam nanti (akhirat),” tutupnya.