CERITA ORANG BANDUNG #56: Mak Ayit Penjaga Makam Marhaen
Mak Ayit lahir lima tahun setelah kakeknya, Marhaen, meninggal pada 1943. Ia tak tahu banyak pada sosok yang mengilhami Sukarno melahirkan ideologi marhaenisme itu.
Penulis Reza Khoerul Iman22 September 2022
BandungBergerak.id – Tidak ada satu pun ingatan yang membekas pada benak Mak Ayit tentang Marhaen, sosok yang disebut-sebut sebagai inspirator bagi Sukarno. Wajar saja bila Mak Ayit tidak tahu menahu lebih dalam soal kisah Marhaen, pasalnya Mak Ayit baru lahir setelah lima tahun Marhaen meninggal pada 1943. Namun yang pasti ia ketahui, Marhaen adalah kakeknya.
Wanita yang kini berusia 74 tahun adalah salah satu putri dari Ki Udung. Ayah Ayit merupakan satu-satunya putra yang dimiliki pasangan Marhaen dan Arsama. Ki Udung sudah tiada, jasadnya dimakamkan di dekat makam Marhaen.
Semasa hidupnya, Mak Ayit tidak banyak mendengar cerita soal kakeknya dari Ki Udung. Ia juga tidak terlalu menggali lebih dalam mengenai sosok sang kakek yang mengilhami Sukarno dalam mencetuskan ideologi marhaenisme.
“Ibu mah kurang tahu cerita soal Ki Aen (Marhaen), bapak juga (Ki Udung) gak banyak cerita ke ibu. Terlebih ibu mah jarang ikut ulubiung, jadi kurang tahu gimana-gimananya,” ucap Mak Ayit pada saat ditemui BandungBergerak.id, Selasa (20/9/2022), sore.
Mak Ayit mengira karena kondisi keluarganya yang serba paspasan, wajar saja apabila tidak banyak cerita yang dapat dikisahkan orang tuanya tentang sosok Marhaen. Sang kakek adalah seorang buruh tani biasa. Begitu pun dengan keturunannya, hanya hidup sebagai orang biasa.
Termasuk dengan jalan hidup Mak Ayit, ia hanya mantan seorang buruh tani saja dan kini ia hanya sebagai penjaga makam Marhaen saja. Hidupnya pun serba paspasan. Bahkan kondisi rumah ia tinggali sebelumnya cukup mengkhawatirkan, bocor di mana-mana, dan ada satu ruangan yang nampaknya akan roboh. Namun ia bersyukur ada orang yang simpati dengan kondisinya dan memberi bantuan untuk merenovasi rumahnya.
Demikianlah Mak Ayit menyebut kebanyakan keluarganya hanya mampu hidup dengan sederhana. Namun ia tetap bersyukur dapat menjalani kehidupan ini dengan baik.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #55: Nanawati, Tulang Punggung Keluarga di Usia Senja
CERITA ORANG BANDUNG #54: Arianja Menambal Ban demi Kehidupan
CERITA ORANG BANDUNG #53: Imas dan Hendra Menabur Harapan Baru di Pasar Bunga Karanganyar
Dari Buruh Tani hingga Menjadi Penjaga Makam Marhaen
Mak Ayit tinggal dan tumbuh besar di Kampung Cipagalo, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung, tidak jauh dengan lokasi makam Marhaen. Mak Ayit hanya mampu mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah dasar kelas tiga saja.
Mak Ayit terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena diminta oleh orang tuanya untuk menjaga adik-adiknya, sebab kedua orang tuanya mesti bekerja sebagai buruh tani untuk mencukupi keseharian mereka.
Oleh karenanya juga, pada saat Mak Ayit menginjak usia dewasa ia menjadi buruh tani di sekitaran sana. Mak Ayit sudah lupa pada tahun berapa ia menjadi buruh tani, yang jelas pada saat itu daerahnya masih dipenuhi oleh persawahan dan lokasi makam Marhaen pun masih berupa hutan.
Dulu sewaktu menjadi buruh tani, ia hanya mendapat upah sebesar 5.000 rupiah dalam satu bedug. Setelah berkeluarga pun ia masih menjadi buruh tani, namun dibantu oleh suaminya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluargnya. Menurutnya upah sebesar itu pada waktu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari.
“Dulu Batununggal itu masih banyak sawahnya, Ibu teh jadi buruh tani itu di sekitaran sini. Dulu kalau tani sabedug kira-kira cuman dapat 5.000 rupiah, sementara suami saya kalau macul paling cuman dapat 7.500 rupiah,” tuturnya.
Namun semenjak daerah Batununggal dan sekitarnya berubah menjadi wilayah perumahan dan pemukiman padat, sawah-sawah yang dulu mendominasi wilayah tersebut telah semakin berkurang. Banyak buruh tani yang pada akhirnya kehilangan mata pencahariannya, termasuk Mak Ayit.
Menyadari usianya tidak muda lagi, wanita yang memiliki dua anak tersebut memutuskan untuk tidak meneruskan pekerjaannya sebagai buruh tani. Ia lebih sering melakukan kegiatan di rumah dan pergi ke makam Ki Marhaen untuk sekedar membersihkannya.
Mak Ayit bercerita, semasa bapaknya masih ada ia cukup rutin diajak oleh Ki Udung mengunjungi makam Ki Marhaen untuk membersihkannya. Ia menyebut dahulu makam Marhaen belum dibangun seperti sekarang.
Makam Marhaen dibangun atas prakarsa Yayasan Saluyu Bandung pada tahun 1981. Makam ini direnovasi kembali oleh pemerintah pada tahun 2021.
“Makam Ki Aen dulu mah dijaga sama bapak (Ki Udung). Bapak juga suka ngajak Ibu buat datang ke makam. Semenjak bapak sudah gak ada, yang ngurus makam itu jadi sama Ibu. Ya, Ibu mah senang saja kalau makam Ki Aen sama keluarga direnovasi jadi bagus,” ungkapnya.
Pada usianya yang sudah tidak muda lagi dengan berbagai keluhan kesehatan yang sudah banyak terasa, Mak Ayit biasanya membersihkan makam setiap dua hari sekali. Setiap pagi harinya ia berjalan dari rumahnya menuju makam untuk membersihkannya.
Kini di sekitaran makam Marhaen sudah berubah menjadi pemukiman padat. Mak Ayit merasa harus rutin membersihkannya, terlebih di sekitarannya terdapat banyak unggas yang kotorannya mengotori lantai bangunan makam Marhaen.
Selain itu, semenjak makam Marhaen dibuatkan bangunan, banyak sekali tamu yang mendatangi makam Marhaen. Mak Ayit menyebut biasanya makam akan banyak pengunjung di Hari Pancasila atau menjelang pemilu. Oleh karenanya Mak Ayit harus siap sedia menerima banyak tamu di tengah kondisinya yang sudah tidak muda lagi.
Kendati demikian, Mak Ayit berterima kasih kepada Ki Aen karena dengannya kini ia dapat bertemu dengan banyak orang dan mendapat bantuan dari orang-orang tersebut untuk mempermudah segalanya.