Hari Tani 2022, Wujudkan Reforma Agraria untuk Rakyat
Hari Tani yang diperingati setiap 19 September mengingatkan pentingnya mewujudkan reforma agraria bagi petani kecil. Di Jawa Barat terjadi krisis regenerasi petani.
Penulis Iman Herdiana19 September 2022
BandungBergerak.id - Hari Tani yang diperingati setiap 19 September membuka fakta yang ironis bagi petani, yaitu semakin menyempitnya lahan, berkurangnya jumlah petani, dan tak kunjung mewujudnya Reforma Agraria yang diamanatkan konstitusi dan UUPA 1960. Masalah ini ditemukan juga di Jawa Barat.
Menghadapi fakta miris tersebut, Komite Bersama Perjuangan Reforma Agraria (KBPRA) menyuarakan agar merebut kembali diskursus Reforma Agraria (Landreform) sesuai UUPA 1960.
Dalam pernyataan resminya, Yusuf Septian, juru bicara KBPRA, menyatakan ada empat sikap KBPRA terkait peringatan Hari Tani 2022 ini.
Pertama, “Reforma Agraria” yang diusung pemerintah hari ini dinilai hanya untuk memperkuat hubungan pemodal di perdesaan Indonesia. Program “Reforma Agraria” versi pemerintah lebih ke legalisasi aset dan tanah. Progam ini dinilai hanya membuat petani dan penerima tanah berada di bawah kuasa pelaku pasar bebas.
“Investasi asing dan pencaplokan lahan untuk korporasi yang semakin intens menunjukkan rezim penguasa hanya bekerja untuk kepentingan kapital. “Reforma Agraria” pun menjadi legitimasi rezim untuk mengakses utang ke lembaga-lembaga internasional yang menjadi penyokong kapitalisme dan imperialisme,” kata Yusuf Septian, dari keterangan tertulis yang diterima BandungBergerak.id, Senin (19/9/2022).
Kedua, KBPRA menyatakan bahwa program “Reforma Agraria” hari ini tidak menyasar ketuantanahan dan tidak mencegah monopoli tanah. Seharusnya, tanah-tanah kelebihan dan tanah-tanah guntai (absentee) tidak menjadi sasaran program tersebut.
“Tidak ada keinginan dari rezim penguasa untuk mengurangi angka rasio gini ketimpangan penguasaan tanah oleh rumah tangga petani. Ketuantanahan yang dipelihara juga berarti memelihara penghisapan terhadap petani,” kata Yusuf Septian.
Ketiga, bahwa kelompok gerakan sosial di pedesaan dan perkotaan tidak perlu lagi menunggu inisiatif negara untuk menjalankan Reforma Agraria yang sesuai amanat konstitusi dan UUPA 1960. KBPRA percaya bahwa gerakan sosial harus menjadi mesin penggerak utama dalam menjalankan Reforma Agraria.
Keempat, bahwa praktik Reforma Agraria harus kembali diletakkan di dalam konteks transisi agraria, yakni melalui usulan mekanisme (re)distribusi cum konsolidasi: dengan mengorganisir petani penggarap, petani gurem, buruh tani, dan petani tak bertanah untuk mengelola dan menguasahakan hamparan tanah secara bersama-sama (kolektif) sehingga mendorong penciptaan hubungan-hubungan agraria baru di perdesaan.
Catatan KBPRA
Menurut catatan KBPRA, reforma agraria di Indonesia sudah lama terkubur oleh program pembangunan yang hanya menguntungkan petani-petani kaya dan tuan-tuan tanah. Ini terjadi seturut dengan upaya revitalisasi perkebunan-perkebunan besar.
Pemberian konsesi swasta untuk industri ekstraktif yang terus meluas telah mengorbankan banyak petani dan masyarakat adat, bersamaan dengan perusakan lingkungan yang mengiringinya. Eksploitasi tenaga kerja dan penciptaan buruh murah untuk menggerakan mesin kapitalisme pun semakin intensif.
Di perdesaan, proses konsentrasi dan monopoli penguasaan tanah oleh kelas tuan tanah berlangsung secara terus-menerus. Petani gurem, buruh tani, dan petani tak bertanah (landless) semakin banyak jumlahnya.
Ketersediaan lahan yang semakin sempit membatasi kesempatan petani untuk menggarap dan bereproduksi. Di satu sisi, 40 persen (75 juta ha) dari total luas daratan Indonesia telah dikuasai oleh industri ekstraktif berskala besar.
Di sisi lain, 120 juta ha telah dinyatakan sebagai kawasan hutan yang tidak boleh dilakukan kegiatan pertanian di dalamnya. Hanya tersisa 21 juta ha (2018) untuk lahan pertanian yang tidak pernah sebanding dengan populasi rumah tangga petani yang jumlahnya terus bertambah.
Hasil sensus pertanian (2018), lanjut catatan KBPRA, menunjukkan rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani hanya mencapai 0,78 ha per rumah tangga. Rumah tangga petani gurem dan tak bertanah (absolute-landless) secara berurutan telah mencapai 59 persen dan 36 persen dari total seluruh rumah tangga petani yang ada (sekitar 37 juta).
Dengan struktur penguasaan tanah yang demikian, rasio gini ketimpangan penguasaan tanah oleh rumah tangga petani sangat tinggi, tidak pernah berada di bawah 0,5 sejak enam dekade ke belakang, bahkan mencapai 0,7 pada 2018.
Angka-angka ini adalah indikasi bagaimana pembangunan yang diinisiasi oleh negara tidak pernah ditujukan untuk merombak struktur penguasaan tanah yang timpang di pedesaan.
Gelombang reformasi juga tidak mengubah kondisi ketimpangan alokasi lahan dan penguasaan tanah yang menjadi penyebab kemiskinan. Sebaliknya, jumlah investasi asing dan dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur dan industri ekstraktif semakin menguat.
Dalam catatannya, KBPRA menyatakan pencaplokan lahan yang memicu konflik agraria dan kriminalisasi petani masih terus berlangsung di banyak daerah di Indonesia. Di desa-desa, petani dibiarkan berproduksi di bawah hukum besi persaingan usaha tanpa perlindungan negara.
Harga sewa tanah dan proposi bagi hasil yang dimonopoli oleh tuan tanah hanya merugikan petani, hingga jeratan utang dan riba dari para tengkulak yang tidak bisa dihindari. Pelepasan tanah oleh petani pun semakin sering terjadi. Konsekuensi logisnya adalah diferensisasi kelas yang semakin mendalam.
Baca Juga: Jawa Barat Menghadapi Kelangkaan Petani Pangan
Kebijakan Impor Beras Tak Berpihak kepada Petani
Jabar Hadapi Krisis Petani Muda dan Tantangan Teknologi
Kondisi di Jawa Barat
Sektor pertanian sebenarnya masih memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, termasik di Jawa Barat. Tahun 2009, sektor pertanian di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar secara nasional ini berada pada urutan ketiga (13,6 persen) dalam pembentukan PDRB setelah sektor industri dan perdagangan.
Sementara dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mempunyai kontribusi sebesar 25,2 persen, menempati uturan kedua terbesar setelah perdagangan. [Litbang Pertanian, diakses Senin (19/9/2022)]
Litbang Pertanian juga mencata Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penting sebagai sentra produksi pertanian di Indonesia, baik komoditi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan pertanian. Pada tahun 2010, di bidang produksi komoditi tanaman pangan, provinsi Jawa Barat merupakan produsen utama padi (urutan kedua), ubi jalar, dan lain-lain.
Di bidang tanaman pangan, potensi luas panen tanaman pangan di Jawa Barat didominasi oleh tanaman padi yaitu sekitar 2,037 juta hektar dengan produksi 11,74 juta ton. Produksi padi didominasi oleh padi lahan sawah yaitu sebesar 96,00 persen dan kontribusi padi ladang hanya 4,00 persen.
Lima kabupaten yang memiliki areal panen padi terluas secara berurut-turut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, Subang, Sukabumi, dan Garut.
Di sisi lain, peran produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan. Secara keseluruhan luas baku lahan peranian di Jawa Barat sebesar 2.477.790 ha yang terdiri dari lahan sawah seluas 942.411 ha (38,03 persen) dan lahan kering seluas 1.535.379 ha (61.97 persen).
Dari total luas lahan sawah di Jawa Barat, sebagian besar lahan sawah merupakan lahan beririgasi (760.371 ha atau 30.69 persen) dan lahan sawah beririgasi teknis menempati luas terbesar yaitu seluas 371.145 ha atau 14,98 persen.
Potensi lahan sawah lebih besar justru berupa lahan kering yaitu (seluas 1.535.379 ha atau 61,97 persen lahan pertanian) berupa lahan tegalan (seluas 561.150 ha atau 22,65 persen) dan lahan perkebunan seluas 301.591 ha atau 12,7 persen dari luas lahan pertanian di Jawa Barat.
Krisis Petani
Jawa Barat sudah lama menghadapi krisis jumlah petani muda. Berdasarkan Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani di Jabar mencapai 3.250.825 orang. Namun, petani yang berusia 24-44 tahun hanya 945.574 orang atau 29 persen dari total petani di Jabar.
Pembangunan Jawa Barat selama ini lebih condong kepada industri daripada pertanian. Penempatan tenaga kerja pun banyak diarahkan ke sektor-sektor manufaktur. Akibatnya, laju urbaniasi di Jawa Barat sangat tinggi. BPS Jabar tahun 2020 mencatat, hampir 72,5 persen penduduk Jawa Barat tinggal di daerah perkotaan, sebagai akibat dari masuknya industri yang mendorong terjadinya urbanisasi.
Selain itu, BPS juga mencatat Penduduk Jawa Barat berusia 15 tahun atau lebih pada tahun 2019 mencapai 36,58 juta orang. Jumlah angkatan kerjanya sebanyak 23,8 juta orang, di mana 21,9 juta orang di antaranya bekerja di berbagai sektor usaha, sedangkan sisanya 1,9 juta masih menganggur. Jumlah tersebut menjadikan angka tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat menjadi 7,91 persen.